Home Fiqih HUKUM MEMESAN MAKANAN KEPADA PENJUAL DAN MEMINTA PENJUAL ITU MENGIRIMKAN KEPADA PIHAK...

HUKUM MEMESAN MAKANAN KEPADA PENJUAL DAN MEMINTA PENJUAL ITU MENGIRIMKAN KEPADA PIHAK LAIN

375

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Afwan Ustadz. Bagaimana hukumnya jika kita memesan makanan ke seseorang (yang memasak ya orang itu sendiri) lalu kita minta tolong kepada orang tersebut untuk mengirimkan makanan itu kepada orang lain? Boleh tidak Ustadz? (dr. Retina, Sp.OG; Surabaya)

 

Jawab :

Tidak boleh, karena pembeli tersebut belum memiliki makanan itu secara sempurna (milkiyyah tāmmah), sehingga dia tidak boleh melakukan tasharruf (pemanfaatan) terhadap makanan yang dipesannya itu, kecuali setelah dia menerima (terjadi al-qabdhu) makanan itu lebih dulu dari penjual. Jadi penjual itu wajib menyerahterimakan lebih dulu kepada pembeli, baru pembeli boleh mengirimkan kepada orang lain.

Dalilnya, sabda Rasulullah SAW :

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ

“Barangsiapa yang membeli makanan, maka janganlah dia menjual kembali makanan itu, hingga dia menerimanya terlebih dahulu.” (HR Muslim, Shahih Muslim, no. 2722).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa sebelum terjadi serah terima (al-qabdhu) barang dari penjual kepada pembeli, sesungguhnya barang itu belumlah menjadi milik pembeli secara sempurna (milkiyyah tammah), sehingga oleh karenanya, pembeli tidak boleh menjualnya kembali kepada orang lain. Demikian pula, pembeli tidak boleh melakukan berbagai tasharruf yang lain terhadap barang itu, seperti menghibahkan, atau menghadiahkan, dan sebagainya, selama pembeli itu belum menerima (al-qabdhu) barangnya terlebih dahulu dari penjual.

Imam Taqiyuddin An-Nabhani, raḥimahullāh, telah menjelaskan kapan suatu barang itu menjadi milik sempurna (milkiyyah tāmmah) bagi pembeli sehingga dia boleh melakukan berbagai tasharruf (pemanfaatan) terhadap barang itu, sebagai berikut :

 

Pertama, jika barangnya terkategori barang yang ditakar, ditimbang, atau dihitung (al-makīl wa al-mauzūn wa al-ma’dūd), atau disebut juga barang mitsliyyāt, seperti gandum, kurma, buah-buahan, makanan, dan sebagainya, maka barang kategori ini menjadi milik sempurna bagi pembeli dengan dua syarat; pertama, telah terjadi akad jualbelinya; dan kedua, telah terjadi penerimaan (al-qabdhu) terhadap barang itu oleh pihak pembeli.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ

“Barangsiapa yang membeli makanan, maka janganlah dia menjual kembali makanan itu, hingga dia menerima makanan itu terlebih dahulu.” (HR Muslim, Shahih Muslim, no. 2722).

Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW :

مَنِ اشْتَرَى طَعَامًا بِكَيْلٍ أَوْ وَزْنٍ فَلَا يَبِيْعُهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ

“Barangsiapa yang membeli makanan, dengan takaran atau timbangan, maka janganlah dia menjual kembali makanan itu, hingga dia menerima makanan itu terlebih dahulu.” (HR Ahmad, Al-Musnad, 8/155; Abu Dawud, Sunan Abū Dāwud, 3/281, no. 3495; An-Nasa`i, Sunan an-Nasā`i, 7/286, no. 4604).

 

Kedua, jika barangnya terkategori barang yang tidak ditakar, tidak ditimbang, atau tidak dihitung (ghairu al-makīl wa ghairu al-mauzūn wa ghairu al-ma’dūd), atau disebut juga barang qīmiyyāt, seperti binatang ternak (unta, sapi, kambing, dsb), tanah, rumah, mobil, dan sebagainya, maka barang kategori ini menjadi milik sempurna (milkiyyah tāmmah) bagi pembeli dengan satu syarat saja, yaitu sudah terjadi akad jualbelinya, walaupun belum terjadi serah terima (al-qabdhu) terhadap barang itu dari penjual kepada pembeli.

Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar RA berikut ini :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كُنَّا عَلَى بَكْرٍ صَعْبٍ لِعُمَرَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعُمَرَ: «بِعْنِيْهِ»، قَالَ: هُوَ لَك يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، قَالَ: «بِعْنِيْهِ» فَبَاعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هُوَ لَك يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، تَصْنَعُ بِهِ مَا شِئْتَ»

Dari Ibnu ‘Umar RA, bahwa dia pernah naik unta muda yang masih liar [sulit dikendalikan] milik Umar, maka berkatalah Nabi SAW kepada Umar,”Juallah unta muda itu kepadaku.” Umar berkata,”Unta muda ini aku hadiahkan kepada Anda, wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW bersabda,” ”Juallah unta muda itu kepadaku.” Maka Umar lalu menjual unta muda itu kepada Rasulullah SAW. Kemudian Nabi SAW berkata,”Unta muda itu menjadi milikmu wahai Abdullah bin Umar, laukukan apa yang kamu sukai terhadap unta muda itu.” (HR Bukhari, Shahih Al-Bukhari, no. 1973; Muslim, Shahih Muslim, no. 2115).

Hadits ini menunjukkan bahwa untuk barang yang terkategori barang yang tidak ditakar, tidak ditimbang, atau tidak dihitung (ghairu al-makīl wa ghairu al-mauzūn wa ghairu al-ma’dūd), misalkan unta, sebagaimana dalam hadits di atas, maka barang seperti ini sudah menjadi milik sempurna (milkiyyah tāmmah) bagi pembeli, hanya dengan akad jual beli, walaupun belum terjadi serah terima (al-qabdhu) barang dari penjual kepada pembeli. Hal ini terbukti dari perbuatan Rasulullah SAW yang melakukan tasharruf terhadap unta itu, yaitu menghibahkan unta itu kepada Ibnu Umar, walaupun belum terjadi serah terima (al-qabdhu) unta muda itu dari Umar kepada Rasulullah SAW. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 286-288).

Dari penjelasan di atas, jelaslah kalau kita memesan makanan ke seseorang (yang memasak adalah juga orang itu sendiri), lalu kita minta tolong kepada orang tersebut untuk mengirimkan makanan itu kepada orang lain, hukumnya secara syariah adalah tidak boleh. Hal ini dikarenakan belum terjadi serah terima (al-qabdhu) makanan itu dari penjual kepada pembeli, sehingga makanan itu belum menjadi milik sempurna (milkiyyah tāmmah) bagi pembeli. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 3 April 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi