Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya:
Assalamualaikum ustadz, perkenalkan saya Muh. Arif dari Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Mahasiswa Hamfara angkatan 2018.
Semoga ustadz Shiddiq Al Jawi dan keluarga selalu dalam lindungan Allah SWT.
Saya mau bertanya ustadz, bagaimana hukumnya jika teman saya mau beli buku ke saya, sementara saya tidak punya buku nya saat itu. Akhirnya saya beli buku untuk saya jual lagi ke teman saya tadi.
Sebelum nya saya sudah di kenal jualan buku, hanya saja buku yang mau teman saya beli sedang tidak ada stok nya. Baru saya stok lagi setelah tau teman saya mau beli. Bagaimana hukumnya ustadz, apakah transaksi saya boleh dalam Islam.
Terimakasih banyak ustadz.
Jawab:
Wa ‘alaikumus salam wr wb
Transaksi tersebut hukumnya ada rincian (tafshil) sebagai berikut :
Pertama, jika transaksi yang terjadi ketika penjual belum memiliki barang itu dianggap sebagai akad jual beli, hukumnya haram. Hal ini karena penjual berarti telah menjual barang yang belum dia miliki. Jelas jual beli seperti ini telah dilarang oleh syara’ sesuai sabda Nabi SAW :
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (Arab : ,lā tabi’ mā laysa ‘indaka). (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Salah satu pengertian dari “apa-apa yang tidak ada di sisimu” (مَا لَيْسَ عِنْدَكَ) adalah “apa-apa yang bukan milikmu,” ( مَا لَيْسَ فِيْ مِلْكِكَ), misalnya barang yang kamu jual itu belum menjadi milikmu, tapi masih jadi milik toko, dsb. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/390).
Kedua, jika transaksi yang terjadi ketika penjual belum memiliki barang itu tidak dianggap sebagai akad jual beli, melainkan dianggap janji (wa’ad) untuk berjual beli di masa depan ketika barangnya sudah dibeli/dimiliki penjual, hukumnya boleh, dengan syarat janji (wa’ad) tersebut bersifat tidak mengikat (wa’ad ghairu mulzim). Jika janji yang ada bersifat mengikat (wa’ad mulzim) hukumnya tidak boleh (haram).
Janji (wa’ad) bersifat tidak mengikat (wa’ad ghairu mulzim) artinya adalah, ketika penjual sudah memiliki/membeli barang, pembeli tidak diwajibkan membeli barang. Jadi penjual memberi opsi (khiyar) kepada pembeli untuk membatalkan janji untuk membeli barang, ketika barang sudah dimiliki/dibeli oleh penjual.
Sedangkan janji (wa’ad) yang sifatnya mengikat (wa’ad mulzim) artinya adalah, penjual mewajibkan pembeli untuk membeli barang yang sudah dimiliki/dibeli oleh penjual. Jadi, penjual tidak memberi opsi (khiyar) kepada pembeli untuk membatalkan janji akan membeli yang terjadi sebelumnya.
Janji (wa’ad) yang sifatnya mengikat (wa’ad mulzim) seperti ini, hukumnya sama dengan akad jual beli.
Maka dari itu, tidak boleh hukumnya suatu jual beli ketika penjual belum memiliki barang, kemudian dia berjanji kepada pembeli akan membelikan barang, lalu penjual mewajibkan atau mensyaratkan pembeli harus membeli barang tersebut, setelah barangnya dibeli oleh penjual.
Adapun jika penjual tidak mengharuskan pembeli untuk membeli, hukumnya boleh. Jadi penjual memberi opsi (khiyar) kepada pembeli untuk membatalkan janji akan membeli yang telah terjadi sebelumnya.
Yang lebih baik adalah ketika penjual belum memiliki barang, jual beli dilakukan dengan akad jual beli pesan (bai’ as-salam), dengan memenuhi syarat yang ada dalam dalam jual beli pesan (bai’ as-salam), yaitu pembeli diwajibkan membayar lunas di muka, yaitu pada saat transaksi. Jika pembeli tidak membayar sama sekali, atau hanya membayar sebagian (DP), maka jual beli pesan tersebut hukumnya tidak sah secara syariah. Wallahu a’lam.
Bandung, 14 Maret 2024 Muhammad Shiddiq Al-Jawi