Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah
Tanya :
Ustadz, bagaimana hukum mengkonsumsi daging dari kultur jaringan, bukan daging dari hasil peternakan konvensional. Link faktanya di bawah ini. (Hamba Allah).
https://www.facebook.com/reel/370911382367426?mibextid=rS40aB7S9Ucbxw6v
Jawab :
Pendahuluan
Sebelum menjelaskan status hukum daging laboratorium menurut Syariah Islam, kami akan terlebih dulu mendeskripsikan faktanya. Hal ini karena tidak boleh hukumnya kita menghukumi sesuatu, sebelum kita memahami fakta dari sesuatu itu dengan baik. Kaidah ushul fiqih menegaskan prinsip ini dengan ungkapan sebagai berikut :
اَلْحُكْمُ عَلىَ الشَّيْءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
“Hukum untuk sesuatu, adalah cabang dari pemahaman terhadap sesuatu itu.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Juz/Qism III-IV, hlm. 411).
Deskripsi Fakta
Daging laboratorium (lab-grown meat), atau dapat disebut juga daging kultur jaringan, adalah daging yang dibuat dari sel binatang yang masih hidup, bukan dari binatang yang sudah disembelih, yang kemudian ditumbuhkan di laboratorium dengan teknik rekayasa kultur sel atau kultur jaringan.
(http://iass.or.id/agritalk-lab-grown-meat). (https://id.wikipedia.org/wiki/Daging_kultur)
Produksi daging laboratorium ini didorong oleh motivasi utama menghindari penyembelihan binatang, yang dinilai kejam dan tidak berperikebinatangan. Hal ini dapat dimaklumi, karena penggagas daging laboratorium ini ternyata adalah kaum vegetarian atau penyayang binatang.
Proses pembuatan daging laboratorium ini mengikuti langkah-langkah adalah sebagai berikut :
Pertama, sel binatang (misalnya sapi) diambil melalui biopsi, yaitu pengambilan jaringan sel dari binatang hidup (bukan binatang yang sudah mati).
Kedua, sel tersebut selanjutnya dikembangkan di laboratorium dengan teknik kultur jaringan. Kultur jaringan sendiri adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman atau hewan seperti sekelompok sel atau jaringan, yang kemudian ditumbuhkan dalam kondisi aseptic (yakni keadaan bebas dari mikroorganisme penyebab penyakit), di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu, sehingga bagian tanaman/hewan tersebut bisa dapat memperbanyak diri hingga dapat tumbuh dengan sifat-sifat genetik yang sama dengan induknya.
Ketiga, kultur sel tersebut selanjutnya dikembangkan dalam sebuah bioreactor. Bioreaktor atau dikenal juga dengan nama fermentor adalah sebuah peralatan atau system yang mampu menyediakan sebuah lingkungan biologis yang dapat menunjang terjadinya reaksi biokimia dari bahan mentah menjadi bahan yang dikehendaki.
Keempat, kultur sel tersebut selanjutnya diproses menjadi berbagai produk makanan yang siap santap, seperti burger, dan sebagainya.
Daging laboratorium/kultur ini ada plus minusnya. Di antara nilai plus yang diklaim oleh penggagasnya, daging kultur ini lebih hemat atau efisien dibanding daging biasa yang dikembangkan dengan teknik pertanian dan peternakan, yang katanya sangat menguras sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta bersifat tidak berkelanjutan (un-sustainable).
Namun ada sisi minusnya, yaitu ternyata daging kultur yang siap santap, harganya sangat mahal dan tidak rasional (di luar nurul). Pada tahun 2013, satu potong burger pertama daging laboratorium, dijual dengan harga 250.000 Euro, atau sekitar Rp 4.057.837.747, atau terbilang empat miliar lima puluh tujuh juta rupiah sekian. Waw, mahal sekali bukan?
Namun penggagasnya bilang, harganya bisa makin murah kok di masa depan dengan berbagai efisiensi yang akan dilakukan. Kira-kira 3 atau 4 tahun ke depan (sejak tahun 2013), yaitu sekitar tahun 2017, harga satu potong burger dari daging lab/kultur, diperkirakan hanya 10 Euro atau sekitar Rp 162.000. (https://interaktif.kompas.id/baca/daging-masa-depan-tanpa-sembelih/)
Hukum Syara’ Daging Lab/Kultur
Hukum mengkonsumsi daging laboratorium adalah haram. Karena daging laboratorium tersebut termasuk bangkai (al-maitah), yang jelas telah diharamkan dalam Islam. Banyak dalil-dalil Al-Qur`an yang tegas mengharamkan umat Islam untuk mengkonsumsi bangkai (al-maitah). Di antaranya QS Al-Baqarah : 173; QS Al-Maidah : 3; dan QS Al-An’aam : 145.
Firman Allah SWT :
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ١٧٣
“Sesungguhnya Dia (Allah) hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa saja yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya (untuk memakannya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah : 173).
Firman Allah SWT :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ
“Telah diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah.” (QS Al-Ma`idah : 3).
Firman Allah SWT :
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ١٤٥
“Katakanlah (Muhammad), “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa pun yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak pula melebihi (batas darurat), maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-An’am : 45).
Dalil-dalil di atas jelas sekali menunjukkan bahwa bangkai (al-maitah), diharamkan bagi umat Islam. Nah, termasuk ke dalam kategori bangkai (al-maitah), adalah daging laboratorium atau daging kultur jaringan ini.
Mengapa daging laborarorium dihukumi bangkai (al-maitah)? Hal ini karena karena sel asalnya diambil dari biopsi binatang yang masih hidup. Biopsi adalah pengambilan jaringan (sekumpulan sel) dari binatang hidup, seperti sapi atau ayam.
Padahal terdapat hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa bagian tubuh yang diambil atau dipotong dari hewan yang masih hidup, maka statusnya adalah bangkai (al-maitah). Hadits Nabi SAW tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut :
عَنْ أَبِيْ وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ : قَدِمَ النَّبيُّ صلَّىَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلْمَدِيْنَةَ وَهُمْ يَجُبُّوْنَ أَسْنِمَةَ اْلإِبِلِ وَيَقْطَعُوْنَ آليَّاتِ الْغَنَمِ فَقاَلَ ماَ قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيْتَةٌ. رواه الترمذي، وصححه الشيخ ناصر الدين الألباني في صحيح الترمذي برقم 1480
Dari Abu Waqid Al-Laitsi RA, dia berkata,”Nabi SAW datang ke kota Madinah (dalam rangka berhijrah), sedangkan penduduk Madinah (mempunyai tradisi) memotong punuk-punuk unta dan memotong buntut-buntut kambing (untuk dimakan). Maka Nabi SAW bersabda,’Apa-apa yang dipotong dari binatang padahal binatang itu masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai.” (HR Tirmidzi, no. 1480, dan merupakan hadits shahih menurut penilaian Syekh Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Shahīh Al-Tirmidzī, nomor 1480).
Dengan demikian, jelaslah bahwa daging laboratorium itu hukumnya haram dimakan, karena daging laboratorium tersebut dihukumi sebagai bangkai (al-maitah) karena sel asalnya diambil dari binatang yang masih hidup.
Jika sel diambil dari hewan yang disembelih secara syariah, atau dari ikan yang bangkainya boleh dimakan, maka hukum daging laboratorium adalah boleh menurut syara’ (hukum Islam), tidak haram lagi. Namun ini dengan syarat, daging laboratorium yang dihasilkan itu aman, yakni tidak berpotensi menimbulkan mudharat (bahaya) secara kesehatan di masa depan, seperti kanker, dsb.
Kesimpulan
Daging lab atau daging kultur hukumnya haram, karena daging tersebut termasuk bangkai (al-maitah) yang haram hukumnya dimakan oleh umat Islam. Solusinya, daging lab/kultur bukan diambil melalui biopsi dari binatang yang masih hidup, melainkan dari binatang yang sudah disembelih secara syariah, dengan syarat bahwa daging lab/kultur ini tidak berpotensi menimbulkan bahaya kesehatan di masa depan. Wallāhu a’lam.
Tasikmalaya, 18 September 2024 Muhammad Shiddiq Al-Jawi