Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Assalamu’alaykum warahmatullah wa barakatuhu. Ustadz Shiddiq. Semoga Ustadz Shiddiq dalam keadaan sehat wal afiat. Bismillah. Izin bertanya, Ustadz. Apakah takmir masjid boleh menggunakan dana masjid (hasil dari donasi, infak, dan event-event masjid) untuk keperluan rutin takmir berupa rapat rutin mingguan takmir untuk dibelikan snack, minuman dan konsumsi lainnya, termasuk bolehkah juga dana masjid tersebut dipakai untuk keperluan acara seperti pembubaran panitia (ada makan-makannya sambil evaluasi event masjid)? Note : panitia di sini juga adalah para takmir yang sama yang menginisiasi & menghelat event untuk para jamaah masjid. (Ahmad Hanafi Rais, Sleman).
Jawab :
Wa ’alaykumus salam warahmatullah wa barakatuhu.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui lebih dulu 2 (dua) hal; Pertama, tiga kemungkinan kategori dana yang masuk ke kotak infak masjid. Kedua, pengelolaan syariah untuk masing-masing dari ketiga macam dana infak masjid tersebut.
Ada tiga kemungkinan kategori dana yang masuk ke kotak-kotak infaq masjid, yaitu ;
Pertama, dana yang dimaksudkan sebagai zakat (amwāl az-zakāt).
Kedua, dana yang dimaksudkan sebagai infak mutlak (tabarru’āt muthlaqah), yaitu dana yang penyumbangnya tidak menentukan arah atau peruntukan tertentu.
Ketiga, dana yang dimaksudkan sebagai infak terbatas (tabarru’āt muqayyadah), yaitu dana yang penyumbangnya telah menentukan arah atau peruntukan tertentu, misalnya dana untuk membantu korban bencana alam, dana untuk disumbangkan kepada Palestina, dsb.
(Lihat : https://islamqa.info/ar/answers/114375/)
Pengelolaan Dana Zakat
Pertama, wajib hukumnya takmir masjid memahami dengan baik Fiqh Zakāt, baik Zakāt Fitrah maupun Zakāt Māl.
Kedua, takmir masjid hanya mengambil (atau menerima) zakat dari orang-orang tertentu yang sudah ditentukan syariah. Tidak boleh takmir masjid menerima zakat dari orang yang tidak sah berzakat, misalnya dari orang kafir.
Tidak boleh takmir masjid menyalurkan zakat kepada yang tidak boleh menerima zakat, misalnya orang kafir. Ini karena zakat hanya diambil dan diberikan kepada muslim, sesuai sabda Rasulullah SAW :
تُؤْخَذُ مِن أغْنِيائِهِمْ فَتُرَدُّ في فُقَرائِهِمْ
“Zakat itu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka (umat Islam), dan dibagikan di antara orang-orang faqir di antara mereka (umat Islam).” (HR. Muslim, no. 19).
Adapun sedekah sunnah (tathawwu’) boleh diberikan kepada non muslim (kafir), kecuali kāfir harbi fi’lan, yaitu kaum kafir yang secara de facto (benar-benar) sedang memerangi umat Islam, seperti “Israel” saat ini. Dalil bolehnya memberi sedekah kepada non muslim, karena hal ini termasuk perbuatan baik (al-birr) yang dibolehkan kepada mereka sesuai firman Allah SWT :
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah : 8).
Ketiga, takmir masjid hanya menyalurkan zakat kepada orang-orang tertentu yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat), yaitu 8 golongan (ashnāf) sesuai QS At-Taubah: 60. Firman Allah SWT :
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat (‘Amil Zakat), para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk (berjihad) di jalan Allah dan untuk ibnu sabil (mereka yang sedang dalam perjalanan), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60).
Keempat, takmir masjid tidak boleh memungut zakat-zakat baru yang tidak mempunyai sandaran dalil-dalil syar’i yang mu’tabar, seperti Zakat Profesi.
(Lihat http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/524).
Kelima, takmir masjid tidak boleh memotong dana zakat sebesar seperdelapan (1/8) dengan anggapan takmir masjid adalah Amil Zakat. Ini karena takmir masjid bukanlah Amil Zakat yang syar’i. Amil Zakat yang syar’i hanyalah orang-orang yang diangkat oleh Imam (Khalifah) untuk memungut dan menyalurkan zakat. Padahal Imam (Khalifah) saat ini sudah tidak ada lagi, atau tepatnya, belum ada lagi, sejak runtuhnya Khilafah ‘Utsmaniyah di Turki tahun 1924.
(Lihat : http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/224)
Keenam, takmir masjid boleh menyalurkan zakat dengan akad wakalah bil ujrah, yakni menjadi wakil dari muzakki dengan mendapat upah (ujrah) dari muzakki, tanpa mengurangi besarnya dana zakat yang diterima dan yang disalurkan.
Ketujuh, takmir masjid tidak boleh menyalurkan dana zakat kepada para ustadz atau kyai dengan anggapan mereka termasuk fi sabilillah (QS At-Taubah : 60).
Pendapat yang rajih (lebih kuat), bahwa yang disebut fi sabilillah adalah orang-orang yang berjihad (dalam arti perang) di jalan Allah, seperti kaum muslimin yang berperang melawan “Israel” saat ini.
(Lihat : http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/525).
Pengelolaan Dana Infak Mutlak
Pertama, dana infaq mutlak (at-tabarru’at al-muthlaqah) adalah dana-dana yang disumbangkan masyarakat kepada masjid, secara mutlak, yaitu tanpa membatasi sasaran (objek) infak atau peruntukan infaknya secara khusus.
Kedua, dana infak mutlak ini boleh digunakan sebagai gaji untuk takmir masjid, seperti untuk membayar gaji imam sholat rawatib, mu`adzin, tukang bersih-bersih masjid, tukang parkir masjid, satpam masjid, dan sebagainya.
Ketiga, dana infak mutlak ini boleh digunakan untuk berbagai macam kebaikan (al-khair) yang dilaksanakan masjid, misalnya membeli makanan dan minuman bagi jamaah masjid, mengadakan pengajian-pengajian, memberi amplop kepada para asatidz dan khathib Jumat, dsb.
Pengelolaan Dana Infak Terbatas
Pertama, dana infaq terbatas (at-tabarru’at al-muqayyadah) adalah dana-dana yang disumbangkan masyarakat kepada masjid, secara muqayyadah (terbatas), yaitu ada batasan peruntukan infaknya secara khusus, misalnya dana untuk Palestina tahun 2023, dana untuk korban bencana banjir 2024, dan sebagainya
Kedua, dana infak terbatas ini hanya boleh digunakan dan disalurkan untuk peruntukan tertentu yang telah ditetapkan. Misalnya, dana yang asalnya dikumpulkan untuk korban banjir, lalu digunakan untuk melakukan renovasi masjid. Hal ini tidak boleh dilakukan, karena termasuk perbuatan khianat atau tidak amanah, kecuali mendapat persetujuan dari para penyumbang (mutabarri’īn).
Ketiga, jika terdapat kelebihan dari infak terbatas, boleh disalurkan untuk peruntukan yang serupa, misalnya ada kelebihan dana korban banjir tahun 2024, ternyata ada kelebihannya, maka boleh disalurkan kepada korban banjir tahun berikutnya, dsb.
Keempat, orang-orang yang mengelola infak terbatas ini, boleh mendapatkan upah (ujrah) untuk pekerjaannya mengumpulkan dan menyalurkan dana, sepanjang sudah mendapat izin sebelumnya dari para penyumbang (mutabarri’īn). Besarnya ujrah (upah) adalah mengikuti prinsip ajrul mitsli, yaitu upah yang semisal untuk pekerjaan yang sama pada lembaga atau organisasi atau masjid yang lain.
Berdasarkan penjelasan dua hal di atas, yaitu pertama, tiga kemungkinan kategori dana yang masuk ke kotak infak masjid, dan kedua, pengelolaan syariah untuk ketiga macam dana infak masjid tersebut, maka kasus yang ditanyakan di atas akan dapat dijawab.
Jadi, bolehkah dana masjid digunakan oleh takmir masjid untuk konsumsi rapat rutin? Jawabannya adalah sebagai berikut;
Pertama, jika dana yang digunakan untuk konsumsi rapat rutin itu adalah dana zakat, maka hukumnya tidak boleh (haram), karena kegiatan takmir masjid tidak masuk ke dalam kategori 8 (delapan) ashnāf (golongan) yang berhak menerima zakat, sebagaimana firman Allah SWT :
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat (‘Amil Zakat), para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk (berjihad) di jalan Allah dan untuk ibnu sabil (mereka yang sedang dalam perjalanan), sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60).
Kedua¸ jika dana yang digunakan untuk konsumsi rapat itu adalah dana infaq terbatas, yang tidak mencakup rapat rutin takmir masjid, maka hukumnya tidak boleh (haram), karena penyaluran dana infaq terbatas yang tidak sesuai peruntukannya tersebut merupakan pengkhianatan amanah yang haram dilakukan. Sabda Rasulullah SAW :
آيَةُ الْمُناَفِقِ ثَلاَثٌ: إِذاَ حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذاَ وَعَدَ أخلَفَ، وَإِذا ائْتُمِنَ خاَنَ
“Ciri munafik itu ada tiga; jika dia berbicara dia berdusta, jika dia berjanji dia menyalahi janjinya, dan jika dia dipercaya, dia berkhianat.” (HR. Bukhari no 33; Muslim no. 59)
Ketiga¸ jika dana yang digunakan untuk konsumsi rapat itu adalah dana infaq mutlak, yang mencakup di dalamnya kegiatan rapat rutin takmir masjid, hukumnya boleh dan tidak masalah. Dengan syarat, dana yang digunakan untuk konsumsi rapat rutin tersebut nominalnya wajar dan tidak berlebihan atau mewah.
Demikianlah jawaban kami, semoga bermanfaat. Āmīn. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 8 Oktober 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi