Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqh Muamalah & Kontemporer
Tanya :
Ustadz ijin bertanya. Saya punya kuda betina, yang rencananya akan dikawinkan dengan kuda jantan milik orang lain dengan cara membawa kuda saya ke kandang kuda jantan tersebut. Lalu saya diminta membayar kepada pemilik kuda jantan tersebut Rp20 juta untuk biayanya. Hukumnya bagaimana ya Ustadz? (Hesti, Jakarta).
Jawab :
Haram hukumnya mengawinkan kuda dengan upah seperti yang ditanyakan di atas, berdasarkan dalil syar’i berupa hadits-hadits Nabi SAW yang melarang seseorang untuk mengawinkan hewannya dengan hewan milik orang lain dengan imbalan sejumlah uang.
Jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, sepakat mengharamkan sperma pejantan (Arab : ‘asbi al-fahli), baik dengan akad jual beli sperma, maupun dengan akad sewa hewan pejantan, berdasarkan dalil hadits-hadits Nabi SAW yang shahīh yang melarang hal itu.
Di antara hadits-hadits tersebut misalnya :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ
Dari Ibnu ‘Umar RA, dia berkata,”Nabi SAW telah melarang upah atau harga dari sperma hewan pejantan.” (HR. Bukhari, no. 2123).
Dalil lainnya, hadits berikut ini :
عن أبيِ الزُّبيرِ أنَّهُ سَمِعَ جابِرَ بنَ عَبدِ اللهِ يَقولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ ضِرَابِ الْجَمَلِ وَعَنْ بَيْعِ الْمَاءِ وَالْأَرْضِ لِتُحْرَثَ فَعَنْ ذَلِكَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abu Az-Zubair bahwa dia telah mendengar Jabir bin Abdullah RA berkata,”Rasulullah SAW telah melarang dari menyewa/menjualbelikan sperma unta pejantan, dari menjual air, dan dari (sewa) tanah untuk ditanami. Nabi SAW telah melarang semua itu.” (HR Muslim, no. 2926).
Para ulama menjelaskan bahwa larangan sperma pejantan dalam hadits-hadits tersebut, mencakup dua akad, yaitu : (1) akad jual beli sperma pejantan; dan (2) akad sewa pejantan untuk membuahi hewan betina.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, misalnya, dalam kitabnya Fathul Bāri (syarah Shahīh Al-Bukhāri), memberi syarah (penjelasan) untuk hadits-hadits tersebut, dengan berkata :
وَعَلَى كُلِّ تَقْدِيرٍ فَبَيْعُهُ وَإِجَارَتُهُ حَرَامٌ ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَقَوَّمٍ وَلَا مَعْلُومٍ وَلَا مَقْدُورٍ عَلَى تَسْلِيمِهِ
“Apapun maknanya hadits-hadits yang ada, memperjualbelikan sperma jantan atau menyewakan pejantan itu haram, karena sperma pejantan itu tidak bisa diukur, tidak diketahui, dan tidak bisa diserahterimakan.” (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 6/60).
Berdasarkan penjelasan ini, jelaslah bahwa untuk kasus yang ditanyakan di atas, jawaban kami adalah, haram hukumnya mengawinkan kuda betina yang dimiliki dengan kuda pejantan milik orang lain dengan memberi sejumlah uang sebagai imbalannya, baik dengan akad jual beli sperma kuda pejantan maupun dengan akad sewa kuda pejantan.
Lalu bagaimanakah solusi untuk masalah ini jika memang ada jalan keluarnya dalam Syariah Islam? Jawabannya, masih ada solusinya, yaitu dengan menghilangkan ‘illat (alasan keharaman) yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi SAW.
Kaidah ushuliyah yang terkait dalam masalah ini menyatakan :
اَلْحُكْمُ الْمُعَلَّلُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْداً وَعَدَمًا
“Hukum syara’ yang mengandung ‘illat (alasan pensyariatan) itu, beredar mengikuti keberadaan ‘illat-nya, baik ketika ‘illat itu ada, maupun ketika ‘illat-nya tidak ada.” (Muhammad Khair Haikal, Al-Jihād wa Al-Qitāl fi Al-Siyāsah Al-Syar’iyyah, 2/988 & 3/1798).
Dengan mendalami hadits-hadits Nabi SAW yang melarang sperma pejantan ini, ternyata larangan dalam hadits-hadits tersebut ada ‘illat (alasan keharaman)-nya, yaitu terjadinya gharar (Eng : uncertainty) atau ketidakpastian. Gharar ini bermacam-macam bentuknya. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, seperti yang sudah dikutip sebelumnya, menjelaskan ‘illat keharamannya karena sperma pejantannya tidak bisa diukur (ghairu mutaqawwam), tidak diketahui (ghairu ma’lūm), dan tidak bisa diserahterimakan (ghairu maqdūr fi taslīmihi). (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 6/60). Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni menjelaskan, ‘illat keharamannya karena jumlah spermanya majhūl (tidak diketahui dengan jelas berapa banyaknya). (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 4/159). Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Awthār, menjelaskan bahwa ‘illat keharamannya karena spermanya tidak bisa diukur (ghairu mutaqawwam) dan tidak dapat diketahui (ghairu ma’lūm). (Imam Syaukani, Nailul Awthar, 5/174). (Lihat : https://dorar.net/feqhia/7023/المطلب-الثالث-بيع-عسب-الفحل).
Maka dari itu, jika terdapat suatu cara (uslūb, technic) untuk menghilangkan terjadinya berbagai bentuk gharar (Eng : uncertainty) atau ketidakpastian tersebut, berarti hukum sperma pejantan tidak lagi haram, melainkan menjadi boleh (mubāh) menurut syara’.
Salah satu cara modern yang dapat menghilangkan gharar tersebut, adalah dengan melakukan inseminasi buatan (atau kawin suntik) pada hewan (al-talqīh al-shinā’iy lil-hayawānāt). Dengan cara ini, sperma pejantan akan diambil terlebih dahulu dari tubuh hewan pejantan, sehingga jumlah atau kuantitas sperma pejantan akan dapat diketahui dengan jelas berapa mililiter (cc) yang diambil. Lalu proses inseminasi ini dilakukan dengan cara memasukkan sperma pejantan tersebut ke dalam organ vagina kuda betina, yang frekuensinya (berapa kalinya) juga dapat diukur dengan jelas. Dengan cara demikian, sudah tidak terjadi kondisi gharar (ketidakpastian), dan kondisi-kondisi semisalnya, seperti kondisi majhūl (tidak diketahui dengan jelas berapa banyaknya sperma), atau kondisi ghairu maqdūr fi at-taslīm (ketidakmampuan menyerahterimakan sperma). (Lihat : https://dorar.net/feqhia/7023/المطلب-الثالث-بيع-عسب-الفحل).
Kesimpulannya, haram hukumnya sperma pejantan, baik dengan akad jual beli sperma pejantan maupun dengan akad sewa pejantan, jika pembuahannya berlangsung secara alamiah, yaitu melalui hubungan seksual dalam kondisi spermanya masih berada di tubuh hewan pejantan. Alasannnya, karena dalam kondisi ini terjadi gharar (Eng : uncertainty) atau ketidakpastian. Namun jika pembuahannya berlangsung melalui inseminasi buatan (kawin suntik), tanpa terjadi hubungan seksual antara hewan betina dan hewan pejantan, dengan cara mengambil sperma pejantan lebih dulu, sehingga sperma dan tubuh hewan pejantannya terpisah, maka hukumnya boleh dan tidak mengapa insyaAllāh Ta’āla, karena kondisi gharar sudah tidak ada lagi.
Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 27 Oktober 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi