Home Fiqih Fiqih ibadah HUKUM SHOLAT IED KONTROVERSIAL DI PP AL-ZAYTUN

HUKUM SHOLAT IED KONTROVERSIAL DI PP AL-ZAYTUN

49

Oleh : KH. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, bagaimanakah hukumnya Sholat Iedul Fitri seperti yang dilaksanakan oleh PP Al-Zaitun di Indramayu, Jabar? Ada perempuan di shaf laki-laki, lalu ada jarak lebar antara satu jamaah dengan jamaah yang lain. (Hamba Allah).

 

Jawab :

Secara umum sholat Iedul Fitrinya sah, selama memenuhi segala rukun dan syarat sholat Iedul Fitri. Namun pada saat yang sama mereka telah melakukan keharaman, yaitu ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan wanita dalam shaf sholat. Selain itu ada beberapa penyimpangan syariah lainnya dalam sholat Ied tersebut.

Jadi, kasus ini, yakni sholat berjamaah disertai ikhtilath, secara hukum syariah kedudukannya seperti halnya hukum untuk orang yang sholat di atas tanah rampasan (al-sholāt fī al-ardhi al-maghshūbah), atau orang yang naik haji dengan harta haram (al-hajj bi al-māl al-arām). Sholat dan hajinya sah, selama memenuhi segala rukun dan syaratnya, namun pada saat yang sama pelakunya telah berdosa.

Walhasil, dalam sholat Iedul Fitri yang dilaksanakan di masjid Rahmatan lil ‘Alamin milik PP Al-Zaytun tersebut, terdapat setidaknya empat penyimpangan syariah (mukhālafāt syar’iyyah) sbb :

Pertama, terjadi ikhtilath (campur baur) antara wanita dan laki-laki di dalam shaf sholat.

Kedua, sholat dengan jarak yang longgar.

Ketiga, terdapat kursi yang diletakkan di masjid untuk mendengarkan khutbah.

Keempat, isi khutbah Ied yang pro Israel.

 

Penyimpangan Pertama : Terjadi Ikhtilath

Ikhtilath (campur baur pria wanita) adalah adanya pertemuan (ijtimā’) dan interaksi (ittishāl) di antara laki-laki dan perempuan di satu tempat. (Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Al-Ikhtilāth Baina Ar-Rijāl wa An-Nisā`, hlm. 7).

Ikhtilath hukumnya secara umum adalah haram, dan sebaliknya, infishāl (pemisahan) antara laki-laki dan perempuan adalah wajib hukumnya. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 36).

Dalil-dalil syariah yang memerintahkan infishāl, atau yang melarang ikhtilath, di antaranya :

(1) Rasulullah SAW telah memisahkan jamaah laki-laki dan jamaah perempuan di masjid ketika shalat berjamaah, yaitu shaf-shaf laki-laki berada di depan, sedangkan shaf-shaf perempuan berada di belakang shaf-shaf pria. (HR Bukhari no 373, dari Anas bin Malik RA);

(2) Rasulullah SAW memerintahkan para perempuan untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat di masjid, baru kemudian para laki-laki. (HR Bukhari no 828, dari Ummu Salamah RA);

(3) Rasulullah SAW melarang ikhtilath (campur baur) di jalan antara perempuan dan laki-laki ketika mereka berjalan bersama pulang dari masjid, setelah sholat berjamaah, menuju rumah masin-masing. (HR Abu Dawud, no. 5261, dari Abu Asyad Al-Anshari dari ayahnya RA).

(4) Rasulullah SAW telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah laki-laki dengan jamaah perempuan (kajian Islam yang diadakan Rasulullah SAW dilaksanakan pada hari yang berbeda). (HR Bukhari no 101, dari Abu Said Al-Khudri RA). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 36).

Sebagai perkecualian, ikhtilath dibolehkan jika terdapat dalil syariah yang mengecualikannya, dengan 2 (dua) syarat sbb : (1) ada ājat syar’iyyah, yakni kebutuhan yang dibenarkan syariah, misalnya berobat dan menuntut ilmu; dan (2) pelaksanaan ājat syar’iyyah (kebutuhan syar’i) itu memang mengharuskan pertemuan pria dan wanita.

Maka dari itu, jika ada dalil syar’i yang memenuhi dua syarat tersebut, barulah hukum umum wajibnya infishāl itu berubah, yakni yang semula pria dan wanita wajib hukumnya untuk terpisah (infishāl), lalu menjadi boleh ada pertemuan (ijtimā’) di suatu tempat, baik pertemuan itu tetap disertai pemisahan (infishāl), seperti shalat berjamaah di masjid, maupun disertai ikhtilāth (campur baur), seperti pelaksanaan manasik haji dan dalam berjual-beli. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 36).

 

Penyimpangan Kedua : Jarak Yang Longgar

Dalam pelaksanaan sholat Iedul Fitri di PP Al-Zaytun tersebut, juga jelas sekali ada jarak yang longgar, antara satu orang dengan orang lain. Padahal yang disunnahkan adalah merapatkan dan mengisi barisan yang lowong, bukan merenggangkan jarak. Sabda Rasulullah SAW :

أَقِيْمُوا الصُّفُوْفَ وَحَاذُوْا بِالْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ ، وَلِيَنُوْا بِأَيْدِيْ إخوَانِكُمْ ، وَلاَ تذَرُوْا فُرُجَاتٍ لَلشَّيْطَانِ ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ

“Luruskanlah shaff (barisan), dan sejajarkanlah pundak-pundak kalian, tutuplah barisan yang lowong, dan bersikap lunaklah terhadap tangan-tangan saudara kalian, dan jangan biarkan barisan yang lowong untuk dimasuki setan. Dan barang siapa menyambung barisan shalat (shaff), Allah akan menjalin hubungan dengannya. Sebaliknya barang siapa memutuskan barisan shalat (shaff), Allah akan memutuskan hubungan dengannya.” (HR. Abu Dawud, no. 666; Ahmad no. 5724, hadits shahih)

Jelaslah dari haidts di atas, seharusnya pengaturan shaff (barisan) untuk sholat itu adalah rapat, tanpa ada celah (lowong) antara satu orang dengan orang lain dalam satu shaff (barisan), bukan malah sengaja dibuat longgar atau berjarak antara satu dengan yang lainnya. Apalagi alasan ancaman virus Covid-19 jelas sudah tidak relevan lagi untuk saat ini.

Adapun dalil yang dikemukan oleh Prof. AS Panji Gumilang, Pimpinan PP Al-Zaytun, bahwa renggangnya jarak itu adalah mengamalkan firman Allah untuk melapangkan majelis (QS Mujadilah : 11), sungguh tidak tepat. Memang ada firman Allah SWT yang memerintahkan untuk melapangkan majeis (tafassaū fi al-majālis), sebagaimana firman-Nya :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.” (QS Al-Mujadilah : 11).

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan sababun nuzūl ayat ini, yaitu ayat ini turun pada hari Jumat, ketika Rasulullah SAW dan sebagian shahabat sudah duduk di serambi masjid Nabawi menanti datangnya waktu sholat Jumat. Ketika itu datang sejumlah sahabat Ahli Badar (mereka yang pernah ikut berperang bersama Nabi SAW dalam Perang Badar) yang biasanya diberi tempat khusus oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika Ahli Badar ini datang dan mengucapkan salam, orang-orang di majelis menjawab salam, namun tidak memberi tempat duduk untuk mereka. Rasulullah SAW lalu memerintahkan jamaah yang datang lebih dulu untuk melapangkan majelis guna memberi tempat duduk buat Ahli Badar, namun nampaknya jamaah tidak berkenan dengan perintah Rasulullah SAW tersebut. Maka kemudian turunlah ayat ini. (Tafsir Ibnu Katsir, https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura58-aya11.html).

Jadi, jelaslah, bahwa perintah melapangkan majelis dalam ayat ini (tafassahū fi al-majālis), maksudnya adalah melapangkan majelis di luar sholat, seperti majelis dzikir, majelis ilmu, dsb bukan melapangkan jarak dalam sholat.

 

Penyimpangan Ketiga : Meletakkan Kursi Di Dalam Masjid

Dalam pelaksanaan sholat Iedul Fitri di PP Al-Zaytun tersebut, juga jelas sekali ada kursi-kursi yang diletakkan secara teratur di dalam masjid. Padahal meletakkan kursi di tempat ibadah, adalah kebiasaan kaum kafir, khususnya kaum Nasrani, sebagai sarana agar jamaah yang hadir dapat lebih nyaman mendengar khutbah.

Jika kita cermati berbagai gereja atau katedral yang biasa dipakai ibadah oleh kaum Nasrani, jelas bahwa kaum Nasrani biasa meletakkan kursi-kursi, baik kursi yang memanjang maupun kursi-kursi satuan (bukan memanjang), di dalam tempat ibadah mereka (seperti gereja, katedral, dsb). Kursi-kursi yang diletakkan di dalam masjid PP Al-Zaytun sungguh sangat mirip dengan kursi-kursi yang biasa terdapat di gereja-gereja kaum Nasrani.

Dengan demikian, meletakkan kursi di masjid seperti yang dilakukan di masjid PP Al-Zaytun tersebut, dapat dianggap perbuatan tasyabbuh bil kuffār (menyerupai kaum kafir), yang hukumnya haram, sesuai sabda Rasulullah SAW :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Ahmad, 5/20; Abu Dawud no 403. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan sanad hadits ini hasan. Lihat Fathul Bari, 10/271).

Hadits ini telah mengharamkan umat Islam untuk menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffār) dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka (fī khashā`ishihim), seperti aqidah dan tata cara ibadah mereka, hari raya mereka, pakaian khas mereka, cara hidup mereka, dll. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 12/7; Ali bin Ibrahim ‘Ajjin, Mukhālafatul Kuffār fi As-Sunnah An-Nabawiyyah, hlm. 22-23).

 

Penyimpangan Keempat : Isi Khutbah Ied Yang Pro Israel

Dalam khutbah Idul Fitri setelah sholat Iedul Fitri di PP Al-Zaytun tersebut, Prof AS Panji Gumilang selaku Khathib bercerita tentang sejarah Bani Israel, dsb, yang intinya mengajarkan sikap yang pro Israel.

Dalam www.republika.co.id  (Selasa, 25 April 2023), diberitakan bahwa Prof AS Panji Gumilang mendukung peresmian hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel. Prof AS Panji Gumilang mengatakan,”Israel tidak sedang menjajah Palestina, tapi hanya membagi tanah Palestina menjadi dua wilayah.”

Pernyataan ini perlu dibantah, karena sesungguhnya Israel tidak berhak membagi tanah Palestina menjadi dua, mengingat tanah Palestina itu milik umat Islam, bukan milik Israel.

Dalam sebuah kaidah fiqih (al-qā’idah al-fiqhiyyah) disebutkan :

لاَ يَجُوْزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ مِلْكِ الْغَيْرِ بِلاَ إِذْنِهِ

“Tidak boleh seorang pun melakukan tasharruf (perbuatan hukum, seperti memanfaatkan, menjual, membagikan, dsb) terhadap milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.” (Muhammad Mushthofa Az-Zuhaili, Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātuhā fi al-Madzāhib Al-Arba’ah, Juz I, hlm. 551).

Jelaslah, bahwa Israel atau AS (Amerika Serikat) atau siapapun juga tidak punya hak untuk membagi wilayah Palestina menjadi dua negara, karena mereka itu bukan pemilik tanah Palestina.

Mereka itu adalah kaum kafir penjajah dan perampas tanah Palestina, bukan pemilik tanah Palestina, sehingga tidak berhak pula membagi wilayah Palestina menjadi dua negara! Allāhu akbar!

 

Yogyakarta, 3 Mei 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi