Home Afkar KH M. SHIDDIQ AL-JAWI: ISLAM NUSANTARA TAK SEJALAN DENGAN ISLAM

KH M. SHIDDIQ AL-JAWI: ISLAM NUSANTARA TAK SEJALAN DENGAN ISLAM

69

Pengantar:

Wacana Islam Nusantara kembali mengemuka belakangan ini. Sebelumnya, Islam Nusantara pernah dimunculkan tahun 2015 pada sebuah muktamar yang diselenggarakan oleh organisasi keagamaan NU.

Lalu apa sebetulnya yang disebut dengan Islam Nusantara? Apa latar belakang kemunculannya? Untuk tujuan apa Islam Nusantara dimunculkan? Bagaimana pandangan Islam sendiri terhadap ide Islam Nusantara?

Itulah di antara perkara yang ditanyakan oleh kepada KH M. Shiddiq al-Jawi dalam wawancara dengan Redaksi berikut ini.

 

 

Akhir-akhir ini muncul istilah Islam Nusantara. Menurut Kiai, apa itu Islam Nusantara?

Islam Nusantara bagi saya substansinya sama dengan istilah Islam Liberal, Islam Moderat, atau istilah apapun yang semakna dengan itu. Kalaupun ada perbedaan di antara istilah-istilah itu, perbedaannya tidak signifikan. Islam Nusantara substansinya adalah Islam yang dioplos dengan ide-ide dari Peradaban Barat, seperti sekularisme, nasionalisme dan demokrasi. Dengan kata lain, Islam Nusantara adalah Islam yang telah ditundukkan di bawah hegemoni ideologi Kapitalisme-Demokrasi di bawah pimpinan AS (Amerika Serikat) yang mencengkeram dunia global saat ini. Salah satu buktinya, Islam Nusantara menolak keras konsep Khilafah. Padahal Khilafah adalah ajaran Islam mengenai bentuk pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin. Penolakan ini sebenarnya bukan karena Khilafah itu bertentangan dengan contoh Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin, melainkan karena bertentangan dengan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Bukti lainnya, Islam Nusantara menolak keras konsep Khilafah tunggal untuk seluruh umat Islam sedunia. Padahal jumhur ulama mewajibkan ketunggalan Khilafah untuk seluruh umat Islam sedunia. Penolakan ini sebenarnya bukan karena ketunggalan Khilafah itu tidak ada dalilnya dari Rasulullah saw. ataupun Khulafaur Rasyidin, melainkan karena bertentangan dengan nasionalisme yang mendasari nation-state (negara bangsa) yang tidak akan pernah mengizinkan umat Islam seluruh dunia bersatu di bawah satu negara, yaitu negara Khilafah.

 

Penggagas Islam Nusantara menyatakan Islam Indonesia berbeda dengan Arab. Di Indonesia Islam disebarkan dengan damai, sementara di Arab dengan kekerasan. Benarkah pandangan ini?

Begini. Dakwah Islam itu, kalau ditinjau secara normatif dan historis, akan terwujud dalam 3 (tiga) bentuknya secara berurutan yaitu: dakwah fikriyyah, dakwah siyâsiyyah dan dakwah ‘askariyyah.

Dakwah fikriyyah itu artinya mengajak manusia pada Islam melalui perubahan pemikiran yang dilakukan secara damai, tanpa kekuasaan dan tanpa kekuatan senjata. Ini dilakukan oleh Rasulullah saw. dulu di Makkah sebelum hijrah.

Dakwah siyâsiiyah adalah mengajak manusia pada Islam melalui penerapan Islam secara kâffah melalui kekuasaan. Ini seperti Rasulullah saw. dulu setelah hijrah ke Madinah.

Adapun dakwah ‘askariyyah adalah mengajak manusia pada Islam melalui kekuatan senjata (militer). Ini sebagaimana Rasulullah saw. dulu yang menyebarkan Islam dengan jihad fi sabilillah atau dengan futûhât. Ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, menaklukan Syam dan Mesir. Nah, dalam rangka futûhât ini Rasulullah saw. selalu menawarkan 3 (tiga) pilihan secara urut bagi bangsa yang menjadi objek dakwah: Pertama, silakan masuk Islam secara damai. Kedua, boleh tetap dalam agama mereka, tetapi mereka wajib membayar jizyahKetiga, diperangi jika mereka menolak dua pilihan sebelumnya.

Jadi, futûhât itu tidak langsung perang. Ada dakwah dulu untuk masuk Islam secara damai. Nah, dari uraian singkat ini kita akan tahu bahwa sangat dangkal kalau ada yang mengatakan Islam di Arab dulu disebarkan hanya dengan jihad atau yang mereka sebut “kekerasan”. Pasalnya, Rasulullah saw. justru mengawali dakwah itu dengan dakwah fikriyyah di Makkah yang sifatnya damai tanpa menggunakan kekuasaan atau senjata. Jika yang dimaksud “kekerasan” adalah futûhât, maka futûhât itu tidak langsung perang, melainkan wajib didahului oleh ajakan masuk Islam secara damai.

Untuk konteks Indonesia, tiga bentuk dakwah yang saya sebut itu sebenarnya juga terjadi. Dakwah fikriyyah, yang antara lain dilakukan oleh Walisongo, mengakibatkan banyak masyarakat Indonesia yang masuk Islam secara damai. Namun, Walisongo akhirnya juga memasuki tahapan dakwah siyâsiyyah ketika mereka mendukung pendirian Kesultanan Demak tahun 1478. Ketika kemudian Kesultanan Demak memerangi Kerajaan Majapahit tahun 1527, itu artinya Walisongo juga melakukan dakwah ‘askariyyah.

 

Sering disebut-sebut dasar Islam Nusantara adalah tawssuth dan tasâmuh. Bagaimana Islam mendudukkan hal ini?

Istilah tawassuth dan tasâmuh memang istilah Arab. Namun, konten yang mereka maksudkan sebenarnya adalah ide Barat, bukan ide Islam. Yang mereka maksud tawassuth adalah moderasi ajaran Islam, yaitu menundukkan Islam di bawah ide Barat atau kebijakan politik global Barat di bawah pimpinan AS. Misalnya, mengubah ajaran Islam tentang jihad justru untuk menggembosi jihad melawan Israel yang telah menjajah Palestina. Jihad hanya diartikan berjuang tanpa ada hubungannya dengan perang secara fisik.

Yang mereka maksudkan tasâmuh adalah toleransi terhadap agama lain dengan mengikuti standar nilai (values) Barat, seperti relativisme dan pluralisme, sehingga semua agama akhirnya dianggap benar.

 

Saat ini Islam Nusantara getol dipropagandakan akan menyelesaikan persoalan kekerasaan di daerah konflik, seperti Afganistan dan Timur Tengah. Bisakah?

Itu hanya propaganda kosong yang tidak ada artinya. Mengapa? Karena mereka tidak menjelaskan bagaimana cara Islam Nusantara akan mengatasi konflik Timur Tengah atau Afganistan.  Kata kuncinya adalah “how”, yakni bagaimana. Mereka tidak akan pernah menjelaskan itu. Mengapa? Karena mereka  tahu, cara yang akan mereka usulkan sebenarnya hanyalah mengikuti kebijakan politik AS (Amerika Serikat) dalam mengatasi konflik Timur Tengah, tetapi kemudian diberi kedok ajaran Islam. Misal, bagaimana Islam Nusantara menyelesaikan masalah Palestina? Jawabannya adalah “rahmah” atau sikap kasih sayang. Jika yang harus “rahmah” adalah Israel, jelas itu usulan yang aneh bin ajaib. Bagaimana mungkin Israel yang terkenal biadab dan kejam akan mau menerima usulan itu? Jika yang harus “rahmah” adalah Muslim Palestina, ini lebih aneh lagi. Bagaimana mungkin umat Islam Palestina yang sudah puluhan tahun dibantai dan ditindas secara kejam oleh Israel, kemudian disuruh bersikap “rahmah” kepada Israel? Jadi, intinya, “rahmah” itu melegitimasi eksistensi Israel untuk tetap menjajah Palestina.

 

Salah satu ide pokok Islam Nusantara adalah penerimaan Islam terhadap adat-istiadat/tradisi lokal. Bagaimana sesungguhnya relasi Islam dengan budaya lokal?

Sebenarnya relasi Islam dan budaya lokal itu jelas kaidahnya. Islam menjadi standar. Budaya lokal adalah objek yang distandarisasi. Jadi kalau budaya lokal itu sesuai dengan Islam, kita boleh ambil. Misalnya, memakai blangkon yang menjadi penutup kepala khas laki-laki Jawa. Sebaliknya, jika budaya lokal itu tidak sesuai dengan Islam, tidak boleh kita amalkan. Misalnya, mengenakan kemben bagi perempuan Jawa. Jelas itu menampakkan aurat seorang Muslimah. Ini tentu haram.

Nah, masalahnya, posisi budaya lokal ini oleh penggagas Islam Nusantara akhirnya dijadikan standar. Sebaliknya, ajaran Islam justru menjadi objek standarisasi. Jadi Islam harus ditundukkan dan dikalahkan di bawah budaya lokal. Kekeliruan fatalnya di sini. Alasannya, karena Islam itu ‘kan mestinya menjadi furqân (pembeda hak dan batil) bagi budaya lokal. Oleh penganut Islam Nusantara, budaya lokal itu posisinya di balik. Akhirnya dijadikan furqân, yakni dijadikan standar atau tolok ukur untuk menilai ajaran Islam.

 

Jika demikian, ide Islam Nusantara ini apakah hanya semata memperkenalkan Islam di Nusantara ataukah ada maksud lain?

Tujuan adanya Islam Nusantara itu menurut saya cukup jelas, yaitu untuk menolak ajaran Islam yang tidak mereka sukai, yaitu konsep Khilafah. Khilafah ditolak karena dianggap Islam Arab, bukan termasuk Islam Nusantara. Padahal Khilafah sebenarnya justru merupakan ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

 

Ide Islam Nusantara ini apakah sejalan dengan Islam ataukah justru bentuk liberalisasi Islam?

Saya kira jelas. Islam Nusantara sudah tidak sejalan dengan Islam. Mengapa? Karena Islam Nusantara itu akan menjadikan Islam mengalami distorsi. Islam menjadi tidak murni lagi. Islam dioplos dengan ide-ide Barat seperti demokrasi dan sekularisme. Bahkan ide-ide Barat tersebut tidak sekadar dioplos dengan Islam, tetapi telah dijadikan standar untuk menerima atau menolak ajaran Islam. Dengan Islam Nusantara, akan berlangsung proses adaptasi agar Islam ditundukkan di bawah standar dan dominasi ide-ide Barat yang liberal. Jika ini disebut sebagai “liberalisasi Islam”, saya setuju karena memang begitulah adanya.

 

Jadi Islam Nusantara itu ide atau metode baru dalam mendistorsi Islam ataukah ide lama dengan wajah baru?

Islam Nusantara bagi saya adalah modus baru yang jahat untuk memalsukan ajaran Islam. Tujuannya untuk menundukkan ajaran Islam agar sesuai dengan ideologi dan kepentingan politik Barat yang tengah mendominasi umat Islam saat ini.

 

Jika dikaitkan dengan konstelasi politik saat ini, apa target utamanya?

Dalam konteks politik, Islam Nusantara adalah penyalahgunaan Islam yang secara khusus bertujuan untuk mencegah kembalinya Khilafah. Secara umum Islam Nusantara bertujuan untuk mengajak umat Islam tunduk pada kebijakan politik AS (Amerika Serikat) dalam mengatasi konflik Timur Tengah.

 

Lalu apa yang harus dilakukan oleh umat Islam terkait dengan ide Islam Nusantara ini?

Islam Nusantara harus dihancurkan. Pasalnya, Islam Nusantara itu hakikatnya bukan Islam, atau setidak-tidaknya adalah upaya untuk mendistorsi Islam. []

 

Sumber:
https://al-waie.id/hiwar/kh-m-shiddiq-al-jawi-islam-nusantara-tak-sejalan-dengan-islam/