Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer
Tanya :
Bolehkah dalam perang (jihad) pasukan muslim membunuh warga sipil dari pihak musuh (negara kafir)? (Hamba Allah)
Jawab :
Islam telah mengatur hukum-hukum perang dengan terperinci, di antaranya siapa saja yang menjadi sasaran perang yang boleh dibunuh dan siapa saja yang tidak boleh dibunuh.
Sasaran dalam perang adalah prajurit kafir (kombatan) yang ikut berperang memerangi kaum muslimin, sesuai firman Allah SWT :
وَقَاتِلُوۡا فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ الَّذِيۡنَ يُقَاتِلُوۡنَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوۡا ؕ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الۡمُعۡتَدِيۡنَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al Baqarah : 190).
Selain prajurit kafir kombatan, yaitu orang-orang sipil kafir yang tidak ikut berperang, tidak boleh diperangi/dibunuh.
Orang sipil kafir yang tidak boleh dibunuh dalam perang antara lain wanita dan anak-anak, sesuai dengan sebuah hadits Rasulullah ﷺ berikut ini :
عن عَبْدُ الله بن عمر رضي الله عنهما «أَنَّ امْرَأَةً وُجِدَتْ فِي بَعْضِ مَغَازِي النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَقْتُولَةً، فَأَنْكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَتْلَ النِّسَاءِ، وَالصِّبْيَانِ»
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, dia berkata, “Seorang wanita ditemukan terbunuh dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah ﷺ. Kemudian beliau melarang membunuh kaum wanita dan anak-anak.” (HR. Bukhari, no. 3015; dan Muslim, no.1744)
Orang-orang lanjut usia (lansia) kafir juga tidak boleh dibunuh dalam peperangan, sesuai hadits riwayat Imam Abu Dawud, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
وَلاَ تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا، وَلاَ طِفْلاً، وَلاَ صَغِيرًا، وَلاَ امْرَأَةً…
“Janganlah kalian membunuh orang tua yang sudah sepuh, anak-anak, dan wanita…” (HR. Abu Dawud, no.2614; Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, no. 6/438; dan al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra, no.17932).
Para rahib (pemuka agama) yang tidak ikut berperang, juga tidak boleh dibunuh, sesuai wasiat Rasulullah ﷺ kepada komandan perang yang akan berangkat berperang :
اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلاَ تَغُلُّوا، وَلاَ تَغْدِرُوا، وَلاَ تُـمَثِّلوا، وَلاَ تَقْتُلُوا وَلِيدًا، أَوِ امْرَأَةً، وَلا كَبِيرًا فَانِيًا، وَلا مُنْعَزِلاً بِصَوْمَعَةٍ
“Berperanglah dengan menyebut nama Allah dan di jalan Allah. Perangilah mereka yang kufur kepada Allah. Berperanglah, jangan kalian berlebihan (dalam membunuh). Jangan kalian lari dari medan perang, jangan kalian memutilasi, janganlah kalian membunuh anak-anak, perempuan, orang tua yang sepuh, dan rahib-rahib di tempat ibadahnya.” (HR. Muslim no. 1731; Abu Dawud no. 2613; at-Tirmidzi no.1408; dan al-Baihaqi, no. 17935).
Jelaslah bahwa sasaran dalam perang yang boleh dibunuh adalah prajurit kafir (kombatan) yang ikut berperang memerangi kaum muslimin. Selain prajurit kafir kombatan, yaitu orang-orang sipil kafir yang tidak ikut berperang, seperti kaum wanita dan anak-anak, tidak boleh diperangi/dibunuh.
Hanya saja, jika musuh kafir dalam perang sudah membunuh lebih dulu orang sipil dari kaum muslimin, seperti wanita, anak-anak, orang-orang lanjut usia, dsb, boleh hukumnya pasukan muslim membunuh orang kafir sipil, sebagai bentuk perlakuan yang sepadan (mu’amalah bil mitsli) terhadap musuh kafir.
Dalam masalah perlakuan yang sama (mu’amalah bil mitsli) terhadap kaum kafir dalam perang, Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata :
فممَّا يتعلق بِمعاملة العدو، جعل الإسلام للخليفة وللمسلمين أن يفعلوا بالعدو مثل ما مِن شأنه أن يفعله العدو بِهم، وأن يستبيحَ من العدو مثل ما يستبيحه العدو من المسلمين، ولو كان من الْمحرَّمات. قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Maka di antara apa-apa yang terkait dengan perlakuan (mu’amalah) terhadap musuh; Islam membolehkan Khalifah dan kaum muslimin untuk memperlakukan musuh seperti yang telah dilakukan musuh kepada kaum muslimin, dan Islam membolehkan kepada musuh seperti yang telah dibolehkan musuh kepada kaum muslimin, meskipun hal itu termasuk hal-hal yang diharamkan, sesuai firman Allah SWT :
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“(Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar).” (QS An-Nahl : [16]: 126). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 191).
Dalam kitab tersebut, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa ayat QS An-Nahl : 126 turun terkait dengan peristiwa Perang Uhud, dimana kaum kafir telah mencincang jenazah pasukan muslim dengan cara membelah perut-perut mereka, memotong kemaluan mereka, dan juga memotong rata hidung-hidung mereka.
Semua pasukan muslim yang syahid diperlakukan demikian, kecuali satu orang yaitu Hanzhalah bin Ar-Rahib, RA.
Rasulullah SAW pun berdiri di hadapan jenazah Hamzah bin Abdil Muththalib RA, yang juga telah dicincang kaum kafir dengan cara dibelah perutnya dan dipotong rata hidungnya. Saat itu Rasulullah SAW bersumpah,”Demi Dzat yang aku bersumpah dengannya, sungguh jika Allah memenangkan diriku atas mereka, aku akan mencincang 70 orang sebagai ganti dirimu.” (HR. Al-Thabrani).
Maka turunlah ayat ini (QS An-Nahl : 126) yang melarang Nabi SAW untuk membalas musuh lebih dari yang dilakukan musuh, dan hanya membolehkan membalas secara sepadan kepada musuh kafir (mu’amalah bil mitsli), meskipun tindakan itu diharamkan di luar perang (seperti mencincang jenazah kaum kafir, atau membunuh sipil kafir). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 191).
Dalil lain yang juga membolehkan membalas sepadan kepada musuh (mu’amalah bil mitsli), adalah firman Allah SWT :
فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
“Oleh sebab itu barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu.” (QS Al-Baqarah : 194)
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka jika musuh kafir dalam perang telah memulai lebih dulu untuk membunuh orang sipil dari umat Islam, boleh hukumnya pasukan muslim juga membunuh kaum sipil kafir, sebagai bentuk perlakuan yang sepadan (mu’amalah bil mitsli) kepada musuh kafir dalam peperangan, meskipun hukum asalnya membunuh sipil kafir hukumnya haram baik dalam perang maupun di luar perang.
Dengan demikian, boleh hukumnya dan tidak haram, dalam perang (jihad) pasukan muslim membunuh warga sipil dari pihak musuh (negara kafir), jika musuh kafir telah terlebih dulu sudah memulai membunuh kaum sipil dari kalangan kaum muslimin.
Maka dari itu, boleh dan tidak berdosa pasukan jihad Hamas yang menyerang kaum sipil Yahudi yang sedang bernyanyi dan berjoget di sebuah konser, pada hari Sabtu 7 Oktober 2023. Hal ini dibolehkan karena Islam membolehkan perlakuan yang sepadan (mu’amalah bil mitsli) kepada musuh Yahudi kafir, karena kaum Yahudi kafir sudah lebih dahulu pernah membunuh dan membantai orang-orang sipil dari kalangan kaum muslimin, sebagaimana terbukti dalam berbagai perang mereka dengan kaum muslimin Palestina. Wallahu a’lam.
Semarang, 8 Nopember 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi