Home Fiqih Fiqih Muamalah HUKUM MEMBAYAR UTANG DENGAN BARANG

HUKUM MEMBAYAR UTANG DENGAN BARANG

193

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, ada teman yang pinjam modal usaha nilainya Rp 300 juta dari seseorang. Bolehkah sebagian utangnya dibayar pakai mobil milik teman tersebut, meski harga mobilnya tidak senilai utang. Jadi mobilnya dihargai Rp 200 juta, sehingga masih ada sisa utang Rp 100 juta. Apakah sah utang dibayar dengan mobil seperti itu? (Subhan, Bandung).

 

Jawab :

Pembayaran utang dengan barang, misalnya mobil, seperti pertanyaan di atas, oleh para ulama disebut dengan istilah bai’u ad-dain (menjual piutang), atau tamlīk al-dain li al-madīn, yaitu memindahkan hak milik piutang dari semula miliknya pihak pemberi utang menjadi miliknya pihak yang berutang. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 21/126; 27/334).

Contohnya, A mempunyai utang kepada B sebesar Rp 10 juta. Dengan kata lain, B mempunyai piutang di A sebesar Rp 10 juta. Kemudian B membeli HP milik A seharga Rp 10 juta, namun B tidak membayar A dengan uang tunai, melainkan membayar dengan piutang milik B yang ada di A tersebut.

Bolehkah akad muamalah yang disebut bai’u ad-dain (menjual piutang) tersebut? Jawabannya, ada ikhtilāf ulama mengenai hukumnya, namun pendapat yang rājih adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkannya dengan syarat-syaratnya. Pendapat jumhur ulama yang dimaksud adalah pendapat fuqoha` mazhab yang empat (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), yang juga merupakan pendapat Ibnu ‘Umar, Al-Hasan Al-Bashri, Thawus, Az-Zuhri, Qatadah, Asyhab, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain. (Khalid Muhammad Turban, Bai’u Al-Dain Ahkāmuhu wa Tathbīqātuhu Al-Mu’āshirah, hlm. 27; Usāmah bin Humūd bin Muhammad Al-Lāhim, Bai’u Al-Dain wa Tathbīqātuhu Al-Mu’āshirah fī Al-Fiqh Al-Islāmī, Juz I, hlm. 125).

 

Dalil yang membolehkan bai’u ad-dain (menjual piutang) antara lain hadits dari Ibnu Umar RA, bahwa dia berkata :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالدَّنَانِيرِ [أي مُؤَجَّلاً] وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ، وَأَبِيعُ بِالدَّرَاهِمِ وَآخُذُ الدَّنَانِيرَ، فَسَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقاَلَ لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

“Saya dulu menjual unta dengan dinar (yaitu dibayar tempo, atau tidak kontan) namun saya mengambil (harganya) dengan dirham. Dulu saya juga menjual unta dengan dirham (secara tempo, atau tidak kontan) namun saya mengambil (harganya) dengan dinar. Lalu saya bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai jual beli itu, maka Rasulullah SAW bersabda,”Tidak apa-apa kamu mengambil harga unta dengan harga pada hari itu (hari jatuh tempo), selama kalian berdua (penjual dan pembeli) tidak berpisah sementara di antara kalian berdua masih ada sesuatu (sisa pembayaran utang).” (HR. Ahmad, no. 6239; Abu Dāwud, no. 3354; An-Nasā`ī, no 4582; Tirmidzī, no 1242; dan Ibnu Mājah, no. 2262).

Hadits ini menunjukkan bolehnya menjual (atau menukar) sesuatu yang berada dalam tanggungan, yaitu piutang berupa uang dinar, dengan uang dirham, atau sebaliknya, jika : (1) pihak pembelinya (al-musytari) adalah pihak yang berutang (al-madīn), (2) harganya dibayar kontan (hālan), serta (3) terjadi serah terima (al-qabdh) di majelis akad. Inilah yang menjadi taqrīr dari Rasullullah SAW untuk bai’u ad-dain (menjual piutang) dengan objek akad berupa mata uang (an-nuqūd) dalam hukum sharaf (penukaran uang). (Khalid Muhammad Turban, Bai’u Al-Dain Ahkāmuhu wa Tathbīqātuhu Al-Mu’āshirah, hlm. 27; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 268, Abdus Sami’ Ahmad Imam, Nazharāt fī Ushūl Al-Buyū’ Al-Mamnū’ah, hlm. 177).

 

Jumhur ulama kemudian berhujjah dengan hadits ini untuk membolehkan bai’u ad-dain (menjual piutang) dengan objek akad untuk barang-barang lain di luar mata uang (an-nuqūd), dengan berkata :

وَإِذَا جاَزَ بَيْعُ أَحَدِ النَّقْدَيْنِ بِالْآخَرِ جاَزَ بَيْعُ غَيْرِهِماَ مِمَّا ثَبَتَ فِي الذِّمَّةِ بِطَرِيْقِ اْلأَوْلىَ

”Jika dibolehkan jual beli satu jenis mata uang dengan mata uang lainnya yang berada dalam tanggungan, maka tentu lebih dibolehkan untuk selain mata uang.” (‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Matrak, Al-Ribā wa Al-Mu’āmalāt Al-Mashrifiyyah, hlm. 289).

Kesimpulan, boleh hukumnya membayar utang dengan mobil seperti pertanyaan di atas, karena hal itu termasuk bai’u ad-dain (menjual piutang) yang telah dibolehkan oleh jumhur ulama. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 15 Juli 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi