Home Fiqih Fiqih ibadah HUKUM AL QUR`AN SELULER

HUKUM AL QUR`AN SELULER

102

Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

 

Tanya :

Ustadz, bagaimana hukum perlakuan terhadap Al Qur`an seluler, apakah sama dengan mushaf Al Qur`an dari kertas?

 

Jawab :

Al Qur`an seluler adalah program Al Qur`an dalam memori telepon seluler yang dapat diaktifkan sehingga dapat dibaca dan/atau dapat pula mengeluarkan rekaman suara seorang Qari` yang membacakan ayat-ayatnya.

 

Hukum seputar Al Qur`an seluler ini termasuk masalah baru, sehingga pembahasan fiqihnya tak dapat ditemukan secara langsung dalam kitab-kitab ulumul Qur`an klasik, seperti Al Mashahif karya Imam Sijistani (w. 316 H), At Tibyan fi Adab Hamalatil Qur`an karya Imam Nawawi (w. 676 H), Al Burhan fi Ulumil Qur`an karya Imam Zarkasyi (w. 794 H), dan Al Itqan fi Ulumil Qur`an karya Imam Suyuthi (w. 911 H). Bahkan pembahasannya juga belum disinggung dalam kitab-kitab ulumul Qur`an kontemporer, seperti Faidhur Rahman fi Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Khaashah bil Qur`an karya Ahmad Saalim Malham (2001), Ar Ruuh wa Ar Raihan fi Fadha`il wa Ahkam Al Mashahif wa Al Qur`an karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim (2003), dan Al Mut-haf fi Ahkam Al Mushaf karya Shalih Muhammad Ar Rasyid (2003).

 

Namun belakangan beberapa ulama kontemporer mencoba membahasnya, seperti Abdul Aziz Al Hajilan dalam kitabnya Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Khaashah bil Qur`an (2004) dan Fahad Abdurrahman Al Yahya dalam kitabnya Takhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal wa Maa Yata’alaqu bihi min Masa`il Fiqhiyyah (2010). Metode pembahasannya sebenarnya bukan ijtihad atau qiyas, melainkan apa yang disebut dengan “takhrij al furuu’ ala al ushuul” (mengeluarkan hukum cabang dari hukum pokok), atau “tathbiq al hukm ‘ala al masa`il allaty tandariju tahtahu.” (menerapkan hukum yang sudah ada, pada masalah-masalah baru yang merupakan derivat/turunan dari hukum yang sudah ada). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/203-205).

 

Di antara hukum syara’ terkait Al Qur`an seluler dalam kitab-kitab tersebut sbb :

 

Pertama, kapan program Al Qur`an seluler dihukumi sebagai mushaf Al Qur`an? Fahad Abdurrahman Al Yahya mengatakan program Al Qur`an seluler yang non aktif, dianggap sama dengan mushaf Al Qur`an yang masih tertutup (tak dibuka). Maka program non aktif tersebut tak dihukumi sebagai mushaf Al Qur`an, sehingga tak disyaratkan bersuci (thaharah) dari hadats besar atau hadats kecil bagi muslim yang menyentuh ponsel dengan program tersebut. Dalam hal ini para ulama kontemporer tak ada perbedaan pendapat. (Fahad Abdurrahman Al Yahya, Takhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 47).

 

Adapun jika program Al Qur`an selulernya dalam keadaan aktif, yaitu ketika nampak gambar ayat Al Qur`an dalam layar ponsel, maka ia dianggap sama dengan mushaf Al Qur`an yang lembarannya sudah dibuka. Maka dari itu, program aktif tersebut dihukumi sama dengan mushaf Al Qur`an. Di sinilah kemudian diberlakukan hukum-hukum syara’ seputar mushaf Al Qur`an, misalnya hukum menyentuh mushaf, hukum membawa mushaf ke dalam toilet (al khala`), dsb. (Fahad Abdurrahman Al Yahya, Takhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 47).

 

Kedua, jika program Al Qur`an selulernya dalam keadaan aktif, apakah disyaratkan thaharah bagi muslim yang menyentuh ponsel dengan program itu? Di sini ada tafshil (rincian) hukumnya; jika yang disentuh bukan layar monitornya, tapi bagian perangkat ponsel lainnya, seperti tepian layar monitor atau tombol-tombol huruf pada keypad, tidak disyaratkan thaharah. Sebab dapat diterapkan di sini hukum tak wajibnya thaharah jika seorang muslim menyentuh mushaf dengan penghalang (ha`il) seperti tali gantungan atau kulit/cover mushaf, atau jika menyentuh kitab tafsir Al Qur`an yang mengandung ayat dan tafsirnya.

 

Adapun jika yang disentuh adalah layar monitornya secara langsung (misal pada layar touchscreen), disyaratkan wajib thaharah. Sebab di sini diterapkan hukum wajibnya thaharah bagi yang menyentuh mushaf secara langsung (tanpa penghalang). (Fahad Abdurrahman Al Yahya, Takhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 92). Wallahu a’lam.