Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Pak Ustadz, Saya sedang safar. Saat mau berdiri sholat yang kedua (dalam sholat jamak), Pak Imam tiba-tiba mengajak semua jamaah untuk dzikir dan doa minta hujan. Bolehkah sholat jamak dijeda antara sholat pertama dan sholat kedua, karena Pak Imam sholat mengajak dzikir dan doa untuk meminta hujan. Setelah selesai dzikir dan doa, saya sambung dengan sholat kedua. Bolehkah? (Hamba Allah).
Jawab :
Di antara syarat-syarat yang wajib dipenuhi ketika kita menjamak dua sholat, misalnya menjamak sholat Maghrib dan ‘Isya`, atau sholat Zhuhur dan Ashar, adalah dua sholat yang dijamak, wajib dilakukan secara al-muwālāh (اَلْمُوَالاَةُ), yakni artinya dilakukan secara berkesinambungan atau berterusan, antara sholat yang pertama dan sholat yang kedua.
Jadi tidak diboleh ada jeda (فَصْلٌ) dalam waktu yang lama (zaman thawil, زَمَنٌ طَوِيْلٌ), di antara dua sholat yang dijamak. Misalnya, seorang musafir melaksanakan sholat jamak Maghrib dan ‘Isya, lalu setelah sholat Maghrib dia ngopi-ngopi dulu sekitar 30 (tiga puluh) menit. Ini sudah merupakan jeda (فَصْلٌ) yang memakan waktu lama (zaman thawil, زَمَنٌ طَوِيْلٌ), menurut kebiasaan (‘urf), sehingga akhirnya sholat jamak tidak sah untuk dilakukan.
Namun jika jeda di antara dua waktu sholat itu tidak lama, boleh hukumnya ada jeda tersebut, dan sholat jamaknya tetap sah hukumnya secara syariah. Misalkan, seorang musafir melaksanakan sholat jamak Maghrib dan ‘Isya, dan setelah sholat Maghrib ternyata ada panggilan telepon yang masuk. Dia akhirnya menjawab panggilan telepon itu dan bicara sekitar satu atau dua menit saja. Ini termasuk jeda yang singkat, bukan jeda yang memakan waktu lama, sehingga hukumnya boleh dan sholat jamaknya sah hukumnya untuk tetap dilaksanakan.
Apa dalilnya sehingga sholat jamak itu disyaratkan wajib dilakukan secara al-muwālāh (اَلْمُوَالاَةُ), yakni dilakukan secara berkesinambungan tanpa ada jeda yang lama di antara dua sholat? Dalil untuk syarat ini adalah contoh dari sholat jamak yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu tidak ada jeda yang lama, antara dua sholat jamak yang dilakukan oleh Rasulullah SAW itu sendiri. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata :
يُشْتَرَطُ الْمُوَالَاةُ بِأَنْ لَا يَطُولَ بَيْنَهُمَا فَصْلٌ؛ لِأَنَّهُ الْمَأْثُورُ، وَلِهَذَا تُرِكَتْ الرَّوَاتِبُ بَيْنَهُمَا.فَإِنْ طَالَ الْفَصْلُ بَيْنَهُمَا وَلَوْ بِعُذْرٍ كَجُنُونٍ: وَجَبَ تَأْخِيرُ الثَّانِيَةِ إِلَى وَقْتِهَا؛ لِزَوَالِ رَابِطَةِ الْجَمْعِ. وَلَا يَضُرُّ فَصْلٌ يَسِيرٌ, وَيُعْرَفُ طُولُهُ وَقِصْرُهُ بِالْعُرْفِ; لِأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ لَهُ ضَابِطٌ
“Disyaratkan (dalam sholat jamak), adanya al-muwālāh (اَلْمُوَالاَةُ), dalam pengertian tidak boleh ada jeda yang lama di antara dua sholat yang dijamak, karena demikianlah yang diriwayatkan dari sholat jamak yang dilakukan Rasulullah SAW. Maka dari itu, sholat-sholat rawatib wajib ditinggalkan (tidak boleh dilakukan) di antara dua sholat yang dijamak. Jika ada jeda yang lama di antara dua sholat yang dijamak, walaupun ada udzur syar’i, misalnya orang yang sholat itu gila, maka wajib menunda sholat yang kedua hingga dilaksanakan pada waktunya (tidak boleh dijamak), karena hubungan di antara dua sholat yang dijamak sudah hilang. Namun tidak mengapa ada jeda yang singkat. Dan mana jeda yang lama dan jeda yang singkat, dapat diketahui berdasarkan kebiasaan (‘urf), karena dalam masalah ini tidak patokan syariahnya.” (Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtāj, 2/397).
Sebagian ulama muta’akhirin telah menjelaskan lebih detail kadar jeda yang lama dan jeda yang singkat tersebut. Jeda yang singkat (الفاصل اليسير), adalah waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan sholat dua rakat yang ringan (bacaan suratnya pendek, bukan surat yang panjang), yang diawali dengan wudhu, adzan, dan iqomah. Jika dikira-kirakan, waktu yang pendek ini, adalah sekitar 7 (tujuh) menit. (https://www.aliftaa.jo/Question2.aspx?QuestionId=1873).
Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa untuk kasus yang ditanyakan di atas, maka jawaban kami adalah : (1) jika waktu yang digunakan untuk dzikir dan doa di antara dua sholat yang dijamak itu adalah waktu yang lama, misalnya sekitar 10 menit, maka berarti sholat jamaknya tidak boleh dilakukan; (2) jika waktu yang digunakan untuk dzikir dan doa tersebut, hanya sekitar 3 sampai 5 menit, misalkan, maka berarti sholat jamaknya boleh dilakukan.
Kalau ada keraguan, apakah jedanya termasuk lama atau sebentar, maka jangan melakukan sholat jamak. Sholatlah seperti biasa, yaitu dua sholat dilakukan pada waktunya masing-masing, tanpa dijamak, karena syara’ menganjurkan kita untuk meninggalkan hal yang meragukan, menuju hal yang tidak meragukan. Rasulullah SAW bersabda :
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ. رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَالنَّسَائِي وَقَالَ التِّرْمِذِيّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ
“Tinggalkan apa-apa yang meragukan kamu, menuju apa-apa yang tidak meragukan kamu.” (HR Tirmidzi dan An-Nasa`i. Imam Tirmidzi berkata,”Ini hadits yang hasan shahih).
Bandung, 6 Oktober 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi