Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pendahuluan : Kebijakan Larangan Bukber
Pada hari Rabu 21 Maret 2023, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung menerbitkan surat larangan kegiatan buka puasa bersama (bukber) di kalangan pemerintahan, termasuk bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Larangan tersebut tercantum melalui Surat Sekretariat Kabinet RI Nomor R-38/Seskab/DKK/03/2023 tentang Arahan Terkait Penyelenggaran Buka Puasa Bersama.
Alasan adanya larangan kegiatan buka puasa bersama tersebut, karena kita masih perlu mewaspadai sebaran Covid-19 dalam masa transisi dari pandemi menjadi endemi. Tertulis dalam surat larangan itu, bahwa pertimbangan larangan Bukber dikarenakan : “Penanganan Covid-19 saat ini dalam transisi dari pandemi menuju endemi sehingga masih diperlukan kehati-hatian.”
Berbagai reaksi dan kritik pun bermunculan menanggapi larangan Buka Bersama (Bukber) tersebut. Salah satunya dari M. Rizal Fadillah, seorang pemerhati politik dan kebangsaan dari Bandung. M. Rizal Fadillah membuat tulisan opini yang berjudul keras : Istana Melarang Buka Puasa Bersama, Ini Negara PKI? (http://fnn.co.id/post/istana-melarang-buka-puasa-bersama-ini-negara-pki).
Menanggapi berbagai reaksi itu, Presiden Jokowi lalu memberi klarifikasi, pada hari Senin 27 Maret 2023. Inti klarifikasi Presiden Jokowi ada 2 (dua) poin; Pertama, larangan Bukber tersebut bukan untuk masyarakat umum, melainkan untuk internal pemerintah, khususnya para menteri koordinator, para menteri, dan kepala lembaga non pemerintah. Kedua, larangan Bukber tersebut terbit karena begitu banyaknya sorotan masyakat terhadap gaya hidup pejabat di pemerintahan. (https://nasional.tempo.co/read/1707698/jokowi-jelaskan-alasan-larang-buka-puasa-bersama-pemerintah-kehidupan-pejabat-banyak-disorot).
Kritik-Kritik
Pertama, INKONSISTEN
Kebijakan ini adalah kebijakan yang inkonsisten, karena dalam surat larangan tersebut, alasan dilarangnya Bukber ini dikaitkan dengan kewaspadaan terhadap Covid-19, sama sekali tidak menyinggung persoalan gaya hidup pejabat yang suka flexing (pamer kekayaan dan kemewahan). Lalu, mengapa dalam klarifikasinya, Presiden Jokowi menjelaskan kebijakan ini diambil karena banyaknya sorotan masyarakat terhadap gaya hidup pejabat yang suka flexing dan hidup bermewah-mewah? Mengapa tidak menggunakan alasan karena mewaspadai penyebaran Covid-19, seperti yang tertulis dengan jelas dalam surat Seskab? Mengapa Presiden Jokowi membuat alasan baru yang tidak disinggung sama sekali dalam surat Seskab yang melarang Bukber itu?
Kedua, DISKRIMINATIF
Kebijakan ini adalah kebijakan yang diskriminatif, karena menyasar secara khusus kepada umat Islam. Mengapa selalu menyasar umat Islam? Mengapa? Ini perlu dipertanyakan, sebab dalam prakteknya sudah sering terjadi kumpulan dengan jumlah orang yang banyak sebelumnya, tapi hanya didiamkan dan tidak dilarang. Itupun ada yang dilakukan oleh Presiden Jokowi sendiri, saat pernikahan puteranya Kaesang Pengarep (10/12/2022). Lalu ada aksi ribuan Kades di Senayan (17/01/2023) yang meminta Presiden Jokowi untuk menaikkan dana desa. Belum lagi ada pertunjukan yang dihadiri puluhan ribu orang, seperti Deep Purple di Solo (10/3/2023) dan Black Pink di Jakarta (11-12/3/2023).
Ketiga, ANTI AGAMA
Kebijakan ini adalah kebijakan yang anti agama, khususnya agama Islam. Karena jika yang dilarang adalah flexing (pamer kekayaan oleh pejabat), mengapa yang dilarang justru adalah Buka Bersama-nya? Bukankah yang seharusnya dilarang adalah flexing-nya, bukan Buka Bersama-nya? Bukankah pemerintah bisa membuat aturan, silakan Buka Bersama, asalkan sederhana dan jangan flexing? Tetapi mengapa yang dilarang adalah justru Buka Bersama-nya? Mengapa? Ada apa ini?
Keempat, ANTI PENGAJIAN (ANTI DAKWAH)
Kebijakan ini adalah kebijakan yang anti pengajian, atau anti dakwah Islam. Karena biasanya dalam Buka Bersama, hampir pasti didahului ceramah atau pengajian oleh seorang ustadz. Sangat jarang ada acara Buka Bersama, yang acaranya langsung makan-makan, tanpa ada pengajian terlebih dahulu. Jadi, larangan Buka Bersama ini secara tidak langsung juga adalah larangan terhadap pengajian atau ceramah, yang biasanya mendahului Buka Bersama.
Kelima, ANTI KRITIK
Kebijakan ini adalah kebijakan yang anti kritik (Jawa : ndableg), karena sudah terbukti ada banyak kritik kepada pemerintah seputar kebijakan ini, tapi pemerintah tidak mau mengakui adanya kesalahan dalam kebijakan larangan Buka Bersama ini. Jelas sekali ada inkonsistensi, karena awalnya larangan Bukber ini beralasan adanya potensi penyebaran Covid-19, kemudian alasan ini berubah menjadi alasan baru, yaitu karena adanya sorotan terhadap gaya hidup flexing pejabat. Seharusnya ada ralat dan pengakuan salah dari Sekretaris Kabinet (Seskab) atau dari Presiden Jokowi terkait perubahan alasan yang mendasari kebijakan ini. Ternyata tidak ada.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, setidaknya dapat diambil 3 (tiga) kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, kebijakan larangan Buka Bersama ini adalah kebijakan yang tidak dapat diterima, jadi harus ditolak, karena terbukti inkonsisten, diskriminatif, anti agama, anti dakwah, dan anti kritik.
Kedua, kebijakan larangan Buka Bersama ini wajib dicabut, minimal dikoreksi, disertai permohonan maaf kepada umat Islam.
Ketiga, jika larangan Buka Bersama ini tidak dicabut, wajar dan tak bisa disalahkan, jika ada masyarakat yang menilai bahwa gaya dan kebijakan Pemerintah Jokowi ini bernuansa PKI, sebagaimana disinyalir oleh pengamat politik M. Rizal Fadillah. (http://fnn.co.id/post/istana-melarang-buka-puasa-bersama-ini-negara-pki).
Maha benar Allah SWT, dengan firman-Nya :
يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْۗ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS Al-Shaff : 8). Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 9 April 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi