Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, bolehkah membangun masjid kedua setelah adanya masjid pertama di suatu tempat? (Hamba Allah, Yogyakarta).
Jawab :
Hukum membangun masjid kedua yang berdekatan dengan masjid pertama di suatu daerah, disebut para ulama dengan istilah :
تَعَدُّدُ الْمَسَاجِدِ فِي الْبَلَدِ الْوَاحِدِ
“Berbilangnya masjid-masjid di suatu daerah yang sama.” (ta’addud al-masâjid fî al-balad al-wâhid). (Hassânî Muhammad Nûr, Ahkâmul Mustajaddât fî Binâ`i Al-Masâjid fî Al-Fiqh Al-Islâmî, hlm. 166).
Berikut ini penjelasan hukum syara’-nya, dalam dua kondisi:
Kondisi pertama, jika masjid pertama dan kedua hanya untuk digunakan sholat lima waktu, tidak digunakan untuk sholat Jumat.
Kondisi kedua, jika masjid pertama dan kedua digunakan sholat lima waktu dan juga digunakan untuk sholat Jumat.
Dalam kondisi pertama, yakni jika masjid pertama dan kedua hanya untuk digunakan sholat lima waktu, tidak digunakan untuk sholat Jumat, terdapat dua hukum syara’ sebagai berikut :
Pertama, boleh hukumnya membangun masjid kedua walau berdekatan dengan masjid pertama, jika terdapat kebutuhan (al-hâjat) misalnya masjid pertama sempit sehingga tidak dapat menampung jamaah yang akan sholat berjamaah lima waktu di sana. Namun yang lebih afdhol (utama), adalah memperluas masjid pertama jika memungkinkan. (Hassânî Muhammad Nûr, Ahkâmul Mustajaddât fî Binâ`i Al-Masâjid fî Al-Fiqh Al-Islâmî, hlm. 166-167).
Kedua, haram hukumnya membangun masjid kedua jika bertujuan menimbulkan mudharat (bahaya/musibah) bagi kaum muslimin, misalnya menimbulkan perpecahan umat, atau sekedar untuk persaingan (al-munâfasah) yang tidak sehat, misalnya sekedar berlomba membangun masjid yang lebih megah. Dalil keharamannya firman Allah SWT :
وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَّكُفْرًا وَّتَفْرِيْقًاۢ بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَاِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ مِنْ قَبْلُ ۗوَلَيَحْلِفُنَّ اِنْ اَرَدْنَآ اِلَّا الْحُسْنٰىۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), untuk kekafiran dan untuk memecah belah di antara orang-orang yang beriman serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti bersumpah, “Kami hanya menghendaki kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu pendusta (dalam sumpahnya).” (QS At-Taubah : 107-108). (Hassânî Muhammad Nûr, Ahkâmul Mustajaddât fî Binâ`i Al-Masâjid fî Al-Fiqh Al-Islâmî, hlm. 167).
Adapun kondisi kedua, adalah kondisi jika masjid pertama dan kedua digunakan sholat lima waktu dan juga digunakan untuk sholat Jumat. Terdapat dua hukum syara’ dalam hal ini sbb :
Pertama, tidak boleh hukumnya membangun masjid kedua, jika tidak terdapat kebutuhan (al-hâjat) untuk membangun masjid kedua. Para ulama telah sepakat tanpa ada khilâfiyah dalam masalah ini, sebagaimana perkataan Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut :
لاَ نَعْلَمُ فِيْهَا خِلاَفًا
“Kami tidak tahu ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.” (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughnî, 2/335). (Hassânî Muhammad Nûr, Ahkâmul Mustajaddât fî Binâ`i Al-Masâjid fî Al-Fiqh Al-Islâmî, hlm. 167).
Kedua, jika terdapat kebutuhan (al-hâjat) untuk membangun masjid kedua, terdapat perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan ulama menjadi dua pendapat sbb :
(1) Tidak boleh melakukan sholat Jumat lebih dari satu di satu daerah. (Arab : al-balad).
(2) Boleh melakukan sholat Jumat lebih dari satu di satu negeri daerah. (Arab : al-balad).
Dua pendapat ini akan diuraikan masing-masing dengan dalil-dalilnya, dan akan dilakukan tarjih untuk memilih pendapat yang paling kuat (rajih). (Hassânî Muhammad Nûr, Ahkâmul Mustajaddât fî Binâ`i Al-Masâjid fî Al-Fiqh Al-Islâmî, hlm. 167).
Uraian kedua pendapat tersebut :
Pendapat pertama, pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, pendapat Imam Abu Hanifah menurut satu riwayat, pendapat Imam Ahmad menurut satu riwayat, menyatakan tidak boleh melakukan sholat Jumat lebih dari satu di satu daerah. (Arab : al-balad).
Mereka berdalil bahwa Nabi SAW dulu di Madinah hanya menegakkan satu sholat Jumat saja, yaitu sholat Jumat di masjid beliau (Masjid Nabawi), demikian juga para khalifah-khalifah setelah beliau. (Hassânî Muhammad Nûr, Ahkâmul Mustajaddât fî Binâ`i Al-Masâjid fî Al-Fiqh Al-Islâmî, hlm. 167).
Pendapat kedua, pendapat yang dianggap rajih (lebih kuat) dalam mazhab Abu Hanifah, juga pendapat Imam Ahmad menurut riwayat lainnya, bahwa boleh hukumnya melakukan sholat Jumat lebih dari satu di satu daerah jika memang terdapat kebutuhan (al-hâjat).
Mereka berdalil bahwa Ali bin Abi Thalib RA pernah menunjuk Ibnu Mas’ud RA menggantikan Ali bin Abi Thalib RA untuk mengimami orang-orang yang lemah (orang berusia tua, sakit, dll) untuk melaksanakan sholat Jumat dan sholat Ied seperti yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib RA dengan orang banyak sebelumnya. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, Juz 2, hlm. 5, no.5816).
Mereka juga berdalil bahwa jika sholat Jumat diwajibkan di satu masjid, akan menimbulkan kesulitan (haraj). (Hassânî Muhammad Nûr, Ahkâmul Mustajaddât fî Binâ`i Al-Masâjid fî Al-Fiqh Al-Islâmî, hlm. 168).
Tarjihnya, dari dua pendapat tersebut di atas, pendapat yang râjih (lebih kuat) yang dipilih oleh Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authâr (4/158) adalah pendapat kedua, yaitu boleh hukumnya melakukan sholat Jumat lebih dari satu di satu daerah jika terdapat kebutuhan (al-hâjat). Dalil pentarjihan ini menurut Imam Syaukani adalah :
وَلَمْ يَثْبُتْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَنْعُ مِنْ إقَامَتِهَا
“Tidak terbukti dari Nabi SAW adanya larangan untuk menegakkan hal itu [melakukan sholat Jumat lebih dari satu di satu daerah].” (Imam Syaukani, Nailul Authâr, 4/158). (Hassânî Muhammad Nûr, Ahkâmul Mustajaddât fî Binâ`i Al-Masâjid fî Al-Fiqh Al-Islâmî, hlm. 168). Wallâhu a’lam.