Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Assalamu’alaikum. Izin bertanya ustadz M. Shiddiq Al Jawi, bagaimana hukumnya nikah dengan maskawin berupa masjid? Tapi tidak dijelaskan, nama masjidnya apa dan letaknya, serta tidak ada penjelasan juga apakah masjidnya akan dibangun, sedang dibangun, atau sudah berdiri dan dipakai masyarakat, sebagaimana di dalam video yang beredar. Redaksi ijab dari wali hakim sebagai berikut,”Ya Haldy Hasmaini Sabri bin Sabri Nur. Saya (wali) Hakim, saya nikahkan, saya kawinkan seorang putri bernama Yris Jetty Dirk de Beule bin Johan de Beule kepadamu dengan maskawinnya satu buah masjid dibayar tunai.” Redaksi qabul dari Haldy Shabri,”Saya terima nikah dan kawinnya Yris Jetty Dirk de Beule dengan maskawin yang tersebut tunai.” Demikian saja infonya. (Rizki, Jateng).
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam wr.wb.
Jawaban terhadap fakta tersebut ada dalam 3 (tiga) hukum syara’ sebagai berikut :
Pertama, mahar berupa masjid tersebut tidak diperbolehkan dalam Syariah Islam, karena tidak memenuhi kriteria mahar, yaitu harus dapat diperjualbelikan. Padahal masjid itu merupakan harta wakaf yang tidak boleh diperjualbelikan, maka tidak sah masjid dijadikan mahar nikah. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41/177).
Kedua, wajib hukumnya atas suami dalam kasus tersebut di atas (Haldy Sabri) untuk mengganti mahar masjid tersebut dengan mahar mitsli, yaitu mahar semisal yang biasanya diberikan kepada perempuan yang semisal istrinya tersebut di tengah masyarakat. Yang dimaksud perempuan semisal istrinya, adalah mahar yang diberikan misalnya kepada ibu dari perempuan itu, atau kepada saudara-saudara perempuan dari isterinya itu, atau saudara-saudara perempuan (khālah) dari ibu perempuan tersebut, dsb. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39/154).
Ketiga, namun demikian, akad nikahnya tetap sah, karena mahar menurut jumhur ulama tidak termasuk ke dalam salah satu dari rukun-rukun nikah ataupun salah satu dari syarat-syarat nikah. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 24/64).
Penjelasan lebih detail untuk masing-masing hukum syara’ di atas adalah sebagai berikut;
Pertama, mahar berupa masjid tersebut tidak diperbolehkan dalam Syariah Islam, karena tidak memenuhi kriteria mahar, yaitu harus dapat diperjualbelikan. Hal ini berdasarkan kaidah fiqih (al-qawā’id al-fiqhiyyah) yang menyebutkan :
كُلُّ ماَ جاَزَ أَنْ يَكُوْنَ ثَمَناً أَوْ مَبِيْعاً جاَزَ أَنْ يَكُوْنَ مَهْراً
“Segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syariah menjadi harga, atau menjadi barang dagangan, maka boleh pula dijadikan mahar (maskawin).” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 41/177; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39/155).
Kaidah fiqih tersebut mengandung pengertian bahwa mahar itu wajib berupa barang yang boleh atau halal diperjualbelikan menurut Syariah Islam. Jika suatu barang halal diperjualbelikan, misalnya busana muslimah, sajadah, mushaf Al-Qur`an, dsb, maka boleh hukumnya dijadikan mahar. Sebaliknya barang yang haram diperjualbelikan, misalnya khamr (minuman keras), babi, narkoba, barang curian, dsb, maka tidak boleh hukumnya dijadikan mahar.
Padahal, masjid itu menurut pengertian syariah statusnya adalah harta wakaf, yang sudah ma’lūm (diketahui) bahwa harta wakaf itu tidak boleh diperjualbelikan, maka tidak sah harta wakaf dijadikan mahar dalam pernikahan.
Bahwa masjid itu statusnya adalah harta wakaf, didasarkan pda definisi syariah untuk masjid itu sendiri, yaitu sebagai berikut :
المَسْجِدُ هوَ المَكانُ اَلْمُهَيَّأُ لِلصَّلَوَاتِ الخَمْسِ دَائِمًا ، والْمَوْقُوْفُ لِذَلِكَ . والْمَكانُ يَصيرُ مَسْجِدًا : بِالْإِذْنِ الْعَامِّ لِلنَّاسِ بِالصَّلَاةِ فِيه ، سَواءٌ صَرَّحَ بِأَنَّهُ وَقْفٌ لِلهِ أَوْ لَمْ يُصَرِّحْ بِذَلِكَ ، عِنْدَ جُمْهورِ العُلَماءِ خِلَافًا لِلشَّافِعِيَّةِ. الموسوعة الفقهية الكويتية ج 37 ص 220
“Masjid adalah tempat yang disiapkan untuk sholat lima waktu (berjamaah) secara permanen dan diwakafkan untuk keperluan itu. Sebuah tempat menjadi masjid, karena adanya izin umum kepada masyarakat untuk sholat di tempat tersebut, baik dengan pernyataan eksplisit bahwa tempat itu adalah wakaf lillahi ta’ala, maupun dengan pernyataan implisit. Demikian menurut jumhur ulama, berbeda dengan ulama mazhab Syafi’i (yang mensyaratkan pernyataan eksplisit).” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 37/220).
Dari penjelasan definisi syar’i bagi masjid tersebut, sebuah tempat menjadi masjid menurut hukum Islam jika memenuhi 3 (tiga) kriteria, yaitu;
Pertama, tempat itu digunakan untuk sholat lima waktu secara permanen.
Kedua, sudah terdapat izin kepada masyarakat umum untuk menggunakan tempat tersebut untuk sholat lima waktu.
Ketiga, tempat tersebut berstatus tanah wakaf, yaitu bukan lagi milik individu atau perorangan, melainkan menjadi milik umum (al-milkiyyah al-‘āmmah).
Dengan demikian, jelaslah bahwa status masjid itu adalah harta wakaf, sesuai dengan definisi dan kriteria masjid yang sudah disebutkan di atas, yaitu masjid itu haruslah tempat yang “diwakafkan untuk keperluan itu (sholat lima waktu yang permanen)” (والْمَوْقُوْفُ لِذَلِكَ). Jika suatu tempat masih menjadi milik pribadi, yakni belum diwakafkan, maka tempat itu –walaupun bangunan fisiknya seperti masjid— namun belum dapat dihukumi sebagai masjid menurut syara’ (hukum Islam), dan belum dapat diberlakukan padanya hukum-hukum masjid dalam fiqih Islam, misalnya keabsahan sholat tahiyyatul masjid di dalamnya, keabasahan beri’tikaf di dalamnya, ketidakbolehan wanita haid duduk di dalamnya, larangan berjual beli di dalamnya, dsb.
Padahal harta wakaf itu tidak diperbolehkan untuk dijualbelikan, sebagaimana ketentuan Syariah Islam yang bersumber dari hadits shahih dari Nabi Muhammad SAW dari Abdullah bin ‘Umar RA dia berkata :
أنَّه لاَ يُباعُ وَلاَ يُوْهَبُ وَلاَ يُوْرَثُ
“Bahwasanya harta wakaf itu tidak boleh dijual (harta pokoknya), tidak boleh pula dihibahkan (diberikan), dan tidak boleh pula diwariskan.” (HR. Bukhari, no. 2737; Muslim, no. 1632).
Kesimpulannya, jelas bahwa mahar berupa masjid tidak diperbolehkan dalam Syariah Islam, karena tidak memenuhi kriteria mahar, yaitu harus dapat diperjualbelikan. Padahal masjid itu statusnya adalah harta wakaf yang tidak boleh diperjualbelikan, maka tidak sah dijadikan mahar dalam pernikahan.
Kedua, sebagai konsekuensi hukum pertama di atas, yaitu tidak boleh atau tidak sahnya mahar berupa masjid, maka wajib hukumnya mahar mitsli atas suami dalam kasus tersebut di atas untuk mengganti mahar masjid tersebut. Mahar mitsli, adalah mahar yang semisal yang biasanya diberikan kepada perempuan yang semisal istrinya tersebut di tengah masyarakat. Yang dimaksud perempuan semisal istrinya, adalah mahar yang diberikan misalnya kepada ibu dari perempuan itu (al-umm), atau kepada saudara-saudara perempuan dari isterinya itu (al-ukhtu al-syaqiqah), atau saudara-saudara perempuan dari ibu perempuan tersebut (khālah), dsb. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39/154, Al-Khathib Al-Syarbaini, Mughni Al-Muhtaj, 4/385).
Mahar mitsli tersebut dalam fiqih Islam diterapkan untuk kasus-kasus ketika tidak ada penetapan mahar pada saat akad nikah, atau penetapan maharnya ada (disebutkan), namun terjadi pelanggaran syara’ dalam maharnya, yang disebut oleh fuqoha dengan istilah fasadu tasmiyyat al-mahar atau penyebutan mahar yang fasad/rusak). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39/187).
Contohnya, maharnya majhūl (tidak jelas), misalnya,”dengan mahar ikan yang ada di dalam kolam,”, atau “dengan mahar panen padi di sawah pada musim ini,” atau maharnya sesuatu yang diharamkan dalam Islam, seperti babi, khamr, dan sebagainya, atau maharnya tidak diperbolehkan seperti halnya kasus yang ditanyakan di atas, yaitu maharnya berupa masjid yang termasuk harta wakaf. Padahal sudah diketahui dengan jelas harta wakaf itu tidak boleh diperjualbelikan dan tidak boleh pula dihibahkan (diberikan) kepada orang lain.
Dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah dijelaskan bahwa :
ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلىَ أَنَّهُ فَسَدَتْ تَسْمِيَّةُ الْمَهْرِ كَماَ لَوْ تَزَوَّجَ عَلىَ مَيْتَةٍ أَوْ دَمٍّ أَوْ خَمْرٍ أَوْ خِنْزِيْرٍ يَجِبُ مَهْرُ الْمِثْلِ. الموسوعة الفقهية الكويتية ج 39 ص 187
“Para ulama mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i berpendapat jika terjadi kerusakan (pelanggaran) dalam penyebutan mahar, misalnya kalau seorang laki-laki menikah dengan mahar berupa bangkai, atau darah, atau khamr (minuman keras), atau babi, maka wajib hukumnya dia memberikan mahar mitsli.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39/187).
Ketiga, namun demikian, akad nikah dengan mahar masjid tersebut tetap sah, karena mahar menurut jumhur ulama tidak termasuk ke dalam salah satu rukun-rukun nikah ataupun salah satu syarat-syarat nikah. Mahar hanyalah salah satu dari sejumlah akibat hukum dari terjadinya akad nikah. Namun demikian, yang lebih baik dan afdhol dalam fiqih Islam, adalah menyebutkan mahar pada saat akad nikah. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 24/64).
Dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan :
وَالْمَهْرَ لَيْسَ شَرْطاً فِيْ عَقْدِ الزَّوَاجِ وَلاَ رُكْنًا عِنْدَ جُمْهُوْرِ الْفُقَهاَءِ ، وَإِنَّمَا هُوَ أَثَرٌ مِنْ آثاَرِهِ الْمُتَرَتَّبَةِ عَلَيْهِ ، فَإِذَا تَمَّ الْعَقْدُ بِدُوْنِ ذِكْرِ مَهْرٍ صَحَّ بِاِتِّفاَقِ الْجُمْهُوْرِ. الموسوعة الفقهية الكويتية ج 24 ص 64
“Mahar bukanlah satu syarat dalam akad nikah, dan juga bukan satu rukun dalam akad nikah, menurut jumhur (mayoritas) fuqoha (ahli fiqih), melainkan hanyalah satu akibat dari akibat-akibat dari adanya akad nikah. Jika akad nikah telah terwujud tanpa menyebutkan mahar, sah akad nikahnya itu menurut kesepakatan jumhur fuqoha`.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 24/64).
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً
“Tidak ada dosa bagimu (untuk tidak membayar mahar) jika kamu menceraikan istri-istrimu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya.” (QS Al-Baqarah : 236).
Wajhul istidlāl (segi penyimpulan hukum dari dalil) dari ayat itu adalah :
فَإِبَاحَةُ الطَّلاَقِ قَبْلَ الْمَسِيْسِ وَقَبْلَ فَرْضِ صَدَاقٍ يَدُلُّ عَلىَ جَوَازِ عَدَمِ تَسْمِيَّةِ الْمَهْرِ فِي الْعَقْدِ
“Maka kebolehan talak (cerai) sebelum terjadinya persentuhan (persetubuhan) dan sebelum pembayaran mahar (dalam ayat itu), menunjukkan kebolehan tidak menyebutkan mahar pada saat akad nikah.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 24/64). Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 22 Oktober 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi