Home Fiqih Fiqih Jinayat HUKUMAN CAMBUK DAN PENGASINGAN BAGI WANITA YANG HAMIL KARENA ZINA

HUKUMAN CAMBUK DAN PENGASINGAN BAGI WANITA YANG HAMIL KARENA ZINA

86

 

 Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Kasus dispensasi nikah yang banyak terjadi akhir-akhir ini di Jawa Timur sangatlah memprihatinkan. Bagaimanakah fenomena ini dalam pandangan Syariah Islam secara komprehensif?

 

Jawab :

 

Kasus ini tentu tidak hanya bisa dibaca sesuai pengertian “dispensasi nikah”, yaitu pemberian izin khusus atas permohonan kepada Pengadilan Agama untuk menikahkan anak yang umurnya di bawah 19 tahun. Kasus ini harus dibaca juga sebagai :

Pertama, banyaknya terjadi kehamilan di luar nikah di kalangan remaja yang umumnya masih SMP dan SMA.

Kedua, banyaknya terjadi perzinahan di kalangan remaja.

Ketiga, kegagalan sistem sekuler yang anti-syariah saat ini untuk mengatasi maraknya perzinaan dan kehamilan di luar nikah, yang hanya diberi solusi parsial yang naif, yaitu “dispensasi nikah.”

Walhasil, solusi “dispensasi nikah” alih-alih menimbulkan efek jera, sebaliknya solusi itu patut diduga menjadi semacam “motivasi” atau “fasilitas” bagi remaja untuk tidak takut berzina, karena remaja bisa salah tangkap bahwa, “Kalau zina dan hamil, toh sanksinya malah disuruh nikah.”

Jika Syariah Islam diterapkan secara menyeluruh (kāffah) (QS al-Baqarah [2] : 208), maraknya perzinahan dan kehamilan di luar nikah tentu tidak hanya diberi solusi “dispensasi nikah”, melainkan juga akan diberi solusi syariah secara lengkap sbb :

Pertama, menjalankan ketentuan Syariah Islam untuk pencegahan zina, baik yang berupa berbagai kewajiban syariah, misalnya kewajiban berbusana muslimah sempurna, maupun yang berupa berbagai larangan syariah, misalnya larangan untuk pacaran, larangan untuk berkhalwat, dan ber-ikhtilath.

Kedua,  menjalankan penindakan terhadap zina, dengan menjalankan sanksi pidana syariah (al-’uqūbāt al-shar’iyyah) kepada wanita yang hamil karena zina, termasuk juga kepada laki-laki yang menghamilinya.

Di sinilah, mungkin akan muncul pertanyaan, lalu apa sanksi pidana syariah (al-’uqūbāt al-shar’iyyah) untuk perempuan yang hamil karena zina? Jawabannya, jika perempuan yang hamil karena zina itu perempuan yang lajang (belum menikah sebelumnya / ghayru muḥṣan, atau al-zāniyah al-bikr, maka ketentuan syariahnya sbb :

Pertama, diberi penundaan (ta’khīr) untuk pelaksanaan hukuman cambuknya hingga dia melahirkan.

Kedua, diberi penundaan (ta’khīr) berikutnya setelah melahirkan, hingga selesai masa nifasnya.

Ketiga, setelah melahirkan dan selesai masa nifasnya, barulah dilaksanakan hukuman cambuk (al-jald) sebanyak 100 kali cambukan (QS An-Nur [24] : 2).

Keempat, setelah dicambuk, qādhi (hakim syariah) dibolehkan secara syariah menambah hukuman pengasingan (al-taghrīb) selama 1 tahun hijriyah di tempat yang jauh.

(Sumber : https://islamqa.info/ar/answers/212139/هل-يقام-الحد-على-البكر-الحامل-من-الزنا).

 

Penjelasan poin-poin tersebut secara rinci sebagai berikut:

Pertama, diberi penundaan (ta’khīr) untuk pelaksanaan hukuman cambuknya hingga dia melahirkan. Penundaan ini antara lain dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim :

قال ابن القيم -رحمه الله- في ” إعلام الموقعين “(3/ 14): “وَتَأْخِيرُ الْحَدِّ لِعَارِضٍ : أَمْرٌ وَرَدَتْ بِهِ الشَّرِيعَةُ ، كَمَا يُؤَخَّرُ عَنْ : الْحَامِلِ ، وَالْمُرْضِعِ ، وَعَنْ وَقْتِ الْحَرِّ وَالْبَرْدِ ، وَالْمَرَضِ ” انتهى .

 

Imam Ibnul Qayyim, raḥimahullah, berkata dalam kitabnya I’lāmul Muwaqqi’īn (3/14),”Penundaan hukuman [bagi pezina] karena suatu alasan, telah terdapat [diakui] dalam syariah, misalnya penundaan karena perempuan pezina sedang hamil, atau sedang menyusui, atau karena cuaca yang sangat panas atau sangat dingin, atau karena sakit.” (Ibnul Qayyim, I’lāmul Muwaqqi’īn, 3/14).

Dalil bolehnya penundaan (ta’khīr) untuk pelaksanaan hukuman bagi pezina antara lain dalil hadits sbb :

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : ” جَاءَتْ امْرَأَةٌ مِنْ غَامِدٍ إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ طَهِّرْنِي ، فَقَالَ : ( وَيْحَكِ ، ارْجِعِي فَاسْتَغْفِرِي اللَّهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ ) ، فَقَالَتْ : أَرَاكَ تُرِيدُ أَنْ تُرَدِّدَنِي كَمَا رَدَّدْتَ مَاعِزَ بْنَ مَالِكٍ ؟ ، ( قَالَ وَمَا ذَاكِ ؟ ) ، قَالَتْ : إِنَّهَا حُبْلَى مِنْ الزِّنَى . فَقَالَ لَهَا : حَتَّى تَضَعِي مَا فِي بَطْنِكِ . رواه مسلم في صحيحه 1695

“Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, dia berkata,”Telah datang seorang perempuan Bani Ghamidiyyah dari Al-Azad, perempuan itu berkata,’Ya Rasulullah, sucikanlah aku”. Lalu Rasulullah menjawab,”Celaka kamu ini, pulanglah kamu, dan mohonlah ampunan kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya”. Perempuan itu menjawab,”Aku melihat Anda hendak menolak permintaan aku sebagaimana Anda menolak permintaan Ma’iz bin Malik”. Rasulullah SAW bertanya, “Memangnya apa yang telah terjadi pada kamu?”. Perempuan itu menjawab bahwa dia telah hamil karena zina.  Rasulullah SAW pun berkat,”(Pulanglah kamu) hingga kamu melahirkan kandungan kamu…” (HR Muslim, no 1695).

Berdasarkan hadits itulah, para ulama, seperti Imam Nawawi (bermazhab Syafi’i), menjelaskan bolehnya ada penundaan (ta’khīr) untuk pelaksanaan hukuman bagi pezina yang hamil.

قال النووي رحمه الله : ” فِيهِ أَنَّهُ لَا تُرْجَمُ الْحُبْلَى حَتَّى تَضَعَ ، سَوَاءٌ كَانَ حَمْلُهَا مِنْ زِنًا أَوْ غَيْرِهِ ، وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ لِئَلَّا يُقْتَلَ جَنِينُهَا ، وَكَذَا لَوْ كَانَ حَدُّهَا الْجَلْدَ وَهِيَ حَامِلٌ لَمْ تُجْلَدْ بِالْإِجْمَاعِ حَتَّى تَضَعَ. ” شرح صحيح مسلم 11/34 .

Imam Nawawi, raḥimahullāh, berkata,”Dalam hadits ini terdapat dalil tidak bolehnya dirajam wanita yang hamil hingga dia melahirkan, baik dia hamil karena zina atau karena sebab lainnya, ini disepakati oleh ulama, agar janinnya tidak ikut terbunuh. Demikian juga andaikata hukumannya adalah hukuman cambuk [bagi wanita yang belum menikah] padahal wanita itu sedang hamil, maka dia tidak dicambuk hingga dia melahirkan. Ini merupakan ijmā’ (kesepakatan ulama).” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 11/344).

Kedua, diberi penundaan (ta’khīr) berikutnya setelah melahirkan, hingga selesai masa nifasnya. Dalilnya adalah hadits sbb :

عن علي بن أبي طالب : ” إِنَّ أَمَةً لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَنَتْ ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَجْلِدَهَا ، فَإِذَا هِيَ حَدِيثُ عَهْدٍ بِنِفَاسٍ ، فَخَشِيتُ إِنْ أَنَا جَلَدْتُهَا أَنْ أَقْتُلَهَا ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: ( أَحْسَنْتَ ، اتْرُكْهَا حَتَّى تَمَاثَلَ ) ” [ أي تقارب الشفاء ] ، رواه مسلم في صحيحه (1705.

Dari Ali bin Abi Thalib RA, bahwa seorang budak wanita milik Rasulullahﷺ  telah berzina, dan Rasulullahﷺ  telah memerintahkan kepadaku untuk mencambuknya. Tetapi budak wanita itu baru saja nifas dan saya takut jika saya mencambuknya, saya akan membunuhnya. Jadi saya menyebutkan itu kepada Rasulullahﷺ  kemudian beliau bersabda,”Anda telah melakukan tugas dengan baik, tundalah hukuman untuk dia hingga dia mendekati sembuh (selesai nifasnya).” (HR Muslim, no 1705).

Berdasarkan hadits tersebut, para ulama, seperti Imam Nawawi (bermazhab Syafi’i), menjelaskan bolehnya ada penundaan (ta’khīr) untuk menjalankan hukuman cambuk bagi pezina yang sudah melahirkan, hingga masa nifasnya selesai.

قال النووي رحمه الله : ” فِيهِ أَنَّ النُّفَسَاءَ وَالْمَرِيضَةَ وَنَحْوَهُمَا يُؤَخَّرُ جَلْدُهُمَا إِلَى الْبُرْءِ “.شرح صحيح مسلم ” 11/214.

Imam Nawawi, raḥimahullāh, berkata,”Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa wanita yang sedang nifas, atau yang sedang sakit, atau yang semisal keduanya, boleh ditunda hukuman cambuknya hingga sembuh.” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 11/214).

Ketiga, setelah melahirkan dan selesai masa nifasnya, barulah dilaksanakan hukuman cambuk (al-jald) sebanyak 100 kali cambukan bagi wanita tersebut, yaitu wanita yang hamil karena zina yang belum menikah, sesuai firman Allah SWT :

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24] : 2).

Perlu ditambahkan, bahwa tidak boleh hukuman cambuk ini ditunda hingga wanita tersebut menyapih anaknya. Ini berbeda dengan dengan wanita yang hamil karena zina dan dia sudah menikah (muḥṣan), maka hukuman rajamnya (bukan hukuman cambuk) ditunda hingga dia menyapih anaknya. Dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah dikatakan bahwa :

الموسوعة الفقهية الكويتية : ” وَإِنْ كَانَ الْحَدُّ جَلْدًا ، فَلاَ أَثَرَ لِلْفِطَامِ فِيهِ “. 32/ 181

“Jika hukuman untuk wanita pezina itu berupa hukuman cambuk, maka tidak ada pengaruh dari masa penyapihan untuk hukumannya itu [harus dijatuhkan hukuman cambuk tanpa menunda hingga selesai dia menyapih anaknya]” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 32/181).

Keempat, setelah dicambuk, qādhi (hakim syariah) dibolehkan menambah hukuman pengasingan (al-taghrīb) selama 1 tahun hijriyah di tempat yang jauh. Dalilnya bahwa Rasulullah SAW pernah menjatuhkan hukuman cambuk 100 kali kepada pezina yang ghayru muḥṣan (belum menikah) kemudian menambah dengan tambahan berupa hukuman pengasingan selama 1 (satu) tahun. (Abdurrahman Al-Maliki, Niẓām al-’Uqūbāt, hlm. 30).

Khalifah Umar bin Khaththab RA pernah mengasingkan seorang wanita dari warga Madinah yang berzina, lalu diasingkan di kota Bashrah (Iraq), setelah dia melahirkan. (Ibnu Ḥazm, al-Muḥallā, 12/101).

Jika qādhi (hakim syariah) menambah hukuman wanita pezina dengan pengasingan, setelah dia melahirkan dan menyelesaikan nifasnya, dan setelah dia dijatuhi hukuman cambuk, disyaratkan dia wajib ditemani oleh mahramnya, atau suaminya. (https://islamqa.info/ar/answers/198743).

Catatan penting, bahwa pidana syariah yang telah dijelaskan di atas, hanya boleh dijalankan oleh Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah, bukan yang lain, sebagaimana penjelasan para ulama. Imam Fakhruddin al-Razi, misalnya, dalam kitab tafsirnya menyatakan :

وَأَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لِآحَادِ الرَّعِيَّةِ إِقَامَةُ الْحُدُودِ عَلَى الْجُنَاةِ ، بَلْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِقَامَةُ الْحُدُودِ عَلَى الْأَحْرَارِ الْجُنَاةِ إِلَّا لِلْإِمَامِ

“Umat Islam telah sepakat bahwa tidak berhak perorangan rakyat menegakkan sanksi pidana syariah bagi para pelaku kejahatan, sebaliknya mereka sepakat bahwa tidak boleh menegakkan ḥudūd atas orang merdeka pelaku kejahatan, kecuali Imam (Khalifah) saja.” (Fakhruddin al-Razi, Mafātīhul Ghayb, 11/356). Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 27 Januari 2023

Muhammad Shiddiq al-Jawi