Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya :
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh Ustadz, perkenalkan saya Amin, pemuda Blitar. Ini saya mohon izin mengulang pertanyaan saya beberapa waktu lalu yang belum mendapatkan jawaban. Saya kira jawaban panjenengan menjadi sangat urgen karena banyak pemuda di tempat kami yang menggeluti atau terlibat dalam muamalah di bidang pertanian ini.
Begini uraian fakta yang saya dapat langsung dari pelaku muamalahnya: Biasanya muamalah ini disebut dengan istilah kemitraan PT. Dalam praktiknya PT melalui karyawannya atau pihak ke tiga (broker) mencari mitra petani/pemilik lahan untuk bekerja sama dengan PT tersebut (misal: PT. Pioneer Hibrida Indonesia, PT. BISI, PT. Monsanto, dll) dalam penanaman jagung, dalam kasus lain bisa juga penanaman padi. Tapi fakta yang kami sajikan ini dari pelaku / mitra penanaman jagung.
Bentuk kerjasamanya adalah pihak PT memberi secara gratis bibit (benih) jagung kepada petani/pemilik lahan untuk ditanam di lahan mereka, dan nanti hasil panennya akan dibeli oleh PT dengan harga yang disepakati di awal kerjasama misal Rp 5000/kg.
Artinya berapapun hasil panennya akan dibeli oleh PT sesuai harga yang disepakati, dengan asumsi kadang pada saat panen harga kesepakatan tersebut bisa di atas harga pasaran bisa juga di bawahnya. Tentu saja petani yang menjadi mitra tidak bisa menjual hasil panennya kepada pihak lain atau meminta harga di luar kesepakatan di awal tadi.
Selain bibit gratis, PT tersebut juga memberi fasilitas tambahan, yaitu jatah pupuk (dengan rasio tertentu sesuai luasan lahan), juga pendampingan selama proses tanam hingga panen. PT juga memberi fasilitas pinjaman modal untuk mitra petani untuk biaya tanam dan akan dilunasi saat panen dengan dipotongkan dari hasil pembelian oleh PT terhadap hasil panen. Fasilitas pinjaman ini meskipun opsional, yaitu bisa digunakan oleh petani atau tidak, namun biasanya pasti digunakan oleh petani karena meringankan beban modal tanam di awal. Dan ini menjadi salah satu daya tarik utama petani menerima penawaran kerjasama dari PT tersebut.
Pertanyaannya :
- Apakah muamalah seperti diuraikan di atas termasuk muamalah di bidang pertanian yang diperbolehkan? Jika tidak boleh, apa saja faktor penyebabnya?
- Jika semisal aqad tersebut tidak diperbolehkan lalu bagaimana status hukum bagi pihak karyawan/broker yang menjadi perantara antara PT dan mitra, apakah diperbolehkan atau tidak menjadi perantara?
Demikian pertanyaan saya, semoga berkenan menjawab. Jazakallahu khairan katsiran atas perhatiannya. (Amin, Blitar).
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuhu.
Kerjasama yang ditanyakan di atas biasanya disebut kerjasama inti-plasma. Yang dimaksud inti adalah PT yang bergerak di bidang pertanian, sedangkan plasma adalah para petani atau pemilik lahan.
Setelah kami mendalami fakta kerjasama PT dengan petani di atas, ada 4 (empat) hukum syara’ untuk kerjasama tersebut sebagai berikut;
Pertama, hukum menggabungkan akad hibah benih dengan akad jual beli hasil panen jagung.
Kedua, hukum fasilitas tambahan berupa pupuk dan pendampingan.
Ketiga, hukum fasilitas pinjaman yang pengembaliannya dilunasi oleh petani saat panen dengan dipotongkan dari hasil pembelian oleh PT terhadap hasil panen.
Keempat, hukum menjadi perantara antara perusahaan dengan petani.
Pertama, Hukum Menggabungkan Akad Hibah Benih Dengan Akad Jual Beli Hasil Panen Jagung.
Fakta : Bentuk kerjasamanya adalah pihak PT memberi secara gratis bibit (benih) jagung kepada petani/pemilik lahan untuk ditanam di lahan mereka, dan nanti hasil panennya akan dibeli oleh PT dengan harga yang disepakati di awal kerjasama misal Rp 5000/kg.
Kesepakatan jual beli dan harganya ini ini bersifat mengikat (mulzim), dalam arti petani tidak diperbolehkan menjual kepada pihak lain kecuali kepada PT pemberi benih, dan harga yang ditentukan di awal juga tidak dapat ditawar lagi oleh petani, baik harganya di atas harga pasar maupun di bawah harga pasar.
Hukum Syara’ : Bentuk kerjasama sebagaimana diterangkan tersebut tidak diperbolehkan dengan 2 (dua) alasan sebagai berikut;
Pertama, telah terjadi multiakad (hybrid contracts, shafqataini fi shafqah wahidah) yang telah dilarang dalam Islam, yaitu penggabungan akad hibah benih dengan akad jual beli hasil panen, yang bersifat mengikat (mulzim). Disebut mengikat, karena petani diharuskan menjual hasil panen kepada PT, tidak boleh menjual kepada pihak lain. Padahal multiakad itu hukumnya tidak boleh atau haram.
Dalil tidak bolehnya multiakad antara lain adalah hadits dari Ibnu Mas’ūd RA, bahwa dia telah berkata :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
“Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (HR. Ahmad, no. 3783: Al-Bazzār, no. 2017; Al-Baihaqi, no. 10994, hadits shahih).
Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977) yang dimaksud dengan “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” (shafqatayni fī shafqatin wahidatin) adalah “adanya dua akad dalam satu akad” (wujūdu ‘aqdayni fī ‘aqdin wāhidin), di mana satu akad mensyaratkan adanya akad yang lain secara mengikat (mulzim). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 308).
Inilah alasan pertama mengapa penggabungan akad hibah benih dengan akad jual-beli hasil panen itu tidak boleh.
Kedua, pada saat terjadi akad (perjanjian) hibah benih yang digabungkan dengan akad jual beli hasil panen, petani jelas belum mempunyai hasil panennya, karena hasil panennya itu sendiri belum ada atau baru berwujud benih (bibit) jagung.
Jadi, saat perjanjian kerjasama itu, petani telah menjual barang yang belum dimilikinya. Jelas ini hukumnya haram sesuai sabda Nabi SAW :
لاَ تَبِعْ ماَ لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (HR. Al-Tirmidzi).
Inilah alasan kedua mengapa penggabungan akad hibah benih dengan akad jual-beli hasil panen itu tidak boleh.
Solusi syariahnya :
Pertama, penggabungan akad hibah benih dengan akad jual beli hasil panen, tidak boleh bersifat mengikat (mulzim), melainkan wajib bersifat opsional. Jadi petani harus dibolehkan untuk menjual kepada pihak ketiga selain pihak PT (Perusahaan) pemberi benih. Demikian juga harganya, petani harus dibolehkan menjual dengan harga yang berbeda dengan harga yang ditetapkan di awal perjanjian dengan PT (Perusahaan).
Kedua, akad jual beli hasil panen, tidak boleh dilakukan petani sejak awal perjanjian pemberian benih, melainkan baru boleh dilakukan oleh petani ketika sudah benar-benar panen jagung. (atau ketika jagung sudah dapat dikonsumsi walau belum dipanen). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/299).
Yang diperbolehkan pada awal perjanjian (saat barang belum ada/belum panen), adalah janji (wa’ad) untuk berjual-beli, bukan berakad jual beli, karena barang yang dijual belikan belum ada.
Namun janji (wa’ad) itu pun harus janji yang bersifat tak mengikat (wa’ad ghairu mulzim), yakni wajib ada opsi (khiyar) untuk tidak jadi berjual-beli, tidak boleh berupa janji mengikat (wa’ad mulzim) karena janji mengikat itu hakikatnya adalah akad. Padahal barang yang dijualbelikan belum ada.
Tambahan penjelasan : mengenai bolehnya menjual jagung ketika sudah dapat dikonsumsi walau belum dipanen, dalilnya sabda Rasulullah SAW :
عَنْ عَبْدِالِلَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِيَ
Dari Abdullah bin ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW telah melarang jual beli buah-buahan (yang masih ada di pohonnya) hingga nampak kematangannya, Rasulullah SAW melarang (itu) kepada penjual dan pembeli.” (HR. Al-Bukhari, no. 1486). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/299).
Kedua, Hukum Fasilitas Tambahan Berupa Jatah Pupuk & Pendampingan Dari Perusahaan
Fakta : PT tersebut selain memberi benih jagung gratis, juga memberi fasilitas tambahan, yaitu jatah pupuk (dengan rasio tertentu sesuai luasan lahan), juga pendampingan selama proses tanam hingga panen.
Hukum Syara’ : Hukum fasilitas pupuk dan pendampingan tersebut boleh dan tidak masalah, selama PT tidak mensyaratkan (atau mewajibkan) akad yang lain, yaitu bahwa petani wajib menjual hasil panennya kepada PT pemberi benih dan tidak boleh petani menjual kepada pihak lain. Jika akad hibah pupuk atau pendampingan itu mensyaratkan hal tersebut, berarti fasilitas tersebut tidak boleh diterima petani karena telah terjadi multiakad yang dilarang syariah.
Solusi syariahnya :
Penggabungan akad hibah pupuk dan pendampingan dengan akad jual beli hasil panen, tidak boleh bersifat mengikat (mulzim), melainkan wajib bersifat opsional. Tidak boleh PT memberikan jatah pupuk dan pendampingan, lalu mengatakan kepada petani, nanti kalau panen jagung kamu harus menjual kepada kami. Ini tidak boleh. Jadi petani harus dibolehkan untuk menjual kepada pihak ketiga selain pihak PT (Perusahaan) pemberi benih.
Demikian juga harganya, petani harus dibolehkan menjual dengan harga yang berbeda dengan harga yang ditetapkan di awal perjanjian dengan PT (Perusahaan).
Ketiga, Hukum Fasilitas Pinjaman Yang Pengembaliannya Dilunasi Oleh Petani Saat Panen
Fakta : PT tersebut selain memberi benih jagung gratis, PT juga memberi fasilitas pinjaman modal untuk mitra petani untuk biaya tanam dan akan dilunasi saat panen dengan dipotongkan dari hasil pembelian oleh PT terhadap hasil panen. Fasilitas pinjaman ini meskipun opsional, yaitu bisa digunakan oleh petani atau tidak, namun biasanya pasti digunakan oleh petani.
Hukum Syara’ : Fasilitas pinjaman modal itu hukumnya haram, karena 3 (tiga) alasan;
Pertama, karena biasanya pinjaman itu tidak diberikan kecuali dengan persyaratan bunga. Jelas bunga ini adalah riba yang tidak diragukan lagi keharamannya.
Dalilnya sabda Rasulullah SAW :
كُلُّ قَرْضٍ جرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوْهِ الرِّبَا
“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang mendatangkan suatu manfaat (bunga, denda, hadiah, dsb) maka dia adalah riba.” (HR. Al-Baihaqi).
Kedua, waktu pengembalian pinjaman itu digantungkan pada suatu peristiwa masa depan yang sifatnya gharar (tidak pasti), yaitu jika petani panen. Padahal bisa jadi petani gagal panen. Seharusnya waktunya disebut dengan jelas, misalnya pinjaman akan dikembalikan tanggal 15 Oktober 2025.
Dalil tidak bolehnya muamalah (jual beli, pinjaman, dsb) yang mengandung gharar (ketidakpastian), adalah hadits dari Abu Hurairah RA yang berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah SAW telah melarang jual beli al-hashāh (pembeli melempar barang yang dijual dengan kerikil dsb, yang kena itulah yang dibeli) dan jual beli gharar (yang mengandung ketidakpastian).” (HR. Muslim)
Ketiga, PT memberikan pinjaman kepada petani dengan mensyaratkan (atau mewajibkan) petani harus menjual panennya kepada PT itu dengan harga yang sudah ditetapkan. Jadi, pemberian fasilitas pinjaman dari PT ke petani itu bukanlah akad yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan akad lain, yaitu petani yang meminjam dipersyaratkan harus menjual panen jagungnya kepada PT pemberi pinjaman.
Hal ini tidak boleh, karena terjadi penggabungan akad pinjaman (qardh) dengan akad jual beli (al-bai’) secara mengikat. Syariah Islam telah mengharamkan penggabungan qardh dan jual beli secara mengikat sesuai hadits Nabi SAW berikut ini.
Dari Abdullah bin ‘Amr RA dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Tidak halal menggabungkan akad salaf (qardh/pinjaman) dengan akad jual beli, tidak halal pula ada dua syarat dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan dari apa yang kamu tidak menanggung (risikonya), dan tidak halal menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (HR. At-Tirmidzi).
Solusi syariahnya :
Pertama, hapuskan bunga dalam pinjaman yang diberikan.
Kedua, tetapkan waktu yang jelas dalam pengembalian pinjaman, sebut tanggal, bulan, dan tahunnya. Tidak boleh pengembalian pinjaman digantungkan pada waktu panen petani karena boleh jadi petani gagal panen.
Ketiga, pinjaman tidak boleh dikaitkan dengan akad jual beli petani dengan Perusahaan.
Petani yang meminjam tidak boleh dipaksa atau diwajibkan menjual hasil panen jagung kepada PT. Jadi petani mempunyai kemerdekaan menjual hasil panen jagungnya (termasuk penentuan harganya), boleh menjual kepada PT, boleh pula menjual kepada pihak lain.
Keempat, Hukum Menjadi Perantara Antara Perusahaan Dengan Petani
Fakta : banyak pemuda di tempat kami yang menggeluti atau terlibat dalam muamalah di bidang pertanian ini, dengan menjadi menjadi perantara antara PT dan mitra, apakah diperbolehkan atau tidak menjadi perantara?
Hukum Syara’ : Hukum menjadi simsar (perantara/broker) secara umum bergantung pada akad jual beli yang diperantarai oleh simsar tersebut, rincinya sbb ;
Pertama, jika jual belinya halal, yang memenuhi semua rukun dan syarat dalam jual beli, maka menjadi perantara untuk jual beli ini hukumnya halal, mengikuti hukum jual belinya.
Kedua, jika jual belinya haram, misalnya jual beli babi, khamr, narkoba, dsb, maka menjadi perantara untuk jual beli seperti ini hukumnya juga haram, mengikuti hukum jual belinya. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/315, bab Al-Samsarah).
Dalilnya adalah sebuah kaidah fiqih yang berbunyi :
اَلتَّابِعُ يَأْخُذُ حُكْمَ مَتْبُوعِهِ
At-Tābi’u ya`khudzu hukma matbū’ihi. Artinya : “Sesuatu ikutan (yang mengikuti sesuatu) hukumnya sama dengan sesuatu yang diikuti itu.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 141).
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa jual beli hasil panen jagung antara PT dengan petani adalah jual beli yang haram atau tidak sah, dikarenakan dalam akad jual beli ini:
(1) petani disyaratkan secara wajib untuk menjual hasil panen hanya kepada PT pemberi benih;
(2) petani telah menjual hasil panennya saat perjanjian di awal dengan PT, padahal hasil panennya belum ada.
Nah, karena jual beli hasil panen jagung antara PT dengan petani hukumnya haram dan tidak sah, maka menjadi perantara (simsar) untuk jual beli tersebut hukumnya juga haram dan tidak sah menurut syara’.
Solusi syariahnya : Ubah akad jual beli hasil panen yang haram antara PT dengan petani, menjadi akad jual beli yang halal. Caranya ada dua langkah sebagai berikut:
Pertama, penggabungan akad hibah benih dengan akad jual beli hasil panen, tidak boleh bersifat mengikat (mulzim), melainkan wajib bersifat opsional. Petani wajib dibolehkan menjual kepada pihak ketiga dengan diberi kemerdekaan menentukan harga jual.
Kedua, akad jual beli hasil panen, tidak boleh dilakukan petani sejak awal perjanjian pemberian benih, melainkan baru boleh dilakukan oleh petani ketika sudah benar-benar panen jagung. (atau ketika jagung sudah dapat dikonsumsi walau belum dipanen).
Demikianlah penjelasan kami untuk kerjasama inti-plasma di bidang pertanian, menurut hukum syara’ yang rājih bagi kami dalam masalah ini. Semoga bermanfaat bagi kaum Muslimin. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 6 November 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi




















