Home Soal Jawab Fiqih JUAL BELI DOMBA BUNTING, BOLEHKAH?

JUAL BELI DOMBA BUNTING, BOLEHKAH?

105
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer

 

Tanya :

Assalamualaikum. Ustadz kalau jual beli domba bunting hukumnya apa? Bukankah itu ada unsur gharar-nya? (M. Ichsan Salam, Jakarta).

 

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wr. wb.
Boleh hukumnya jual beli hewan bunting, asalkan objek akadnya adalah hewannya, bukan anak hewan dalam perut hewan bunting, dan terjadi secara saling ridha (‘an tarādhin) antara penjual dan pembeli. Adapun menjual belikan hewan yang sedang bunting, yang objek akadnya adalah anak hewan yang masih ada di dalam perut hewan bunting tersebut, hukumnya haram.

Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab berkata :

إِذَا بَاعَ حَامِلًاً بَيْعًاً مُطْلَقًاً دَخَلَ الْحَمْلُ فِي الْبَيْعِ بِالْإِجْمَاعِ وَلَوْ بَاعَهَا إِلَّا حَمْلَهَا لَمْ يَصِحَّ الْبَيْعُ عَلَى الصَّحِيحِ

“Jika seseorang menjual hewan yang bunting secara mutlak, berarti termasuk menjual anak dalam perut hewan tersebut dalam jual belinya, menurut ijma’ ulama. Tetapi kalau dia hanya menjual anak dalam perut hewan bunting itu (tanpa menjual hewan induknya), maka jual belinya tidak sah, menurut pendapat yang shahih.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz X, hlm. 355).

Dalilnya adalah keumuman dalil-dalil yang membolehkan jual beli, yang mencakup semua bentuk jual beli, termasuk menjualbelikan domba yang sedang bunting.

Firman Allah SWT :

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah : 275).

Firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka (‘an tarādhin) di antara kamu.” (QS An-Nisā` : 29).

Sabda Rasulullah SAW :

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

“Sesungguhnya jual beli itu hanyalah atas dasar saling ridha (‘an tarādhin) (suka sama suka, tanpa ada paksaan).” (HR. Ibnu Majah, no. 1792).

Berdasarkan dalil-dalil umum yang membolehkan jual beli ini, boleh hukumnya jual beli hewan bunting, asalkan objek akadnya adalah hewannya, bukan anak hewan dalam perut hewan bunting, dan terjadi secara saling ridha (‘an tarādhin) antara penjual dan pembeli.

Adapun menjual belikan hewan yang sedang bunting, yang objek akadnya adalah anak hewan yang masih ada di dalam perut hewan bunting tersebut, hukumnya haram. Dalil-dalil yang mengharamkan jual beli anak hewan yang masih ada di dalam perut hewan betina, antara lain :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمَلَاقِيحِ وَالْمَضَامِينِ وَحَبَلِ الْحَبَلَةِ  

Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW telah melarang jual beli al-malāqīh (anak hewan yang masih ada di perut ibunya), al-madhāmīn (sperma hewan pejantan yang masih ada di tubuhnya), dan habal al-habalah (menjual anak hewan yang akan dikandung oleh anak hewan yang masih ada dalam perut hewan betina).” (HR. Al-Bazzār, Musnad Al-Bazzār, 14/220, nomor 7785).

Dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, dijelaskan apa yang dimaksud jual beli al-madhāmīn dan jual beli al-malāqīh yang dilarang itu, sebagai berikut :

وَبَيْعُ الْمَضَامِينِ: وَهِيَ مَا سَيُوجَدُ مِنْ مَاءِ الْفَحْلِ. وَبَيْعِ الْمَلَاقِيحِ: وَهِيَ مَا فِي الْبُطُونِ مِنْ الْأَجِنَّةِ

“Jual beli al-madhāmīn, maksudnya (jual beli) sperma hewan pejantan yang masih ada di tubuhnya. Sedang yang dimaksud jual beli al-malāqīh, adalah (jual beli) anak hewan yang masih ada di perut ibunya berupa janin hewan.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 9/29).

Hadits dari Abu Hurairah RA yang melarang jual beli al-madhāmīn dan jual beli al-malāqīh ini, dinilai dha’if (lemah) oleh para ulama, karena terdapat periwayat hadits bernama Shalih bin Abi Al-Akhdhar. (Imam Al-Haitsami, Majma’ Az-Zawā`id, 4/104).

Namun hadits serupa ada yang sanadnya kuat (isnādahu qawiy). Hadits lain ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas RA dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabīr karya Imam Al-Thabrani, dan juga oleh Ibnu ‘Umar RA dalam kitab Al-Mushannaf karya ‘Abdur Razzāq. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitabnya Al-Talkhish Al-Habīr menjelaskan :

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي الْكَبِيرِ لِلطَّبَرَانِيِّ وَالْبَزَّارِ وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ أَخْرَجَهُ عَبْدَالرَّزَّاقٌ وَإِسْنَادُهُ قَوِيٌّ

“(Hadits tersebut diriwayatkan juga) dari Ibnu ‘Abbas RA dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabīr karya Imam Al-Thabrani, juga dari Ibnu ‘Umar RA dalam kitab Al-Mushannaf karya ‘Abdur Razzāq, dan sanadnya kuat (isnādahu qawiy).” (Ibnu Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Talkhish Al-Habīr, Juz III, hlm. 26).

Dengan demikian, jelaslah bahwa hadits di atas layak menjadi dalil (hujjah) untuk mengharamkan apa yang disebut jual beli al-malāqīh (anak hewan yang masih ada di perut ibunya) dan al-madhāmīn (sperma hewan pejantan yang masih ada di tubuhnya). Para ulama menjelaskan bahwa terdapat ijmā’ (kesepakatan), artinya tak ada khilāfiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama, mengenai haramnya jual beli al-malāqīh dan al-madhāmīn tersebut.

Imam Ibnul Mundzir berkata :

أَجْمَعُوْا عَلىَ أنَّ بَيْعَ الْمَضَامِيْنِ وَالْمَلاَقِيْحِ لاَ يَجُوْزُ

“Para ulama telah berijma’ (berkonsensus) bahwa jual beli al-madhāmīn (sperma hewan pejantan yang masih ada di tubuhnya) dan jual beli al-malāqīh (anak hewan yang masih ada di perut ibunya) tidak diperbolehkan.” (Ibnul Mundzir, Al-Isyrāf ‘Alā Madzāhib Al-‘Ulamā`, 6/17; Al-Ijmā’, hlm. 103).

Para ulama juga menjelaskan, haramnya jual beli al-madhāmīn dan jual beli al-malāqīh tersebut, disebabkan adanya ‘illat (alasan pensyariatan hukum), yaitu adanya gharar (ketidapastian). Imam Ibnu ‘Abdil Barr berkata dalam kitabnya Al-Istidzkār :

اِتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلىَ أنَّ بَيْعَ مَا فِيْ بُطُوْنِ اْلإنَاثِ لاَ يَجُوْزُ؛ لِأنَّهُ غَرَرٌ وخَطَرٌ ومَجْهُوْلٌ

“Para ulama telah sepakat bahwa jual beli apa yang masih di dalam perutnya hewan betina, tidak boleh, karena jual beli itu mengandung gharar (ketidakpastian), khathar (bahaya/risiko), dan majhūl (ketidaktahuan).” (Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Istidzkār, 20/187).

Kesimpulannya, boleh hukumnya jual beli hewan bunting, asalkan objek akadnya adalah hewan betinanya, bukan anak hewan dalam perut hewan bunting tersebut. Adapun jika yang dijualbelikan adalah anak hewan yang masih ada di dalam perut hewan bunting tersebut, tanpa membeli hewan betinanya, hukumnya haram, karena mengandung unsur gharar (ketidakpastian). Wallāhu a’lam.

Jakarta, 5 Nopember 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi