Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer
Tanya :
Ustadz, ada teman saya yang sudah mampu menikah, tapi tidak juga kunjung menikah. Katanya dia sangat ingin menikahi wanita keturunan Arab, tapi ternyata dia sulit mendapatkannya. Bagaimana menurut Ustadz? (Arief Demang, Bandung).
Jawab :
Terdapat larangan (nahi) dalam sebuah hadits bagi laki-laki yang sudah mampu menikah untuk hidup menjomblo (membujang) (Arab : al-‘uzūbah / اَلْعُزُوْبَةُ ). Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ كَانَ مُوْسِرًا لِأَنْ يَنْكِحَ ثُمَّ لَمْ يَنْكِحْ فَلَيْسَ مِنِّي
“Barangsiapa [laki-laki] yang sudah mampu untuk menikah lalu dia tidak menikah, maka dia tidak termasuk golonganku.” (HR Thabrani dan Baihaqi, dengan sanad hasan).
Hadits tersebut menunjukkan adanya thalabut tarki atau nahi (larangan) untuk membujang (menjomblo), sesuai kaidah ushuliyah :
اَلْأَصْلُ فِي النَّهْيِ لِطَلَبِ التَّرْكِ
Al-Ashlu fi al-nahyi li-thalab al-tarki. “Asal dari larangan (nahi) adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan.” (Taqiyuddin A-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz III/Ushul Al-Fiqh, Bab “Al-Amr wa An-Nahyi”).
Hanya saja, larangan itu masih memerlukan qarīnah (indikasi/petunjuk) untuk menentukan apakah thalabut tarki itu bersifat tegas (jazim) yang hukumnya haram, ataukah bersifat tidak tegas (ghairu jazim) yang hukumnya makruh.
Dan meski pun dalam hadits itu seakan terdapat celaan yang keras, yaitu laki-laki yang membujang itu disebut Nabi SAW “tidak termasuk golonganku” (falaysa minni), tetapi ucapan ini tidak dapat dijadikan qarīnah yang menunjukkan keharaman. Hal itu dikarenakan telah terdapat qarīnah lain, yaitu Nabi SAW mengetahui ada beberapa shahabat yang sudah mampu menikah, tetapi tidak menikah. Dan Nabi SAW ternyata diam saja serta tidak memberikan teguran atau celaan yang keras. Maka dari itu, hukum laki-laki yang sudah mampu menikah tapi membujang, adalah makruh, tidak haram. (Lihat Muhammad Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, hlm. 16).
Adapun bahwa ada laki-laki yang sangat ingin menikahi wanita keturunan Arab, maka syara’ memandang, bahwa tidak ada kelebihan orang Arab atas orang selain Arab, kecuali karena taqwanya, sesuai sabda Rasulullah SAW :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
“Hai manusia! Ingatlah, sesusungguhnya Tuhan kalian adalah satu. Sesungguhnya bapak moyang kalian adalah satu. Ingatlah, bahwa tidak ada kelebihan orang Arab atas orang selain Arab, tidak ada kelebihan orang selain Arab atas orang Arab, tidak ada kelebihan orang yang berkulit merah atas orang yang berkulit hitam, tidak juga ada kelebihan orang yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, melainkan karena ketakwaannya.” (HR. Ahmad, no. 23489). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 116).
Yang disunnahkan adalah menikahi wanita-wanita dengan sifat-sifat tertentu, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah SAW, di antaranya hadits dari Anas bin malik RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
تَزَوَّجُوا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ ، فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Menikahlah dengan wanita yang penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan para nabi pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Ahmad, no. 13.594).
Dalam hadits dari Jabir RA :
عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: تَزَوَّجْتُ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَتَزَوَّجْتَ يَا جَابِرُ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: بِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا؟فَقُلْتُ: ثَيِّبًا، قَالَ: فَهَلَّا بِكْرًا تُلَاعِبُهَا وَتُلَاعِبُكَ
Dari Jabir RA, dia berkata,”Aku telah menikah, lalu aku mendatangi Nabi SAW. Lalu Nabi SAW bersabda,”Apakah kamu baru saja menikah hai Jabir?” Aku menjawab,”Ya.” Nabi SAW bersabda,”Menikah dengan perawan ataukah janda?” Aku menjawab,”Janda.” Nabi SAW bersabda,”Mengapa kamu tidak menikahi seorang perawan, sehingga kamu dapat bermain-main dengannya dan dia dapat bermain-main dengan kamu?” (HR. An-Nasa`i, no. 3219).
Rasulullah SAW juga telah bersabda :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, niscaya dirimu akan selamat.” (HR. Bukhari, no. 5090; Muslim, no. 1466).
Berdasarkan tiga hadits tersebut, Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah, menyatakan :
فَيُنْدَبُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَخْتَارَ مِنْ النِّسَاءِ الْبِكْرَ، وَالْمَعْرُوفَةِ أَنَّهَا وَلُودٌ مِنْ مَعْرِفَةِ أُمِّهَا وَخَالَاتِهَا وَعَمَّاتِهَا، وَأَنْ يَخْتَارَ ذَاتَ الدِّينِ، وَأَنْ يَخْتَارَهَا جَمِيلَةً لِتُعَفِّفَ نَفْسَهَا، وَأَنْ تَكُونَ ذَاتَ حَسَبٍ، يَعْنِي عَرِيقَةً فِي الْفَضْلِ وَالتَّقْوَى وَالْمَجْدِ…
“Maka disunnahkan seorang laki-laki untuk memilih calon istri yang perawan, dan yang diketahui sebagai wanita yang subur dengan mengetahui [kesuburan] ibunya, bibi-bibinya [dari pihak ibu] dan bibi-bibinya [dari pihak ayah]. Dan disunnahkan laki-laki itu memilih calon istri yang beragama baik, serta yang cantik agar dia dapat memelihara dirinya, serta yang berasal dari keturunan yang baik, yakni keturunan orang yang mempunyai kelebihan, ketakwaan, dan ketokohan [di tengah masyarakat]…” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 113-114).
Demikianlah jawaban kami. Semoga bermanfaat.
Wallāhu a’lam bi al-shawāb.
Jakarta, 4 September 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi