
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya :
Assalamu ’alaikum. Ustadz ijin bertanya. Jika ada staff yang sebelumnya sudah mendapatkan hak bonusnya, sudah diserahterimakan dan ditandatangani penyerahan bonusnya. Lalu selang beberapa bulan kemudian dia menghubungi lagi, mengatakan bahwa masih ada bonus yang “dijanjikan” oleh owner yang belum terrealisir. Misal tambahan bonus Rp 10 juta. Dia mengatakan pernah disampaikan oleh owner, sedangkan kami selaku owner juga lupa/tidak merasa menjanjikan hal tersebut. Dan di dalam perjanjian aqad tertulis, setelah kami periksa juga tidak ada. Katanya disampaikan oleh owner secara lisan, sedangkan kami lupa/tidak merasa menyampaikan. Kira-kira bagaimana solusinya Ustadz, karena kami sangat berhati-hati dengan janji, karena berkaitan komitmen, sedangkan tidak ada bukti akan janji tersebut. Jazakallah khoiron. (Hamba Allah, Bandung).
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuhu.
Pertama-tama wajib dipahami bahwa pada hukum asalnya, seseorang itu lepas atau terbebas dari tanggung jawab atau kewajiban atas orang lain, termasuk tuntutan pembayaran tambahan bonus seperti kasus di atas, sesuai kaidah fiqih yang berbunyi :
الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
Al-Ashlu barā`at al-dzimmah. Artinya, hukum asalnya adalah bebasnya (seseorang) dari tanggungan (utang, nafkah, tuntutan/klaim, dsb). (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimat al-Dustūr, Juz I, hlm. 74).
Maka dari itu, jika staf tersebut menuntut kepada owner adanya piutang baginya berupa tambahan bonus Rp 10 juta yang belum dibayar oleh owner kepada staf tersebut, staf itu wajib hukumnya membuktikan tuntutannya tersebut, misalnya perjanjian tertulis, atau ada dua orang saksi laki-laki yang adil, dan sebagainya, bahwa owner berjanji memberikan tambahan bonus sebesar Rp 10 juta.
Jika bukti-bukti seperti ini tidak dapat dihadirkan oleh staf tersebut, maka tuntutan staf tersebut dianggap tidak cukup bukti secara hukum syariah, sehingga akibat hukumnya adalah tiadanya kewajiban bagi owner dalam kasus tersebut untuk membayar tagihan tambahan bonus yang diklaim oleh staf tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW dan sekaligus kaidah fiqih yang menegaskan :
الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ
“Bukti wajib ditunjukkan oleh pihak yang mendakwakanmengklaim), sedangkan sumpah diberikan oleh pihak yang mengingkari (dakwaan itu).” (HR. Al-Baihaqī, Al-Sunan al-Sughrā, 4/189; Muhammad Shidqī al-Būrnū, Maūsu’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, Juz III, hlm. 133).
Dengan demikian, jika pihak owner merasa yakin atau setidaknya mempunyai dugaan kuat (ghalabat al-zhann) bahwa pihaknya tidak pernah menjanjikan bonus tambahan yang diklaim oleh staf, owner dapat bersumpah demi Allah bahwa owner tidak pernah menjanjikan bonus tambahan. Misalnya, owner mengucapkan sumpah di hadapan staf itu,”Demi Allah, saya selaku owner tidak pernah menjanjikan tambahan bonus sebesar Rp 10 juta seperti yang Anda klaim.”
Akan tetapi jika owner sendiri merasa tidak yakin dan ragu-ragu, serta tidak berani bersumpah demi Allah dalam masalah ini, karena bersikap hati-hati, maka owner dapat menawarkan perdamaian (al–ishlah/al-shul-hu) dengan staf, untuk menyepakati besarnya tambahan bonus dengan nilai yang kurang dari yang seharusnya. Misal, owner menawarkan membayar 50% (atau boleh juga persentase nilai lainnya) dari nilai tambahan bonus yang dijanjikan.
Jika kedua belah pihak sepakat dengan besar bonus 50% (misalnya), maka selesai sudah persoalan ini berdasarkan syariat Allah, berdasarkan perdamaian (al–ishlah), yang memang dibolehkan dalam syariah Islam, sebagai salah satu solusi syariah untuk menyelesaikan persengketan yang terjadi di antara kaum muslimin. Rasulullah SAW telah bersabda :
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ، إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Perdamaian itu boleh hukumnya di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal, atau yang menghalalkan yang haram.” (HR. Al-Tirmidzi, no. 1352; Ibnu Majah, no. 2353; Muhammad Shidqī al-Būrnū, Maūsu’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, Juz VI, hlm. 240; Muhammad Bakar Ismā’īl, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah Bayna al-Ashālah wa al-Tawjīh, hlm.198). Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 12 Mei 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi