Home Fiqih Fiqih Muamalah HUKUM GAJI DARI PEKERJAAN YANG DIPEROLEH DENGAN SOGOK MENYOGOK

HUKUM GAJI DARI PEKERJAAN YANG DIPEROLEH DENGAN SOGOK MENYOGOK

83

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Jawab :

Afwan Ustadz, ana Abdul Ghofur, dari Bengkulu. Afwan apakah ada tulisan Ustadz tentang hukum gaji yang didapatkan dari pekerjaan yang diawali dengan sogok menyogok? (Abdul Ghofur, Bengkulu).

 

Jawab :

Sogok menyogok atau suap (Arab : al-risywah, boleh dibaca al-rasywah atau al-rusywah) adalah harta yang diberikan kepada setiap pemilik kewenangan (shāhib al-shalāhiyah) untuk mewujudkan suatu kepentingan (mashlahah) yang semestinya wajib dia wujudkan tanpa ada pemberian harta dari pihak yang berkepentingan. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, Al-Amwāl fī Daulah Al-Khilāfah, hlm. 118; Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqohā`, hlm. 171; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22/219).

Semua jenis suap haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak, baik untuk memperoleh manfaat maupun menolak mudharat, baik untuk memperoleh yang hak maupun yang batil, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman. Semua jenis suap haram hukumnya, berdasarkan keumuman hadits-hadits yang mengharamkan suap. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/334).

Dalil haramnya suap secara umum, antara lain hadits Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ

”Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Ahmad, Musnad Imam Ahmad 2/164 & 212; Abu Dawud no. 3580, Al-Tirmidzi no 1337, Ibnu Majah no. 2312).

Dari Tsauban RA, bahwasanya :

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ  يَعْنِي الَّذِي يَمْشِيْ بَيْنَهُمَا

“Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang memberi suap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya.” (HR. Ahmad, Musnad Imam Ahmad 5/189; Al-Hakim, Al-Mustadrak, no 7068). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, Al-Amwāl fī Daulah Al-Khilāfah, hlm. 118).

Maka dari itu, haram hukumnya seseorang melakukan suap menyuap untuk memperoleh pekerjaannya, bagaimanapun juga caranya dan jenis pekerjaannya, baik dia memperoleh pekerjaan itu melalui cara yang resmi (formal) maupun tak resmi, baik pekerjaaan itu halal maupun haram.

Adapun hukum gaji dari pegawai yang memperoleh pekerjaannya dengan jalan suap, menurut kami ada dua kemungkinan hukum syara’ sebagai berikut;

Pertama, gajinya halal, sepanjang memenuhi dua syarat berikut;

Syarat pertama, pegawai tersebut telah memenuhi segala syarat (kualifikasi) untuk memperoleh pekerjaannya, misalnya mempunyai ijazah sesuai yang dipersyaratkan, mempunyai IPK (indeks prestasi kumulatif) minimal yang tertentu, lulus tes tertulis, lulus tes wawancara, dsb.

Dalil syarat pertama ini adalah sabda Rasulullah SAW :

اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطاً حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَراَماً

 “Kaum muslimin [bermuamalah] menurut syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi).

Syarat kedua, pekerjaannya sendiri adalah pekerjaan yang mubah (diperbolehkan syariah), bukan pekerjaan yang diharamkan syara’. Dalil syarat kedua ini adalah kaidah fiqih :

لاَ تَجُوْزُ إِجاَرَةُ اْلأَجِيْرِ فِيْماَ مَنْفَعَتُهُ مُحَرَّمَةٌ

Lā tajūzu ijārat al-ajīr fīmā manfa’atuhu muharramah (tidak boleh akad ijarah [akad jasa] dengan tenaga kerja pada segala jasa/manfaat yang diharamkan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 93).

Contoh pekerjaan yang haram, misalkan pekerjaan pegawai bank yang melakukan transaksi riba, baik terkait langsung maupun tidak terkait langsung dengan transaksi riba. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 93-94).

Pekerjaan yang terkait langsung dengan transaksi riba, misalnya bagian Teller, Analis Kredit, Account Officer (AO), dan Collector, di sebuah bank.

Adapun pekerjaan yang tidak terkait langsung dengan transaksi riba, yakni yang akan menghasilkan riba hanya jika digabungkan dengan pekerjaan lain, contohnya adalah akuntan bank, auditor bank, marketing bank yang memasarkan produk perbankan; petuga back office yang bertugas melakukan pengecekan dan memastikan bahwa transaksi yang dilakukan oleh teller sudah sesuai dan sudah benar; serta bagian admin kredit yang bertugas membuat surat, menginventarisir data nasabah sampai merapikan data jaminan nasabah. (lihat : http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/88).

Dalil haramnya pekerjaan yang terkait riba, baik terkait langsung maupun tidak langsung dengan transaksi riba, adalah hadits dari Jabir bin ‘Abdillah RA sbb :

عَنْ جاَبِرِ بْنِ عَبْدِاللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ، وَقاَلَ: هُمْ سَوَاءٌ. رواه مسلم 1598

Dari Jabir bin ‘Abdillah RA, dia berkata,”Bahwasanya Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba (yang memungut riba), pemberi riba (pembayar riba), pencatat riba, dan dua orang saksinya.” Dan Rasulullah SAW bersabda,”Mereka itu sama saja (dalam hal dosanya).” (HR. Muslim, no. 1598).

Dalam riwayat lain disebutkan :

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ  : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ. قاَلَ: قُلتُ: وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ؟ قاَلَ: إنَّماَ نُحَدِّثُ بِماَ سَمِعْنَا. رواه مسلم  1597

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata,”Bahwasanya Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba (yang memungut riba) dan pemberi riba (pembayar riba).” Dia (‘Abdullah bin Mas’ud) berkata,”Aku bertanya, bagaimana dengan pencatat riba dan dua orang saksinya?” Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya kami menjawab sesuai dengan apa yang kami dengar.” (HR. Muslim, no. 1597).

 Kedua, gajinya haram jika pegawai tersebut tidak memenuhi salah satu atau kedua syarat di atas. Misalkan pegawai itu tidak memenuhi kualifikasi yang disyaratkan (tidak mempunyai ijazah atau IPK minimal yang disyaratkan, tidak lulus tes tertulis, dsb) dan/atau pekerjaannya itu sendiri haram secara syar’i.

Kesimpulannya, ada dua hukum syara’ berikut ini:

Pertama, semua suap adalah haram termasuk suap untuk mendapatkan pekerjaan, bagaimanapun juga caranya dan jenis pekerjaannya, baik dia memperoleh pekerjaan itu melalui cara yang resmi (formal) maupun tak resmi, baik pekerjaaan itu halal maupun haram.

Kedua, adapun gaji dari pekerjaan yang diperoleh dengan jalan suap, ada dua kemungkinan; kemungkinan pertama, hukumnya halal jika pegawai itu memenuhi segala kualifikasi untuk mendapatkan pekerjaannya dan pekerjaannya sendiri adalah mubah (diperbolehkan) secara syar’i. Kemungkinan kedua, hukumnya haram, jika pegawai itu tidak memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan pekerjaannya dan/atau pekerjaannya sendiri hukumnya haram secara syar’i. Wallāhu a’lam.

 

Jakarta, 7 Oktober 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

= = =

Referensi :

http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/164

http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/88