Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Bagaimana hukumnya bekerja di Lembaga Amil Zakat yang ada sekarang? (Hamba Allah)
Jawab :
Haram hukumnya bekerja pada lembaga Amil Zakat yang ada saat ini, karena sesungguhnya Amil Zakat yang syar’i saat ini sudah tak ada lagi. Mengapa? Karena Amil Zakat sesungguhnya adalah para petugas zakat yang diangkat oleh Imam (Khalifah) sebagai kepala negara dari negara Khilafah. Padahal sejak tahun 1924, Imam (Khalifah) kaum muslimin sudah tidak ada lagi sejak runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924 dengan khalifah terakhirnya Sultan Abdul Majid II. (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Shiyām, hlm. 346).
Para fuqaha telah menjelaskan definisi dan tugas Amil Zakat, bahwa Amil Zakat itu itu adalah petugas zakat yang diangkat Imam [Khalifah]. Tidak ada khilāfiyah dalam masalah ini, sebagaimana disebutkan oleh Syeikh ‘Abdullah bin Manshūr Al-Ghufaili dalam kitab karyanya Nawāzil Az-Zakāh sebagai berikut :
يَتَّفِقُ الْفُقَهَاءُ بِأَنَّ وَصْفَ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا يُرَادُ بِهِ السُّعَاةُ الَّذِينَ يَنْصِبُهُمْ الْإِمَامُ لِجَمْعِ الصَّدَقَاتِ مِنْ أَهْلِهَا، وَيَخْتَلِفُونَ فِي تَفَاصِيلِ ذَلِكَ الْمَعْنَى وَالزِّيَادَةِ عَلَيْهِ، فَالْحَنَفِيَّةُ يَقْتَصِرُونَ عَلَى الْوَصْفِ الْمَذْكُورِ، بَيْنَمَا يوَسِّعُ الجُمْهورُ مَعْنَى العَامِلِينَ عَلَيْهَا لِيَشْمَلَ مَعَ جَمْعِ الزَّكاةِ تَفْريقَهَا وَتَوْزيعَهَا
”Para fuqaha sepakat bahwa yang disebut para Amil Zakat adalah para petugas yang diangkat oleh Imam (Khalifah) (as-su’ātu alladzīna yanshibuhumul imāmu), untuk mengumpulkan zakat dari orang yang sudah wajib berzakat… Ulama Hanafiyah mencukupkan dengan definisi itu, sedang jumhur ulama [Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah] menambahkan, di samping mengumpulkan, Amil Zakat juga bertugas membagikan zakat.” (Syeikh ‘Abdullah bin Manshūr Al-Ghufaili, Nawāzil Az-Zakāh, hlm. 371).
Para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) telah menyebutkan definisi Amil Zakat dengan maksud yang sama, yaitu Amil Zakat itu tiada lain adalah petugas zakat yang diangkat oleh Imam (Khalifah). Imam Sarakhshi dari mazhab Hanafi, mendefinisikan Amil Zakat sebagai berikut :
وَالعَامِلُونَ عَلَيْهَا هُمُ اَلَّذِينَ يَسْتَعْمِلُهُمْ الإِمَامُ عَلَى جَمْعِ الصَّدَقَاتِ
”Amil Zakat adalah orang-orang yang ditugaskan oleh Imam [Khalifah] untuk mengumpulkan zakat…(humulladzīna yasta’miluhumul imāmu ‘alā jam’ish shadaqāt).” (Imam Sarakhshi, Al-Mabsūth, Juz III, hlm.9).
Imam Qurthubi dari mazhab Maliki mendefinisikan Amil Zakat sebagai berikut :
وَالعَامِلِينَ عَلَيْهَا يَعْنِي السُّعاةَ وَاَلْجُباةَ اَلَّذِينَ يَبْعَثُهُمُ الإِمامُ لِتَحْصِيلِ الزَّكاةِ بِاَلْتَوْكِيْلِ عَلَى ذَلِكَ
”Amil Zakat adalah para petugas dan pemungut zakat yang diutus oleh Imam untuk mendapatkan zakat dengan akad wakalah (taukīl) untuk melaksanakan tugas itu.” (ya’niy al-su’āta wa al- jubāta alladzīna yab’atsuhumul imāmu li tahshīl az-zakāti bi al-tawkīl ‘alā dzālika). (Tafsir Al–Qurthubi, Juz VIII, hlm. 76).
Imam Syafi’i dari mazhab Syafi’i, mendefiniskan Amil Zakat sebagai berikut :
وَالعَامِلِينَ عَلَيْهَا مَنْ وَلَّاهُ الوَالِيُّ قَبْضَهَا وَقِسْمَهَا
“Amil Zakat adalah orang-orang yang diserahi tugas oleh penguasa untuk mengambil dan membagikan zakat… (wa al-‘āmilina ‘alayhā man wallāhu al-wāli qabdhahā wa qismahā)…” (Imam Syafi’i, Al-Umm, Juz II, hlm. 91).
Yang dimaksud dengan penguasa (al-wāliy) di sini adalah Imam (Khalifah), sebagaimana dijelaskan oleh para ulama Syafi’iyyah :
فَقَدْ صَرَّحَ الشّافِعيَّةُ بِأَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الإِمَامِ بَعْثُ السُّعاةِ لِأَخْذِ الصَّدَقاتِ
“Para ulama Syafi’iyyah telah menyatakan dengan eksplisit (jelas) bahwa wajib hukumnya atas Imam (Khalifah) untuk mengutus para pemungut zakat yang akan mengambil zakat-zakat.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz XXIII, hlm. 303-304).
Imam Ibnu Qudamah dari mazhab Hambali mendefinisikan Amil Zakat sebagai berikut :
العَامِلُونَ عَلَيْهَا : هُمْ السُّعَاةُ اَلَّذِينَ يَبْعَثُهُمْ الإِمَامُ ؛ لِأَخْذِ الزَّكاةِ مِنْ أَرْبابِها
”Amil Zakat adalah para petugas yang diutus oleh Imam [Khalifah] untuk mengumpulkan zakat dari para muzakki…(humu al-su’ātu alladzīna yab’atsuhumul imāmu li akhdzihā min arbabihā).” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz 9 hlm. 312). (Lihat Syeikh ‘Abdullah bin Manshūr Al-Ghufaili, Nawāzil Az-Zakāh, hlm. 371-375).
Tentu yang dimaksud “Imam” (الإِمَامُ) dalam berbagai kutipan di atas, adalah Khalifah, atau Amirul Mukminin, yaitu kepala negara dari negara Khilafah (Imamah). Sebab, lafazh “imam” itu jika digunakan dalam bentuk muthlaq, harus dimaknai dengan Khalifah atau Amirul Mukminin. Imam Nawawi menyatakan :
وَالمُرَادُ بالاِمامِ الرَّئِيْسُ الَاعْلَى لِلدَّوْلَةِ ، والاَمامَةُ وَالخِلَافَةُ وَإِمارَةُ المُؤْمِنِينَ مُتَرادِفَةٌ ، وَالمُرَادُ بِهَا الرِّيَاسَةُ العَامَّةُ فِي شُئُوْنِ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا . وَالمُرَادُ بِهَا الرِّيَاسَةُ العامَّةُ فِي شُئُوْنِ الدّينِ وَالدُّنْيَا . وَيَرَى ابْنُ حَزْمٍ أَنَّ اْلاِمَامَ إِذَا أُطْلِقَ انْصَرَفَ إِلَى الخَلِيْفَةِ ، أَمَّا إِذَا قُيِّدَ انْصَرَفَ إِلَى مَا قُيِّدَ بِهِ مِنْ إِمامِ الصَّلاةِ وَإِمامِ الْحَدِيْثِ وَإِمامِ اْلقَوْمِ
“Yang dimaksud dengan “al-Imam” adalah pemimpin tertinggi negara (Islam). Dan istilah Imamah, atau Khilafah, atau Imaratul Mukminin adalah sinonim (mutarādif). Yang dimaksud Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan urusan dunia. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kata “al-Imam”, jika disebut secara mutlak, maka pengertiannya dipalingkan kepada makna al-khalifah. Adapun jika disebut dengan taqyīd (pembatasan) maka maknanya adalah sesuai dengan batasan tersebut, misalnya, imam sholat, imam al-hadits, dan imam suatu kaum.”. (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, Juz XIX, hlm. 191).
Dengan demikian, dari kutipan pendapat-pendapat ulama empat mazhab tersebut mengenai definisi Amil Zakat, jelas sekali bahwa Amil Zakat itu bukanlah perorangan atau lembaga swasta yang mengurus zakat. Amil Zakat juga bukan orang-orang yang diangkat oleh pemimpin negara tetapi bukan Imam (Khalifah), seperti yang diangkat oleh Presiden atau oleh Raja, melainkan orang-orang yang diangkat oleh Imam (Khalifah) sebagai kepala negara Khilafah (Negara Islam), untuk melaksanakan dua tugas pokok, yaitu;
(1) mengumpulkan zakat dari para wajib zakat (muzakki), dan
(2) membagikan zakat tersebut kepada para mustahik zakat (yang berhak menerima zakat) sesuai QS At-Taubah [9] : 60. (Abdullah Nashih ‘Ulwan, Ahkām Az-Zakāt ‘Alā Dhaw` Al-Madzāhib Al-Arba’ah, hlm. 26; Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani, Mashārif Al-Zakāt fi Al-Islām fi Dhaw` Al-Kitāb wa Al-Sunnah, hlm. 17).
Dalil bahwa Amil Zakat adalah petugas zakat yang diangkat oleh Imam (Khalifah) adalah hadits-hadits shahih bahwa Rasulullah SAW dan para Khulafa` Rasyidin telah mengangkat para Amil Zakat. Di antaranya riwayat Abu Hurairah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengutus Umar bin Khaththab untuk memungut zakat.” (HR Muslim, no 983). Juga riwayat Ibnu As-Sa’idi Al-Maliki RA, dia berkata,”Umar bin Khaththab telah mengangkatku menjadi Amil untuk memungut Zakat. Setelah aku selesaikan tugasku dan kuberikan zakat kepadanya, Umar memberikan upah kepadaku…” (HR Muslim, no 1045; Bukhari no 6744). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz XXIX, hlm. 228).
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa Amil Zakat adalah petugas zakat yang diangkat oleh Imam (Khalifah). Dan berhubung Imam (Khalifah) sudah tidak ada lagi sejak runtuhnya Khilafah pada tahun 1924, maka Amil Zakat yang syar’i saat ini pun sebenarnya sudah tidak ada lagi. Konsekuensi akibat tiadanya Imam (Khalifah) ini, akan mengakibatkan kurang lengkapnya rukun-rukun tawkīl (wakālah) antar Imam dan para Amil Zakat, yang seharusnya wajib ada dalam rukun-rukun akad wakālah. Ada tiga rukun dalam akad wakalah, yaitu : rukun pertama, adanya dua pihak yang berakad (‘al-āqidāni) dalam akad wakālah, yaitu pihak muwakkil (Imam), dan pihak wakīl (Amil Zakat). Rukun kedua, adalah objek akad (al-ma’qūd ‘alayhi), yaitu memungut dan membagikan zakat. Rukun ketiga, adalah shighat, yaitu redaksi ucapan ijab dan kabul antara pihak muwakkil (Imam) dan wakīl (Amil Zakat).
Namun karena Imam (Khalifah) tidak ada, akhirnya keberadaan dua pihak yang berakad tersebut (‘al-āqidāni), tidak dapat terpenuhi, sehingga mengakibatkan akad tawkīl (wakalah) ini otomatis batal alias tidak sah menurut syara’.
Maka dari itu, jelaslah bahwa haram hukumnya bekerja sebagai Amil Zakat yang ada sekarang, yaitu mereka yang mendapat gaji dari zakat yang disalurkan oleh umat kepada lembaga mereka. Ini karena Amil Zakat sekarang hakikatnya bukan Amil Zakat yang sah secara syar’i, karena tidak pernah diangkat oleh pihak yang mempunyai wewenang (shalāhiyāt) untuk mengangkat mereka, yaitu Imam (Khalifah), sebagai kepala negara dari negara Khilafah.
Solusinya setidaknya ada dua, pertama, zakat diberikan langsung oleh para muzakki kepada para mustahik zakat, tanpa melalui perantara sebuah lembaga zakat. Atau solusi kedua, boleh juga zakat diserahkan oleh muzakki kepada wakilnya baik wakil itu perorangan maupun kelompok (jamā’ah) dengan akad wakālah/tawkīl (perwakilan), namun tanpa mengurangi jumlah harta yang dibayarkan sebagai zakat. Dan boleh pihak wakil itu mengenakan biaya (ujrah) kepada muzakki dengan akad wakālah bil ujrah (wakalah dengan upah), tanpa mengurangi jumlah harta yang dizakatkan. Jadi, perorangan atau jamaah yang menjadi wakil muzakki tidak berhak mengambil gaji yang bersumber dari dana zakat, karena mereka sebenarnya bukanlah Amil Zakat secara syar’i, tetapi mereka boleh mengambil ujrah (upah) atas dasar akad wakālah bil ujrah sebagai wakil dari muzakki. Demikianlah pendapat yang kami anggap rājih (lebih kuat) dalam masalah ini. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 7 Juli 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi