Home Afkar KH SHIDDIQ AL-JAWI: MODERASI AGAMA BERBAHAYA

KH SHIDDIQ AL-JAWI: MODERASI AGAMA BERBAHAYA

92

Pengantar Redaksi:

Moderasi agama adalah istilah baru. Tak memiliki akar teologis maupun historisnya dalam Islam. Namun demikian, istilah ini terus dijajakan di tengah-tengah umat Islam. Seolah merupakan sebuah keniscayaan bagi umt Islam saat ini untuk mempraktikan moderasi agama. Apalagi saat bahaya radikalisme agama terus diopinikan. Moderasi dianggap penting dan mendesak.

Betulkah demikian? Apa sebetulnya yang disebut moderasi agama? Apakah memang penting bagi umat Islam? Ataukah justru ada bahaya di balik gagasan moderasi agama? Jika penting, apa alasannya? Jika berbahaya, apa pula argumentasinya?

Itulah di antara pertanyaan yang coba ditanyakan Redaksi kepada KH Shiddiq al-Jawi dalam rubrik Hiwar kali ini. Berikut hasil wawancaranya.

 

Kiai, moderasi agama saat ini kembali menguat. Apa sebetulnya indikator dari moderasi agama itu?

Menurut penggagasnya di Indonesia dalam konteks politik kekinian, moderasi agama ditandai dengan empat indikator. Pertama, adanya komitmen kebangsaan, maksudnya menerima prinsip-prinsip kebangsaan dalam UUD 1945 dan berbagai regulasi di bawahnya.

Kedua, adanya toleransi yang diwujudkan dengan menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapatnya.

Ketiga, bersikap anti kekerasan, yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkannya.

Keempat, penerimaan terhadap tradisi. Maksudnya ramah terhadap tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagaamannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

Komentar saya, empat indikator itu bermasalah secara normatif dan tidak adil dalam tataran empiris atau praktiknya. Secara normatif, keempat indikator tersebut masih ambigu dan tentu saja menjadi debatable. Contoh, menurut salah satu regulasi di bawah UUD 1945, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016, Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Pertanyaannya, Pancasila yang mana yang lahir 1 Juni 1945? Dalam buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, Pancasila yang lahir 1 Juni 1945 rumusannya tidak seperti lima sila yang kita kenal saat ini, melainkan adalah: Sila pertama, kebangsaan Indonesia. Sila kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan. Sila ketiga, mufakat atau demokrasi. Sila keempat, kesejahteraan sosial, dan sila kelima, ketuhanan. Jika faktanya demikian, maka rumusan Pancasila 1 Juni 1945 tersebut justru akhirnya bertentangan dengan rumusan Pancasila yang kita kenal saat ini, yakni rumusan 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945. Jadi, kalau indikator moderasi agama itu adalah harus ada komitmen kebangsaan, maka justru Pemerintah sendirilah yang sudah melanggar komitmen kebangsaannya sendiri, atau minimal komitmen kebangsaannya simpang-siur alias tidak jelas. Tegasnya Keppres nomor 24 tahun 2016 itu sendiri sudah kontradiktif dengan UUD 1945.

Lalu, secara empiris, empat indikator moderasi agama tidak adil dalam implementasinya. Maksudnya, lebih digunakan untuk mengukur moderasi agama di kalangan warga khususnya yang Muslim, tetapi tidak digunakan untuk mengukur moderasi beragama di kalangan Pemerintah itu sendiri, atau di kalangan para pendukung Pemerintah, atau di kalangan non-Muslim. Seperti sudah dimaklumi, istilah moderasi agama sering dikontraskan dengan sikap radikalisme atau ekstremisme. Siapakah yang sering dituduh “terpapar radikalisme”? Umat Islam, bukan? Mengapa rakyat Muslim yang selalu menjadi korban dalam kebijakan Pemerintah atas nama moderasi agama?

 

Bagaimana penjelasan Islam tentang ummat[an] wasath[an] dalam Al-Baqarah 143 yang sering dijadikan landasan moderasi agama?

Ummat[an] wasath[an] itu istilah al-Quran yang secara kontekstual tidak ada hubungannya dengan istilah moderasi agama saat ini, yang sering dikontraskan dengan istilah radikalisme atau ekstremisme.

Begini. Latar belakang sejarah munculnya istilah moderasi agama sebenarnya bukan berasal dari sejarah kontemporer lokal Indonesia, seperti pembubaran HTI tahun 2017 dan FPI tahun 2020. Bukan juga berasal dari peristiwa peledakan WTC 9/11 tahun 2001 di New York (AS) yang melariskan istilah “terorisme”. Bahkan sejarah istilah moderasi agama itu berakar jauh sebelumnya. Istilah moderasi agama dapat dilacak bahkan sejak Revolusi Iran tahun 1979, sebagaimana penjelasan Fereydoon Hoveyda, seorang pemikir dan diplomat Iran. Fereydoon Hoveyda menegaskan hal itu dalam artikelnya yang terbit tahun 2001 dengan judul, “Moderate Islamist? American Policy Interest,” sebuah artikel ilmiah dalam The Journal of National Committee on American Policy.

Menurut Fereydoon Hoveyda, istilah “islamic moderation”, “moderate Muslim”, atau “moderate Islam” mulai banyak digunakan setelah 1979 oleh jurnalis dan akademisi, untuk mendeskripsikan konteks hubungan antara dua hal: Di satu sisi adalah Muslim, Islam, atau Islamist (aktivis Islam); sedangkan di sisi lain adalah Barat (The West). Nah, dalam konteks inilah, muncul istilah “moderate Islamist” (aktivis Islam moderat), yang dianggap pro Barat (the West), khususnya yang pro Amerika Serikat. Sebagai lawan dari “moderate Islamist” itu akhirnya diberi label “hard-line Islamist” (aktivis Islam garis keras), yaitu mereka yang menginginkan Islam secara pure dan menolak ideologi Barat.

Jadi, kemunculan istilah moderasi agama sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan istilah ummat[an] wasath[an] dalam al-Quran, walau banyak intelektual Muslim yang memaksakan diri untuk mencari-cari relevansinya.

Adapun makna ummat[an] wasath[an] dalam QS al-Baqarah ayat 143 adalah umat yang adil (ummat[an] ‘adl[an]). Demikian menurut Imam asy-Syaukani dalam kitabnya, Fath al-Qadir, juga Imam al-Qurthubi dalam kitabnya, Tafsir al-Qurthubi. Imam asy-Syaukani dan Imam al-Qurthubi menafsirkan demikian atas dasar hadis sahih dari Abu Said al-Khudri ra, bahwa ketika Rasulullah membaca ayat yang berbunyi “wa kadzalika ja’alnakum ummat[an] wasath[an]” (Demikianlah Kami menjadikan kalian umat pertengahan), beliau bersabda, “Maksudnya umat yang adil (‘adl[an]).” (HR at-Tirmidzi).

Umat yang adil ini maksudnya bukanlah umat pertengahan antara umat Yahudi dan umat Nashrani, seperti penafsiran sebagian orang. Bukan pula pertengahan dalam arti posisi tengah antara ifrath (berlebihan) dan tafrith (longgar), melainkan umat yang memiliki sifat adil dalam memberikan kesaksian (syahadah). Pasalnya, umat Islam akan menjadi saksi kelak pada Hari Kiamat, bahwa para nabi sebelum Rasulullah saw. telah menyampaikan wahyu kepada umatnya masing-masing.

Sebagaimana dimaklumi dalam fikih, bahwa orang yang menjadi saksi, misal saksi dalam jual-beli, atau saksi dalam akad nikah, wajib bersifat adil. Nah, makna adil seperti itulah yang dimaksudkan sebagai sifat umat Islam sebagai tafsiran ummat[an] wasath[an] dalam QS al-Baqarah ayat 143.

 

Islam senantiasa dituduh intoleran (anti toleransi). Bagaimana sejatinya toleransi itu dalam pandangan Islam?

Ide toleransi yang berkembang saat ini bukanlah ide menurut prespektif Islam, melainkan menurut paham liberal yang sekularistik. Profesor Muhammad Ahmad Mufti, seorang guru besar ilmu fiqih siyasah di Arab Saudi, telah mengkritik keras ide tolerasi ala liberal itu dalam kitabnya, Naqdu at-Tasamuh al- Libirali (Kritik Terhadap Toleransi Liberal) yang terbit 1431 H atau tahun 2010 M). Dalam kitabnya itu, pada halaman 8, beliau menjelaskan bahwa ide toleransi liberal itu didasarkan pada 3 (tiga) gagasan pokok dari Barat: Pertama, paham sekularisme (al-‘alamaniyyah, al-ladiniyyah). Kedua, paham relativisme (an-nisbiyyah). Ketiga, paham pluralisme dan demokrasi (at-ta’addudiyyah wa ad dimuqrathiyyah).

Jadi menjadi jelas, ukuran toleran dan intoleran dalam ide toleransi liberal akan merujuk pada tiga gagasan dasar tersebut. Jika demikian, alangkah malangnya nasib umat Islam, karena ide toleransi liberal itu hakikatnya adalah penjajahan (imperalisme) dalam bidang pemikiran bagi umat Islam. Umat Islam akan dipaksa untuk berpikir dengan standar liberal yang bobrok dan menyesatkan. Sebagai contoh, LGBT, jika ditinjau menurut paham toleransi liberal, tentu wajib ditoleransi. Sebaliknya, bagi umat Islam, LGBT tidak boleh ditoleransi, karena semuanya dosa dalam agama Islam. Namun, akhirnya umat Islam akan dicap intoleran jika menolak LGBT. Padahal dalam Islam LGBT memang sesuatu yang dosa, bukan sesuatu yang halal apalagi wajib. Jika umat Islam lalu dipaksa berkeyakinan LGBT itu halal, atau baik, dan wajib ditoleransi, bukankah itu namanya penjajahan pemikiran? Ya, kan?

Dalam Islam, standar toleransi itu al-Quran dan as-Sunnah. Bukan paham sekularisme, relativisme, pluralisme dan demokrasi. Apa saja yang ditoleransi oleh al-Quran dan as-Sunnah akan ditoleransi oleh umat Islam. Sebaliknya, apa saja yang tidak ditoleransi oleh al-Quran dan as-Sunnah tidak akan ditoleransi oleh umat Islam. Berdasarkan standar yang benar ini, LGBT tidak boleh ditoleransi oleh umat Islam. Semua itu diharamkan atas umat Islam berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, misalnya dalam QS asy-Syu’ara ayat 165-166 dan QS al-Isra‘ ayat 32, dsb. Murtad atau keluar dari agama Islam tidak boleh ditoleransi karena memang dilarang oleh al-Quran dalam QS al-Baqarah ayat 217. Muslimah nikah dengan laki-laki non-Muslim juga tidak boleh ditoleransi dilarang oleh al-Quran dalam QS al-Mumtahanah ayat 10.

 

Bagaimana Islam memandang kekerasan? Apakah jihad termasuk bagian kekerasan yang dicela?

Kekerasan, seperti pembunuhan, misalnya, dalam Islam itu pada dasarnya diharamkan. Namun, ada perkecualiannya, yaitu pembunuhan “dengan alasan yang benar”. Demikian menurut QS al-Isra` ayat 33. Misalnya, membunuh dalam rangka membela diri, atau dalam rangka menjatuhkan qishash, sebagaimana menurut QS al-Baqarah ayat 178; atau dalam rangka berjihad atau berperang, sebagaimana menurut QS al-Baqarah ayat 216.

Ringkasnya, tidak semua kekerasan diharamkan atau dilarang dalam Islam. Ada perkecualiannya dalam al-Quran atau as-Sunnah.

Jika ditinjau secara lebih mendalam, orang Muslim yang membenci jihad itu sebenarnya hanya mengikuti kebencian kaum Kristiani Eropa terhadap jihad dari periode Abad Pertengahan Akhir hingga tahun 1529. Dalam periode ini, sebagaimana uraian Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiyah, Khilafah Utsmaniyah banyak melakukan futuhat dengan menaklukkan negeri-negeri Kristen di Eropa seperti Yunani, Romania, Albania, Yugoslavia dan Hungaria. Futuhat itu akhirnya berhenti tahun 1529 ketika pasukan jihad dari Khilafah Utsmaniyah tertahan di pintu gerbang Kota Wina dan akhirnya gagal menaklukkan Austria. Nah, karena posisi kaum Kristen menjadi sasaran jihad, sangat wajar kaum Kristen saat itu membenci jihad dan membenci Khilafah. Sayangnya, di suatu saat kelak, di suatu negeri Islam, ada orang-orang Islam yang belajar kepada kaum orientalis Kristen atau Yahudi, lalu bertaklid buta kepada mereka dan mewarisi sikap mental mereka yang penuh dengan dendam dan kebencian kepada jihad dan khilafah, lalu menghapuskan mata pelajaran jihad dan khilafah dari kurikulum pendidikan mereka.

 

Bagaimana pula Islam memandang sebuah tradisi yang berkembang dalam masyarakat?

Tradisi itu tidak boleh dianggap mutlak benar secara absolut, lalu orang Islam wajib menerima bulat-bulat tanpa boleh menolak atau mengkritik. Kembalikan tradisi masyarakat itu pada standar al-Quran dan as-Sunnah. Jika ada tradisi di masyarakat Muslim yang tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, boleh-boleh saja umat Islam mengikutinya. Misalnya, penutup kepala khas Jawa bernama blangkon. Namun, jika tradisi di masyarakat Muslim bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, misalnya tradisi minum arak atau ciu (khamr), maka tradisi itu haram diikuti oleh kaum Muslim. Islam telah tegas mengharamkan setiap minuman yang beralkohol (khamr), sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Maidah ayat 90.

 

Selain moderasi agama, juga dimunculkan istilah ekstremisme beragama, yakni sikap beragama yang melanggar kesepakatan bangsa dan konstitusi negara. Bagaimana pandangan, Kiai?

Sebenarnya sikap beragama bagi umat Islam, standarnya  jelas, yaitu wajib mengikuti al-Quran dan as-Sunnah. Bukan yang lain. Demikian sebagaimana dinyatakan antara lain dalam QS an-Nisa’ ayat 59 dan QS Syura ayat 10. Jika sikap beragama umat Islam itu diwajibkan mengikuti standar kesepakatan bangsa dan konsitusi negara, maka ini dapat diartikan menjadi dua makna, Pertama, kesepakatan bangsa dan konstitusi negara posisinya lebih tinggi daripada al-Quran dan as-Sunnah. Kedua, al-Quran dan as-Sunnah itu posisinya hanya menjadi subordinat dari pemikiran manusia. Dengan demikian pemikiran manusia menjadi standar. Lalu al-Quran dan as-Sunnah harus menyesuaikan diri untuk mengikuti standar pemikiran manusia.

Menurut saya, yang benar adalah sebaliknya. Kesepakatan bangsa dan konstitusi negara itu tidak boleh melanggar al-Quran dan as-Sunnah. Bukan sebaliknya. Pemikiran manusia tidak boleh melampaui atau melanggar al-Quran dan as-Sunnah.

 

Bagaimana Islam memandang kaidah yang sering dipakai beberapa pihak untuk menolak Khilafah dengan dalih telah “melanggar kesepakatan berbangsa dalam konstitusi” ?

Khilafah itu ajaran Islam. Kesepakatan berbangsa dalam konstitusi itu pikiran manusia. Jika Khilafah ditolak dengan alasan melanggar kesepakatan berbangsa dalam konstitusi, itu artinya ajaran Islam hanya sebagai subordinat yang ditundukkan pada pikiran manusia yang sebenarnya serba terbatas, tapi kemudian dipaksakan untuk dijadikan standar kebenaran mutlak dan tertinggi.

 

Kira-kira apa tujuan munculnya kebijakan moderasi agama tersebut?

Kebijakan moderasi agama harus kita pandang dalam perspektif politik global, bukan perspektif politik lokal (di Indonesia), apalagi dalam perspektif politik kekinian di rezim yang ada saat ini.

Moderasi agama adalah bagian dari strategi politik luar negeri dari negeri-negeri Barat, khususnya Amerika Serikat, yang mempunyai dua tujuan utama. Pertama, untuk menghalang-halangi kembalinya umat Islam ke dalam agamanya secara murni, dengan mengamalkan syariah Islam kaffah dalam institusi Negara Khilafah. Kedua, untuk mempertahankan sistem demokrasi-sekular yang ada saat ini di negeri-negeri Islam, dengan cara mempertahankan penguasa yang menjadi proxy mereka, agar Amerika Serikat dan negara-negara penjajah lainnya dapat terus mengeksploitasi dan menghisap kekayaan alam negeri-negeri Islam yang sangat kaya.

 

Siapa yang diuntungkan dengan kebijakan moderasi agama tersebut?

Yang diuntungkan utamanya ada dua pihak. Pertama, Amerika Serikat dan negara-negara imperialis lainnya. Kedua, para penguasa negeri-negeri Islam yang menjadi proxy Amerika Serikat dkk. Selain dua pihak ini, tentu ada pihak yang lain, karena hegemoni Amerika Serikat tidak akan dapat berjalan, kecuali ada instrumen-instrumen pendukungnya, yaitu: (1) berbagai lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia; (2) berbagai MNCs (multi national corporations), seperti Freeport McMoran, dsb.

Kekuasaan penguasa yang menjadi proxy AS juga tidak akan dapat berjalan, kecuali ada instrumen-instrumen pendukungnya pula, yaitu: (1) para intelektual (birokrat) didikan Barat yang menjadi penentu kebijakan politik dan ekonomi dan (2) militer. Jalinan struktur kekuatan hegemonik global dan lokal ini diterangkan dalam beberapa buku, seperti buku Economists with Guns, karya Bradley R. Simpson atau bukunya Prof. Amien Rais berjudul Selamatkan Indonesia!  Saya menaruh respek dan berterima kasih kepada Bradley R. Simpson dan Prof. Amien Rais yang telah membuka mata dan hidung saya lebih lebar untuk mencium betapa busuknya, betapa rakusnya, dan betapa kejamnya hegemoni kapitalis ini.

 

Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam terkait arus moderasi agama ini Ustadz?

Pertama, memberi kritik terhadap kebijakan moderasi agama ini.

Kedua, menyadarkan masyarakat, bahwa moderasi agama ini bukanlah asli kebijakan pemerintah saat ini, melainkan sekadar meneruskan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Ketiga, menyadarkan masyarakat bahwa kebijakan moderasi agama ini mempunyai tujuan tersembunyi yang membahayakan Islam dan umat Islam.

Keempat, terus berjuang untuk mengembalikan Islam kaffah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan menegakkan Negara Khilafah. []

 

Sumber :
https://al-waie.id/hiwar/kh-shiddiq-al-jawi-moderasi-agama-berbahaya/