Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Assalamualaikum Ustadz, Ustadz pernah menjelaskan mengenai rumah yang diniatkan mau dijual, harus dikeluarkan zakatnya 2,5 persen. Apakah setiap tahunnya kita keluarkan zakatnya bila belum laku? (Hamba Allah).
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam wr. wb.
Hukum asalnya adalah jika rumah yang diniatkan dijual itu sudah memenuhi dua kriteria dalam zakat perdagangan, yaitu : (1) nilai rumah itu sudah mencapai nishab; dan (2) rumah itu sudah dimiliki dalam jangka waktu satu tahun hijriyah, yakni sudah haul, maka wajib hukumnya dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dari harga jual rumah, pada saat jatuh tempo (saat haul), walaupun rumah itu belum laku, dengan syarat pihak muzakki berkemampuan membayar zakatnya. Hal ini karena hukum asalnya adalah wajib mengeluarkan zakat dengan segera (‘alā al-fawr) dan tidak boleh terjadi penundaan (al-ta`khīr) dalam pembayaran zakatnya.
Imam Nawawi dalam masalah ini telah berkata :
اَلزَّكاَةُ عِنْدَناَ يَجِبُ إِخْراَجُهاَ عَلىَ الْفَوْرِ فإَذَا وَجَبَتْ وَتَمَكَّنَ مِنْ إِخْراَجِهاَ لَمْ يَجُزْ تَأْخِيْرُهاَ وَإِنْ لَمْ يَتَمَكَّنْ فَلَهُ التَّأْخِيْرُ إِلىَ التَّمَكُّنِ فَإِنْ أَخَّرَ بَعْدَ التَّمَكُّنِ عَصىَ وَصاَرَ ضاَمِناً. انتهى.
“Zakat itu, menurut kami, wajib dibayarkan dengan segera (‘alā al-fawr), jika sudah jatuh tempo dan pihak pembayar zakat mampu membayarnya, maka tidak boleh dia menundanya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh menundanya sampai dia mampu membayarnya. Jika dia menundanya padahal dia sudah mampu membayarnya, berarti dia telah membangkang (berdosa) dan menjadi penjamin (zakatnya tercatat sebagai utang).” Selesai. (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz VI, hlm. 340).
Imam Nawawi telah menjelaskan dalilnya mengapa hukum asalnya adalah wajib mengeluarkan zakat dengan segera (‘alā al-fawr), dan tidak boleh melakukan penundaan (al-ta`khīr), sebagai berikut :
يَجِبُ إِخْرَاجُ الزَّكاَةِ عَلىَ الْفَوْرِ إِذاَ وَجَبَتْ ، وَتَمَكَّنَ مِنْ إِخْرَاجُهاَ ، وَلَمْ يَجُزْ تَأْخِيْرُهاَ , وَبِهِ قاَلَ ماَلِكٌ وَأَحْمَدُ وَجُمْهُوْرُ الْعُلَماَءِ لِقَوْلِهِ تَعاَلىَ : ﴿وَآتُوا الزَّكاَةَ﴾ [البقرة:43] وَاْلأَمْرُ عَلىَ الْفَوْرِ.
“Wajib hukumnya membayar zakat dengan segera (‘alā al-fawr), jika sudah jatuh tempo dan pihak pembayar zakat mampu membayarnya, dan tidak boleh dia menundanya. Inilah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat jumhur ulama, berdasarkan dalil firman Allah SWT,”Dan tunaikanlah zakat,” (QS Al-Baqarah : 43). Sedangkan (menurut kaidah ushul fiqih) “setiap perintah itu pada dasarnya harus segera dilaksanakan.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz V, hlm. 308).
Akan tetapi, jika pada saat jatuh tempo pihak muzakki (pembayar zakat) belum memiliki kemampuan untuk membayar zakat, misalnya karena barangnya belum laku, atau tidak ada uang yang cukup, yakni ketika likuiditas keuangannya tidak lancar, maka dia boleh melakukan penundaan (al-ta`khīr) atas pembayaran zakat perdagangannya, dan dia membayarnya nanti setelah dia berkemampuan, misalnya pada saat barang dagangannya laku. Imam Nawawi sebenarnya telah menjelaskan hal ini dalam kutipan sebelumnya, maka penjelasan itu dikutip sekali lagi sebagai berikut :
وَإِنْ لَمْ يَتَمَكَّنْ فَلَهُ التَّأْخِيْرُ إِلىَ التَّمَكُّنِ فَإِنْ أَخَّرَ بَعْدَ التَّمَكُّنِ عَصىَ وَصاَرَ ضاَمِناً. انتهى.
“…jika dia (muzakki) tidak mampu, maka dia boleh menundanya sampai dia mampu membayarnya. Jika dia menundanya setelah mampu membayarnya, berarti dia telah membangkang (berdosa) dan menjadi penjamin (zakatnya tercatat sebagai utang).” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz VI, hlm. 340).
Syekh Muhammad Rawwās Qal’ah Jie dalam kitabnya Mausū’ah Fiqih ‘Abdullāh Ibnu ‘Abbās telah meriwayatkan pendapat (qaul) Ibnu Abbas RA, yang membolehkan muzakki melakukan penundaan (al-ta`khīr) zakat perdagangannya dan baru membayarnya nanti setelah barangnya laku, sebagai berikut :
قاَلَ بْنُ عَباَّسٍ فِيْ زَكاَةِ أَمْواَلِ التِّجاَرَةِ : لاَ بَأْسَ بِالتَّرَبُّصِ حَتىَّ يَبِيْعَ، وَالزَّكاَةُ وَاجِبَةٌ عَلَيْهِ
“Ibnu Abbas RA berkata mengenai zakat barang perdagangan,’Tidak masalah ada penundaan pembayaran zakat perdagangan, hingga pihak muzakki bisa menjual (barang dagangannya), sedangkan zakat perdagangan itu (sudah menjadi) kewajiban atas dirinya (setelah memenuhi kriteria nishab dan haul).” (Muhammad Rawwās Qal’ah Jie, Mausū’ah Fiqih ‘Abdullāh Ibnu ‘Abbās, Juz II, hlm. 13; kutipan pendapat Ibnu ‘Abbas ini bersumber dari Imam Abu ‘Ubaid, Al-Amwāl, hlm. 426; dan Imam Ibnu Hazm, Al-Muhallā, 5/234).
Kesimpulannya, barang dagangan yang belum laku, jika sudah memenuhi kriteria nishab dan haul (sudah jatuh tempo setelah berlalu satu tahun hijriyah), hukum asalnya wajib dikeluarkan zakatnya secara segera (‘alā al-fawr) sebesar 2,5% dari harga jualnya pada saat jatuh tempo, dengan syarat pihak muzakki berkemampuan untuk membayar zakat perdagangannya. Jika dia belum berkemampuan, boleh hukumnya ada penundaan (al-ta`khīr) untuk pembayaran zakat perdagangannya dan baru membayarnya nanti setelah barangnya laku. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 10 Syawwal 1445 H/19 April 2024 M
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
= = =
Referensi (Al-Marāji’) :
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/133278/حكم-تأخير-الزكاة-لعدم-وجود-سيولة-مالية
https://islamqa.info/ar/answers/177963/حكم-تاخير-زكاة-عروض-التجارة-لعدم-توفر-المال-وهل-تلزمه-الاستدانة-لاخراج-الزكاة