Oleh: K.H Muh. Shiddiq Al Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer
Soal :
Bagaimana hukum wanita mengantar jenazah ke kuburan? Apakah hukumnya makruh, sunnah, atau mubah? (O. Sholihin, Bogor)
Jawab :
Hukum wanita mengantar jenazah ke kuburan, adalah makruh. Demikianlah pendapat jumhur ulama (Imam Ash-Shan’āni, Subulus Salām, II/108). Jadi, lebih baik bagi wanita tidak ikut mengantar jenazah ke kuburan. Dalilnya adalah sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat wanita bernama Ummu ‘Athiyah RA. Haditsnya sebagai berikut :
عن أُمِّ عَطِيَّةَ الأنصارية رضي الله عنها قالت: نُهِينَا عن اتِّبَاعِ الجنائز ولم يُعْزَمْ علينا
Dari Ummu ‘Athiyah Al-Anshariyyah RA, dia berkata,”Kami telah dilarang untuk mengikuti jenazah, tetapi tidak ditegaskan (larangan itu) atas kami.” (Muttafaq ‘alaih, Lihat Imam Ash-Shan’āni, Subulus Salām, II/108).
Memang, hadits tersebut bukanlah perkataan Nabi SAW, melainkan perkataan Ummu ‘Athiyah. Dalam redaksi hadits itu hanya dikatakan,”Kami telah dilarang mengikuti jenazah…” (Arab : Nuhīna ‘an ittibā’ al-janāzah…). Tidak disebut di sini siapa fā’il (subjek) yang melarang perbuatan tersebut. Dalam ilmu musthalah hadīts, hadits dengan redaksi semacam ini, disebut atsar atau hadīts mauqūf, yaitu suatu perkataan, atau perbuatan atau persetujuan (taqrīr) yang berasal dari seorang sahabat (Mahmud Ath-Thahhan, Taysīr Musthalah Al-Hadīts, hlm. 130-131; Dr. Shubhi Ash-Shalih, ‘Ulūm Al-Hadīts wa Musthalahuhu, hlm.11 & 208).
Namun demikian, ada di antara hadīts mauqūf yang dihukumi sebagai hadīts marfū’, yakni hadits yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, jika terdapat indikasi-indikasi tertentu yang menunjukkan bahwa isi hadits mauquf itu bukanlah berasal dari ijtihad atau pendapat (ra`yu) sahabat, melainkan dari Nabi SAW. Hadits semacam ini oleh para ‘ulama disebut sebagai al-marfū’ hukman, yakni suatu hadits yang secara redaksional (lafzhan) adalah hadīts mauqūf, tetapi secara hukum adalah hadīts marfū’. (Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hlm. 131).
Hadits Ummu ‘Athiyah RA di atas termasuk hadits yang secara lafazh termasuk hadits mauquf, tetapi secara hukum termasuk hadīts marfū’. Jadi, meskipun redaksinya “Kami dilarang…” tetapi jumhur ulama ushul fiqih dan muhadditsin mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadīts marfū’. Sebab sudah jelas bahwa yang melarang dan memerintah, adalah Nabi Muhammad SAW, bukan yang lain (Imam Ash-Shan’āni, Subulus Salām, II/108; Mahmud Ath-Thahhan, Taysīr Musthalah Al-Hadīts, hlm. 132). Karena itu, hadits Ummu ‘Athiyah ini dapat dijadikan hujjah (dalil syar’i).
Perkataan Ummu ‘Athiyah RA, “…tetapi tidak ditegaskan (larangan itu) atas kami.” (Arab : wa lam yu’zam ‘alaynā), menunjukkan hukum makruh, bukan haram. Yaitu, memang ada suatu larangan (nahiy), atau tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab at-tarki), tetapi tuntutan itu bukanlah tuntutan yang bersifat tegas/pasti (lā ‘alā wajh al-hatm wa al-ilzām). (Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushūl Al-Fiqh, hlm. 114; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Ushūl Al-Fiqh Al-Islamiy, I/83). Hal ini bisa diketahui karena terdapat qarīnah (indikasi/petunjuk) dari hadits lain, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW berada di [dekat] jenazah. Lalu Umar bin Khaththab RA melihat seorang perempuan, lalu ia [Umar] berteriak kepada wanita itu. Maka Nabi SAW bersabda, ”Biarkanlah dia, wahai Umar.” (Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa`i dan Ibnu Majah dari jalur lain, dan para perawinya adalah tsiqāt). (Imam Ash-Shan’āni, Subulus Salām, II/108). Hadits ini mengandung makna, bahwa perempuan itu dibolehkan Nabi SAW untuk turut mengantar jenazah ke kuburan. Kalau sekiranya haram, niscaya tidak ada perempuan di dekat jenazah itu dan niscaya Nabi SAW tidak akan melarang Umar bin Khththab RA yang berteriak memperingatkan perempuan tersebut.
Kesimpulannya, hukumnya makruh bagi wanita untuk turut mengantarkan jenazah ke kuburan. Jadi, hal ini masih boleh dikerjakan wanita. Tetapi kalau tidak mengantarkan, itulah yang lebih baik dan lebih utama baginya. Wallāhu a’lam. [ ]
Yogyakarta, 19 Agustus 2003 Muhammad Shiddiq Al-Jawi