Home Fiqih Fiqih ibadah JAWABAN UNTUK BEBERAPA PERTANYAAN SEPUTAR PENGURUSAN JENAZAH

JAWABAN UNTUK BEBERAPA PERTANYAAN SEPUTAR PENGURUSAN JENAZAH

92

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, ada yang menanyakan hal hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dalam pengurusan jenazah, sebagai berikut;

  1. Apakah diijinkan menabur bunga di atas makam?
  2. Apakah boleh ada tahlilan?
  3. Bagaimana hukum menjamu orang takziyah dan orang yang hadir tahlilan jika tahlilan di perbolehkan?
  4. Memilih makam sebaiknya seperti apa? Apakah yang dekat dengan masjid?
  5. Apakah saat jenazah dihantarkan ke makam, keluarga boleh membawa foto almarhum? Jika foto tersebut diletakkan di atas pusara bagaimana hukumnya?
  6. Apakah istri dan anak perempuan boleh ikut memandikan dan mengurus jenazah?
  7. Kalau soal selametan 7 hari, 40 hari, dst, hukumnya bagaimana?
  8. Kalau taklif untuk istri yang ditinggal wafat suaminya, ada larangan keluar rumah selama 4 bulan 10 hari betul ya ustadz? Kalau keluar untuk hajat syar’i (berobat, belanja, kajian ilmu, ziarah), bolehkah?
  9. Mengadzani dan mengikomati jenazah setelah dimapankan posisinya hadap kiblat itu (masih di dalam liang kubur) ada syariatnya tidak Ustadz? (Hamba Allah)

 

Jawab :

 

Pertanyaan nomor 1 “Apakah diijinkan menabur bunga di atas makam?”

Jawabannya : Terdapat khilāfiyah (perbedaan pendapat) apakah boleh menabur bunga di atas makam (kuburan).

Pendapat pertama, mengharamkan dan membid’ahkan, karena dianggap menyia-nyiakan harta (idhā’atul mal) dan menyeruai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffār).

Pendapat kedua, membolehkan dengan dalil Nabi SAW pernah meletakkan pelepah kurma yang masih basah di atas kuburan dua orang di suatu kebun di Makkah, atau Madinah.

Tarjih :  pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang membolehkan, karena ada dalilnya dari Rasulullah SAW, sebagai berikut :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ وَغَيْرِهِمَا قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ، فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِي قُبُورِهِمَا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، ثُمَّ قَالَ: بَلَى، كَانَ أَحَدُهُمَا لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، وَكَانَ الْآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ، ثُمَّ دَعَا بِجَرِيدَةٍ فَكَسَرَهَا كَسْرَتَيْنِ، فَوَضَعَ عَلَى كُلِّ قَبْرٍ مِنْهُمَا كَسْرَةً، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ فَعَلْتَ هَذَا ؟ قَالَ: لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ تَيْبَسَا، أَوْ إِلَى أَنْ يَيْبَسَا. رواه البخاري و مسلم

Dari Ibnu ‘Abbas RA ia berkata,”Rasulullah SAW melewati salah satu kebun di kota Madinah atayu Makkah. Beliau mendengar suara dua orang manusia yang sedang disiksa dalam kubur mereka. Rasulullah SAW bersabda,”Keduanya disiksa bukan karena perkara yang besar” “Ya (sebenarnya keduanya adalah perkara yang besar)! Salah seorang dari keduanya tidak melindungi diri dari air kencingnya, sedang yang satunya lagi suka melakukan namīmah (adu domba). Kemudian beliau meminta pelepah kurma, lalu membelahnya dua bagian setelah itu beliau letakkan bagian pelepah kurma di atas kubur keduanya. Ada yang bertanya,”Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbuat seperti itu?” Beliau menjawab: “Mudah-mudahan diringankan azab mereka berdua selama pelepah itu belum mengering.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

 

Penulis kitab Tuhfatul Muhtāj Al-Imam Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami (bermazhab Syafi’i) berdasarkan dalil hadits di atas berkata :

يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلِاتِّبَاعِ، وَسَنَدُهُ صَحِيحٌ، وَلِأَنَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيحِهَا ، إِذْ هُوَ أَكْمَلُ مِنْ تَسْبِيحِ الْيَابِسَةِ، لِمَا فِي تِلْكَ مِنْ نَوْعِ حَيَاةٍ، وَقِيسَ بِهَا مَا اعْتِيدَ مِنْ طَرْحِ الرَّيْحَانِ وَنَحْوِهِ

“Disunnahkan untuk meletakkan pelepah dari daun hijau di atas makam demi ittibā (mengikuti Nabi SAW), dan riwayat haditsnya sahih. Dan juga karena hal ini akan meringankan penghuni kubur karena keberkahan ucapan tasbih (subhānallah) dari pelepah hijau tersebut, karena tasbih dari yang basah lebih sempurna daripada tasbih dari sesuatu yang kering, mengingat dalam yang basah itu ada semacam kehidupan. Diqiyaskan dengan pelepah itu apa saja yang sudah menjadi kebiasaan (masyarakat) seperti menaburkan sesuatu yang wangi dan yang sejenisnya.” (Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtāj, Juz I, hlm. 434)

 

Pertanyaan nomor 2 “Apakah boleh ada tahlilan?”

Jawabannya : Tahlilan dalam pengertian orang berkumpul membaca Al-Qur`an, misalnya surat Yasin, lalu menghadiahkan pahalanya kepada orang yang sudah meninggal, ada khilāfiyah (perbedaan pendapat) di antara ulama. Pertama, menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad, pahalanya sampai kepada almarhum. Kedua, menurut Imam Syafi’i, pahalanya tidak sampai kepada almarhum.

Tarjih :  Pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang membolehkan tahlilan dalam pengertian di atas, yaitu orang berkumpul membaca surat Yasin, lalu menghadiahkan pahalanya kepada orang yang sudah meninggal. Dalil sahnya menghadiahkan pahala bacaan tersebut untuk orang yang sudah mati adalah sabda Nabi SAW :

اقْرَؤُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يآسٍ

“Bacakanlah kepada orang-orang yang sudah meninggal di antara kamu surat Yasin.” (Arab: iqra`ū ‘alā mautākum yāsīn) (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim; hadits ini statusnya hasan menurut Imam Jalaluddin As-Suyuthi, al-Jāmi’ al-Shaghīr, I/52).

Maksud mautākum dalam hadits itu ialah “orang-orang yang sudah meninggal di antara kamu”, bukan “orang-orang yang hendak meninggal di antara kamu”. Demikian penegasan Imam Syaukani yang mengartikan mautākum dalam makna hakikinya (makna sebenarnya), untuk membantah ulama seperti Imam al-Khaththabi yang mengartikannya secara majazi (kiasan), yaitu “orang-orang yang hendak meninggal.” (Nailul Authār, hal. 776-778; Subulus Salām, II/91).

(https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/363).

 

Pertanyaan nomor 3,” Bagaimana hukum menjamu orang takziyah dan orang yang hadir tahlilan jika tahlilan diperbolehkan?”

Jawabannya, hukumnya makruh, tidak haram. Dalilnya :

عَنْ عَبْدِاللّهِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا قُتِلَ فِي غَزْوَةِ مُؤْتَةَ فِي أَرْضِ الشَّامِ إِلَى الْمَدِينَةِ أَمَرَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَهْلَهُ أَنْ يَصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا قَالَ: لِأَنَّهُ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ

Dari Abdulah bin Ja’far bin Abi Thalib, bahwa Nabi SAW ketika mendapat kabar dukacita meninggalnya Ja’far bin Abi Thalib RA karena terbunuh di Perang Mu`tah di negeri Syam, ketika jenazahnya sampai di kota Madinah, Nabi SAW memerintahkan kepada keluarganya untuk membuatkan makanan bagi keluarga Ja’far, Nabi SAW bersabda,”Karena telah datang kepada keluarga Ja’far sesuatu yang memasygulkan (hati) mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3132, Al-Tirmidzi, no. 998; dan Ibnu Majah, no.1610).

Berdasarkan hadits tersebut : (1) makruh hukumnya keluarga dari orang yang meninggal untuk membuat jamuan makanan bagi tamu-tamu yang bertakziyah; (2) sunnah hukumnya bagi tetangga atau kerabat untuk membuatkan makanan bagi keluarga dari orang yang meninggal, untuk menjamu tamu yang bertakziyah. (Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Juz ke-16, hlm. 44).

 

Pertanyaan nomor 4 “Memilih makam sebaiknya seperti apa? Apakah yang dekat dengan masjid?”

Jawabannya, justru yang lebih baik adalah memilih makam yang jauh dari masjid, sebab pemakaman yang lokasinya di dalam masjid, atau di dekat masjid menjadi mahallul khilāf (titik perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Kaidah fiqih menganjurkan untuk menghindarkan diri dari perbedaan pendapat :

الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ

“Keluar dari perbedaaan pendapat adalah sesuatu yang disunnahkan.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Juz 3-4, hlm. 278).

Jika dimakamkan di luar masjid, baik di kanan kiri masjid, atau di arah kiblat masjid, hukumnya boleh. Dan boleh pula orang sholat di dalam masjid itu, selama kuburan itu berada di luar batas-batas masjid, ditandai dengan adanya dinding (al-jidār, pembatas) antara masjid dengan kuburan tersebut. Lebih afdhol lagi, ada dinding (al-jidār, pembatas) yang kedua yang membatasi kuburan itu, atau ada semacam jalan kecil yang memisahkan antara masjid dan kuburan. (Majmū’ Fatāwā Bin Bāz, 13/357).

 

Pertanyaan nomor 5 “Apakah saat jenazah dihantarkan ke makam, keluarga membawa foto almarhum? Jika foto tersebut diletakkan di atas pusara bagaimana hukumnya?”

Jawabannya: Dalam fiqih Islam, membawa foto almarhum saat pemakaman, atau meletakkan foto almarhum di atas pusara, hukumnya diperbolehkan, jika tujuannya untuk sesuatu yang diperbolehkan syariat Islam, bukan untuk tujuan yang diharamkan syariat Islam.

Jadi, hendaklah tujuan membawa foto almarhum itu hanyalah agar orang yang bertakziyah itu mengenang dan mendoakan almarhum, bukan untuk tujuan agar mereka meratapi almarhum atau agar keluarga almarhum membanggakan diri almarhum di hadapan para tamu undangan, dsb. Kaidah fiqih menetapkan :

الْوَسَائِلِ تَتَّبِعُ الْمَقَاصِدَ فِي أَحْكَامِهَا

“Segala bentuk sarana (wasīlah) itu hukumnya mengikuti hukum tujuan.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Juz ke-12, hlm. 199).

Walhasil, membawa foto almarhum saat pemakaman, atau meletakkan foto almarhum di atas pusara, hukumnya diperbolehkan, selama tujuannya untuk sesuatu yang diperbolehkan syariat Islam. Di samping itu, membawa foto almarhum di pemakaman atau meletakkan foto di pusara, disyaratkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan syariat Islam, misalnya : menimbulkan fitnah, atau menambah kesedihan berlebihan pada keluarga, atau terdapat kemusyrikan, atau menampilkan gambar almarhum yang tidak sopan.

 

Pertanyaan nomor 6,” Apakah istri dan anak perempuan ikut memandikan dan mengurus jenazah?”

Jawabannya : istri memandikan jenazah suaminya, boleh. Adapun anak perempuan memandikan jenazah ayahnya, tidak boleh.

Dalam situs fatwa islamweb.net dijelaskan hukum syariah memandikan jenazah sbb :

فَلَا حَرَجَ فِي تَغْسِيلِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ الْآخَرِ بَعْدَ وَفَاتِهِ

“Tidak masalah salah satu dari pasutri (pasangan suami istri) memandikan yang lainnya setelah kewafatannya.”

وَلَكِنْ لَا يَغْسِلُ الِابْنُ أُمَّهُ أَوْ أُخْتَهُ، وَلَا الْبِنْتُ أَبَاهَا أَوْ أَخَاهَا

“Tetapi tidak boleh anak laki-laki memandikan ibunya, atau saudara perempuannya, dan tidak boleh pula anak perempuan memandikan ayahnya, atau saudara laki-lakinya.”

(https://www.islamweb.net/ar/fatwa/407695/).

 

Pertanyaan nomor 7 : ”Kalau soal selametan 7 hari, 40 hari, dst, hukumnya bagaimana?”

Jawabannya, boleh ada doa atau selamatan 7 hari, 40 hari, dst dengan syarat hitungan tersebut tidak dianggap ibadat, tapi hanya adat. Sebab jika dianggap ibadat, wajib ada dalilnya, padahal tidak ada dalilnya. Jadi jangan diniatkan ibadat karena akan 6 tergolong bid’ah. Definisi bid’ah menurut Syekh ‘Abdurrahmān Al-Baghdādī dalam kitabnya Fī Dzikrā Maulid Al-Rasūl :

الْبِدْعَةُ هِيَ مَا يَقُومُ بِهِ الْمُسْلِمُ بِنِيَّةِ الْعِبَادَةِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ دَلِيلٌ مِنْ الشَّرْعِ

“Bid’ah adalah apa-apa yang dilakukan oleh seorang muslim dengan niat ibadat, tetapi tidak ada dalilnya dari syariah.” (‘Abdurrahmān Al-Baghdādī, Fī Dzikrā Maulid Al-Rasūl).

Adapun jika dianggap atau diniatkan sebagai adat, boleh saja dilakukan, karena faktanya acara selametan itu intinya adalah makan-makan atau berdoa mendoakan almarhum, atau membaca Yasin dan pahalanya dihadiahkan kepada almarhum. Semua perbuatan ini pada masing-masingnya adalah mubah dan tidak diharamkan syariah. Jadi hukumnya boleh, selama kegiatan selametan tersebut tidak bercampur dengan hal-hal yang diharamkan syariah, misalnya terjadi ikhtilāt (campur baur) antara tamu laki-laki dan perempuan, dan hal-hal haram lainnya.

 

Pertanyaan nomor 8 : “Kalau taklif untuk istri yang ditinggal wafat suaminya, ada larangan keluar rumah selama 4 bulan 10 hari betul ya Ustadz? Kalau keluar untuk hajat syar’i (berobat, belanja, kajian ilmu, ziarah), bolehkah?”

Jawabannya, betul bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya, wajib menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, sesuai firman Allah SWT :

وَالَّذِيۡنَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنۡكُمۡ وَيَذَرُوۡنَ اَزۡوَاجًا يَّتَرَبَّصۡنَ بِاَنۡفُسِهِنَّ اَرۡبَعَةَ اَشۡهُرٍ وَّعَشۡرًا

“Dan orang-orang yang wafat di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah : 234).

Ada sejumlah larangan-larangan syariah yang terkait bagi wanita tersebut dalam masa iddahnya, yang sudah kami tulis secara rinci dalam artikel berjudul Larangan-Larangan Bagi Perempuan Dalam Masa Berkabung (Ihdād) (https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/196). Silakan dirujuk.

Adapun khusus mengenai larangan keluar dari rumah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, ini perlu kami jelaskan sedikit lebih rinci.

Dalil larangan tersebut adalah hadis Furai’ah binti Malik RA yang suaminya meninggal, bahwa Nabi SAW berkata kepadanya :

امْكُثِي فِي بَيْتِكِ الَّذِي جَاءَ فِيهِ نَعْيُ زَوْجِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ

“Berdiamlah kamu di rumah kamu, tempat wafatnya suamimu, hingga berakhirnya masa iddahmu.” (HR. Tirmidzi no 1204, Al-Nasa`i, 6/199; Ibnu Majah, no 2031).

Lalu, bolehkah wanita itu keluar rumah untuk menunaikan beberapa keperluannya, seperti untuk keperluan berobat, belanja, kajian ilmu, ziarah?  Jawabannya, boleh sebagaimana penjelasan dalam situs fatwa www.dar-alifta.org sebagai berikut :

الْإِحْدَادُ يَكُونُ بِأَنْ تَمْكُثَ الْمَرْأَةُ فِي بَيْتِهَا تَارِكَةً لِلزِّينَةِ وَالطِّيبِ وَنَحْوِهِمَا؛ كَلَبْسِّ الْحُلِيِّ ، لَكِنْ يُبَاحُ لِلْمُعْتَدَةِ مِنْ وَفَاةِ زَوْجِهَا أَنْ تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا لِقَضَاءِ حَوَائِجِهَا؛ كَأَنْ تَذْهَبَ إِلَى عَمَلِهَا، أَوْ لِتَشْتَرِيَ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ ، مَعَ الْتِزَامِهَا بِمَا يُشْتَرَطُ فِي إِحْدَادِهَا؛ لِمَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي “صَحِيحِهِ” عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: طُلِّقَتْ خَالَتِي، فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا، فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ، فَأَتَتِ النَّبِي صلى الله عليه وآله وسلم، فَقَالَ: بَلَى، فَجُدِّي نَخْلَكِ؛ فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِي أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا

“Berkabung (al-ihdād) itu adalah diamnya wanita yang ditinggal mati suaminya di rumahnya, dengan ketentuan dia tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh memakai wewangian, dst, seperti memakai perhiasan. Akan tetapi dibolehkan bagi wanita tersebut untuk keluar dari rumahnya untuk menunaikan berbagai keperluannya, seperti keluar rumah untuk bekerja, atau untuk membeli barang-barang yang dia butuhkan, dengan tetap berpegang dengan ketentuan-ketentuan syariah yang ada dalam masa berkabungnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahīh-nya, dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata,“Bibiku telah diceraikan suaminya dan dia bermaksud untuk memetik buah kurmanya. Kemudian seorang laki-laki mencegahnya untuk keluar rumah. Kemudian bibiku mendatangi Nabi SAW (untuk mengadukan masalahnya), lalu Nabi SAW bersabda,”Ya, petiklah buah kurmamu, karena dengan itu kamu akan dapat bersedekah atau melakukan suatu kebaikan.” (HR. Muslim, no. 1483; Abu Dawud, no. 2297; Al-Nasa`i, no. 3550; Al-Darimi, no. 2334). (https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/17345/).

 

Berdasarkan penjelasan tersebut, boleh hukumnya wanita yang ditinggal mati suaminya, untuk keluar rumah untuk menunaikan beberapa keperluannya, seperti untuk keperluan berobat, belanja, kajian ilmu, ziarah, dan sebagainya. Dengan syarat, dia wajib mematuhi larangan-larangan syariah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya selama masa iddahnya (empat bulan sepuluh hari), yaitu :

(1) tidak boleh ada khitbah (pinangan/lamaran) dalam masa iddah, kecuali khitbah secara sindiran (ta’rīdh);

(2) tidak boleh melakukan akad nikah dalam masa iddah;

(3) tidak boleh wanita itu memakai wewangian (parfum) dsb dalam segala bentuknya;

(4) tidak boleh wanita itu berhias di badan (az-zīnah fil badan), misalnya mewarnai rambut atau anggota tubuh dengan inai (khidhāb), menggunakan celak (iktihāl) dalam segala jenisnya;

(5) tidak boleh wanita itu  bersolek dengan baju (tazayyun bi tsiyāb) yang memang dimaksudkan untuk berhias;

(6) tidak boleh wanita itu menggunakan perhiasan dalam segala jenisnya, seperti kalung, gelang, termasuk cincin. (Lihat : https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/196)

 

Pertanyaan nomor 9 : “Mengadzani dan mengikomati jenazah setelah dimapankan posisinya hadap kiblat itu (masih di dalam liang kubur) ada syariatnya tidak Ustadz?”

Jawabannya, perbuatan itu bid’ah, jadi jangan dilakukan. Meski ada ulama yang membolehkan, tetapi pendapat tersebut sangat lemah (marjūh) dalam pendalilannya (istidlāl). Imam Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitaimi (w. 983 H), rahimahullāh, seorang ulama mazhab Syafi’i pernah ditanya pertanyaan yang senada. Beliau menjawab :

هُوَ بِدْعَةٌ، وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ، وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ، وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ.

“Perbuatan itu bid’ah. Barangsiapa yang beranggapan bahwa hal itu (mengadzani jenazah ketika dimasukkan ke liang lahat) merupakan sunnah yang dilakukan ketika turun ke liang kubur, karena diqiyaskan dengan anjuran mengadzani bayi yang baru lahir, sebagai bentuk penyamaan antara akhir kehidupan dengan awal kehidupan, maka dia telah keliru. Dimana sisi kesamaannya antara dua perkara itu? Semata-mata bahwa mengadzani bayi ini dilakukan untuk awal kehidupan, dan mengadzani mayit untuk akhir kehidupan, tidak bisa kemudian yang kedua diqiyaskan dengan yang pertama.” (Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatāwā Al-Kubrā Al-Fiqhiyyah, Juz I, hlm. 422).

 

Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 22 September 2025

 Muhammad Shiddiq Al-Jawi