Home Fiqih Fiqih Siyasah BAIAT UNTUK MASUK ORGANISASI, ADAKAH?

BAIAT UNTUK MASUK ORGANISASI, ADAKAH?

69

 

 Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Bismillah. Kyai, apa pendapat Kyai tentang seorang ustadz muda dibaiat masuk ke dalam organisasi yang selama ini selalu menjegal kegiatannya. Apakah benar bersumpah seperti itu? (Hamba Allah, Bandung).

 

Jawab:

Bai’at dalam pengertian syariahnya, hanyalah untuk Imam atau Khalifah, yaitu pemimpin tertinggi (al-ra`īs al-a’lā) dalam negara Khilafah, bukan untuk pemimpin sebuah organisasi atau kelompok tertentu. Dengan demikian, menggunakan istilah baiat untuk proses masuknya seseorang ke dalam suatu organisasi, merupakan penyalahgunaan istilah syariah yang tidak pada tempatnya. Kecuali jika baiat yang dimaksudkan bukan dalam pengertian syariahnya (makna syar’i), melainkan dalam pengertian bahasanya (makna etimologi/al-ma’na al-lughawi), yaitu baiat dalam arti janji (wa’ad) atau sumpah (qasam) seseorang untuk mentaati pemimpin suatu organisasi atau kelompok tertentu.

Baiat dalam makna lughawi (makna secara etimologis) ini, biasanya berupa janji (al-wa’ad) atau sumpah (al-qasam/al-yamīn/al-ḥalfu) dari seseorang kepada pimpinan (atau wakilnya) dari sebuah organisasi atau jamaah Islami. Hukum berjanji atau bersumpah ini secara syariah diperbolehkan (mubāh), selama apa yang menjadi objek janji atau objek qasam, bukan suatu aktivitas yang bersifat maksiat atau dosa. Misalnya bersumpah akan memperjuangkan Islam, bersumpah untuk berjihad fi sabilillah melawan kafir penjajah, bersumpah untuk melanjutkan kehidupan Islam, bersumpah untuk menghancurkan Israel, dan sebagainya. Baiat dalam makna bahasanya ini, jelas bukan baiat dalam makna syar’i sebagaimana yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi SAW, yaitu suatu perjanjian atau akad antara umat dengan Khalifah, dalam negara Khilafah, misalnya sabda Nabi SAW :

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً. رواه مسلم (1851)

“Barangsiapa yang mati padahal di lehernya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), maka matinya adalah mati secara jahiliyah (mati dengan membawa dosa, bukan mati kafir).” (HR Muslim, no. 1851).

Untuk mendalami persoalan baiat ini lebih jauh, kita perlu mengkaji seputar baiat ini dalam beberapa poin berikut ini :

( 1 ) Makna Lughawi dan Makna Syar’i dari Baiat

( 2 ) Hukum Baiat

( 3 ) Dua Macam Baiat : Baiat In’iqad dan Baiat Taat

( 4 ) Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Baiat

( 5 ) Baiat Dalam Kondisi Tiadanya Khilafah

( 6 ) Baiat dalam Makna Lughawinya (Janji/Sumpah).

 

Makna Lughawi dan Makna Syar’i dari Baiat

Baiat menurut makna bahasanya (ma’na lughawi / makna etimologi) ada beberapa makna, antara lain:

Pertama, baiat bermakna (اَلْمُبَايَعَةُ عَلىَ الطَّاعَةِ) “al-mubāya’ah ‘alā at-thā’ah” (saling berjanji untuk mentaati).

Kedua, baiat bermakna (اَلصَّفْقَةُ مِنْ صَفَقَاتِ الْبَيْعِ) “ash-shafqah min shafaqāt al-bai’“ (sebuah kesepakatan di antara kesepakatan-kesepakatan berjual beli). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 9/274).

Adapun makna syar’ i dari baiat, yang dirumuskan dari berbagai hadits Nabi SAW mengenai baiat, ada beberapa definisi, namun maknanya sama, yaitu baiat adalah perjanjian antara umat Islam dengan penguasa muslim, yaitu Imam atau Khalifah, dengan konsekuensi berupa kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak. Bagi pihak penguasa (Imam/Khalifah), baiat ini berkonsekuensi adanya kewajiban untuk menerapkan hukum-hukum Islam atas umat Islam dalam segala aspek kehidupan. Sedang bagi umat Islam, baiat ini berkonsekuensi adanya kewajiban untuk mentaati penguasa tersebut, selama penguasa tidak memerintahkan sesuatu yang bersifat maksiat (melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban).

Inilah definisi baiat dalam pengertian syariahnya, yaitu perjanjian antara umat Islam dengan Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah, bukan perjanjian seseorang untuk masuk ke dalam sebuah organisasi atau jamaah Islami. Definisi syar’i dari baiat inilah yang dijelaskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah sebagai berikut :

إِنَّ البَيْعَةَ هِيَ العَهْدُ عَلَى الطّاعَةِ ، كَأَنَّ اَلْمُبايِعَ يُعاهِدُ أَميرَهُ عَلَى أَنْ يُسَلِّمَ لَهُ النَّظَرَ فِي أَمْرِ نَفْسِهِ ، وَأُمورِ المُسْلِمِيْنَ ، لَا يُنَازِعُهُ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَيُطيْعُهُ فِيمَا يُكَلِّفُهُ بِهِ مِنْ الأَمْرِ عَلَى المَنْشَطِ وَاَلْمَكْرَهِ .مقدمة ابن خلدون، ج 2ص 549

“Sesungguhnya pengertian baiat adalah janji untuk mentaati, seakan-akan pihak yang membaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan urusan dirinya dan urusan kaum muslimin kepada pemimpin tersebut, serta berjanji untuk tidak membangkang kepadanya dalam urusan itu, dan berjanji untuk mentaati pemimpin itu pada segala perkara yang dibebankan pemimpin itu baik pada hal yang menyenangkan maupun pada hal yang dibenci.” (Muqaddimah Ibnu Khaldûn, 2/549).

Berdasarkan definisi baiat dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun (2/549) tersebut, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan baiat menurut makna syariahnya adalah :

البَيْعَةُ هِيَ عَهْدٌ بَيْنَ الأُمَّةِ وَالحَاكِمِ عَلَى الحُكْمِ بِالشَّرْعِ وَطاعَتِهِمْ لَهُ

“Baiat adalah perjanjian antara umat dan penguasa untuk menerapkan hukum berdasarkan Syariah Islam dan untuk mentaati penguasa itu.” (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, hlm. 105).

Baiat dalam pengertian syariahnya itu, juga dijelaskan oleh Syekh Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya Mu’jam Lughat Al-Fuqahā` dengan redaksi yang hampir sama sebagai berikut :

البَيْعَةُ هِيَ عَقدٌ بَيْنَ الأُمَّةِ وَالْحَاكِمِ يُرَتِّبُ عَلىَ كُلٍّ مِنْهُمَا تِجَاهَ اْلآخَرَ حُقُوْقاً وَوَاجِبَاتٍ

“Baiat adalah akad antara umat dan penguasa yang menimbulkan konsekuensi bagi masing-masing pihak berupa kewajiban-kewajiban dan hak-hak.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 95).

Dr. Raghib As-Sirjani dalam situsnya islamstory.com, mendefinisikan baiat dalam pengertian syariahnya dengan substansi makna yang sama dengan definisi-definisi sebelumnya, sebagai berikut :

الْبَيْعَةُ عَهْدٌ عَلَى الطَّاعَةِ مِنْ الرَّعِيَّةِ لِلرَّاعِي، وَإِنْفَاذُ مُهِمَّاتِ الرَّاعِي عَلَى أَكْمَلِ وَجْهٍ، وَأَهَمُّهَا سِيَاسِيَّةُ الدِّينِ وَالدُّنْيَا عَلَى مُقْتَضَى شَرْعِ اللَّهِ

“Baiat adalah perjanjian untuk mentaati pemimpin, oleh rakyat, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban [terhadap rakyat], oleh pemimpin, dengan sesempurna mungkin, yang terpenting di antaranya adalah kewajiban mengatur berbagai urusan agama dan dunia sesuai dengan tuntutan Syariah Islam.” (https://islamstory.com/ar/artical/23485/)

Jadi baiat dalam pengertian Syariah adalah akad atau perjanjian antara umat Islam dengan Imam (Khalifah), sebagai kepala negara dari negara Khilafah, dimana Khalifah berjanji untuk menegakkan syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan, sedangkan umat Islam umat berjanji untk mentaati Imam (Khalifah) itu selama Imam (Khalifah) tidak memerintahkan sesuatu yang bersifat maksiat. Jadi baiat itu menurut pengertian syariahnya sama sekali bukanlah janji seseorang untuk masuk ke sebuah organisasi atau jamaah Islami. Merupakan kekeliruan atau penyesatan kalau ada yang mengartikan baiat itu dalam pengertian syariahnya sebagai perjanjian masuknya seseorang ke dalam sebuah kelompok atau jamaah atau kumpulan tertentu.

Baiat dalam pengertian syariah itulah yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi SAW mengenai baiat, di antaranya adalah hadits-hadits Nabi SAW sebagai berikut :

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً. رواه مسلم (1851)

“Barangsiapa yang mati padahal tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah, bukan kepada pemimpin/amir sebuah kelompok) di lehernya, maka dia mati adalah mati secara jahiliyah (mati dengan membawa dosa, bukan mati dalam keadaan kafir).” (HR Muslim, no. 1851).

Sabda Rasulullah SAW :

مَن بايَعَ إمَامًا فأعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وثَمَرَةَ قَلبِه، فَليُطِعْهُ مَا اسِتَطَاعَ، فإنْ جَاءَ آخَرُ يُنازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَرِ. رواه مسلم (1844).

“Barangsiapa yang membaiat seorang Imam (Khalifah), lalu dia memberikan genggaman tangannya kepadanya dan kesungguhan hatinya kepadanya, maka hendaklah dia mentaati Imam itu dengan sekuat kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekeuasaan Imam itu, penggallah leher orang lain itu.” (HR Muslim, no. 1844).

Sabda Rasulullah SAW :

إذا بُوْيِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ، فاقْتُلُوا الآخِرَ مِنْهُمَا. رواه مسلم (1853)

“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim, 1853).

Sabda Rasulullah SAW :

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ، وَأَعْطَوْهُمْ حَقَّهُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ  (4218)

“Dahulu Bani Israil itu senantiasa dipimpn oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi seudah aku, yang aka nada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak.” Para shahabat bertanya,”Lalu apa yang Engkau perintahkan kepada kami?” Rasulullah SAW bersabda,”Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka, karena sesungguhnya Allah akan memminta pertangghung jawaban kepada mereka mengenai amanah yang dibebankan oleh Allah kepada mereka.” (HR Muslim, no 1842).

Dalam hadits dari Ubadah bin Shamit RA :

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ صَامِتٍ قَالَ: « بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا، لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ ( 7055( مسلم (1842)

Dari Ubadah bin Shamit RA, dia berkata,”Kami telah membaiat Rasulullah SAW untuk mendengar dan mentaati (beliau), baik dalam hal yang kami sukai maupun yang kami benci, dan kami juga membaiat beliau untuk tidak merebut kekuasaan dari yang berhak, kami juga membaiat beliau untuk melakukan atau mengatakan yang haq (benar) di manapun kami berada, dan bahwa kami tidak akan takut karena Allah terhadap celaan orang yang mencela.” (HR Bukhari, no. 7055; Muslim, no. 1842).

Baiat dalam hadits-hadits di atas adalah baiat dalam pengertian syariahnya, yaitu akad atau perjanjian antara umat Islam dengan Imam (Khalifah) dalam negara Khilafah. Jadi baiat dalam pengertian syariah ini bukanlah perjanjian masuknya seseorang ke dalam organisasi atau kelompok, sama sekali bukan.

 

Hukum Baiat

Baiat hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin, dan sekaligus merupakan hak bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Yang demikian itu dikarenakan baiat itu merupakan metode satu-satunya untuk mengangkat Khalifah sebagai kepala negara dari Negara Khilafah Islamiyah. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, hlm. 106).

Dalil wajibnya baiat untuk mengangkat seorang Khalifah (Imam) ada dua :

Pertama, hadits-hadits Nabi SAW.

Kedua, Ijma’ Shahabat (Konsensus Para Shahabat Nabi SAW).

Adapun dalil dari hadits-hadtis Nabi SAW di antaranya sabda Rasulullah SAW :

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ ميتَةً جاهِليَّةً

“Barangsiapa yang  mati sedangkan di lehernya tidak terdapat baiat (kepada Imam/Khalifah) maka matinya adalah mati Jahiliyyah.” (HR Muslim no. 1851).

 

Wajhul Istidlâl (cara penarikan hukum dari dalilnya) :

Hadis ini telah mencela orang yang tidak punya baiat kepada Khalifah, dengan celaan yang berat, sebagai mati jahiliyah. Celaan berat yang ditujukan untuk perbuatan yang ditinggalkan ini, tidak memiliki makna lain, kecuali perbuatan yang ditinggalkan itu (yaitu baiat), hukumnya adalah wajib.  (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, hlm. 102).

Namun perlu dipahami, bahwa yang dimaksud dengan “mati jahiliyah” bukanlah mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat (tidak taat) kepada Allah SWT, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani :

وَلَيْسَ المُرادُ يَموتُ كَافِرًا بَلْ يَموتُ عَاصِيًا

“Yang dimaksud “mati jahiliyah” dalam hadis itu bukanlah mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan bermaksiat.” (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bāry Syarah Shahīh Al-Bukhāry, 16/112)

Adapun dalil wajibnya baiat dari Ijma’ Shahabat, terbukti dalam peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Nabi SAW, para shahabat dari golongan Anshar dan Muhajirin berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk memilih pemimpin umat pengganti Rasululullah SAW. Para shahabat Nabi SAW akhirnya sepakat (ijmā’) untuk membaiat Abu Bakar Ash Shiddiq RA sebagai khalifah yang menggantikan Rasulullah SAW dalam urusan kepemimpinan umat. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, hlm. 111).

 

Dua Macam Baiat : Baiat In’iqad Dan Baiat Taat

Baiat ada dua macam :

Pertamabaiat in’iqād, atau disebut baiat khusus, yaitu baiat dari wakil-wakil umat Islam untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah. Hukum baiat in’iqad adalah fardhu kifayah.

Keduabaiat tāat, atau disebut baiat umum, yaitu baiat dari seluruh umat Islam untuk menyatakan ketaatan kepada Khalifah yang telah dibaiat sebelumnya oleh wakil-wakil umat. Hukum baiat taat adalah fardhu ‘ain.(Ahmad Mahmûd Âlû Mahmûd, Al-Bai’ah fi al-Islâm, hlm. 164-165, hlm. 164-165).

Dalil adanya dua macam baiat tersebut adalah Ijma’ Shahabat yang terjadi setelah Abu Bakar Shiddiq RA dibaiat secara khusus oleh para shahabat di Saqifah Bani Saidah sebagai Khalifah. Keesokan harinya, setelah sholat Shubuh, Abu Bakar RA dibaiat lagi secara umum oleh kaum muslimin yang hadir di masjid. Baiat di Saqifah Bani Saidah itu merupakan baiat in’iqad (baiat khusus). Sedangkan baiat di masjid merupakan Baiat Taat (baiat umum). (Ahmad Mahmûd Âlû Mahmûd, Al-Bai’ah fi al-Islâm, hlm. 164-165).

 

Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Baiat

Rukun-rukun baiat syar’i ada 3 (tiga), yaitu :

(1) Al-‘Āqidāni (dua pihak yang berakad) dalam akad baiat, yaitu : (1) calon Imam/Khalifah di satu sisi, dan (2) wakil-wakil umat Islam di sisi lain;

(2) Al-Ma’qūd ‘alayhi (objek akad) dalam baiat, yaitu kewajiban untuk menjalankan Al-Qur`an dan Al-Sunnah bagi Imam atau Khalifah, dan kewajiban untuk mentaati Imam / Khalifah bagi umat Islam.

(3) Shighat al-‘aqad (redaksi akad, atau redaksi ijab dan kabul dalam baiat). Mengenai redaksi baiat, bagi wakil umat Islam, intinya adalah mengucapkan ījāb (penawaran) bagi Khalifah, yaitu : membaiat khalifah untuk menjalankan Al-Kitab dan As-Sunnah (menerapkan Islam), dan akan mentaati Khalifah. Sedangkan redaksi baiat bagi Khalifah, intinya adalah mengucapkan redaksi qabūl (penerimaan) terhadap ucapan ījāb dari wakil umat Islam. (Lihat : Abu Bakar Abdurrahman Al-Ghumari, ‘Aqdul Bai’ah wa Arkānuhu wa Syurūtuhu; sumber : https://zakaatulwaqt.wordpress.com/2010/11/06/10-11-2-39/).

 

Contohnya, wakil umat Islam mengucapkan ījāb (penawaran) kepada Khalifah dengan mengatakan :

بَايَعْنَاكَ لِكَيْ تَحْكُمَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وِسَلَّمَ، وَعَلَيْنَا السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ لَك فِي الْمَنْشَطِ وَالْمُكْرَهِ وَالْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَأَثَرَةٌ عَلَيْنَا،

“Kami telah membaiat Anda agar Anda menjalankan di tengah Kami hukum Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya SAW, dan kami wajib mendengar dan mentaati Anda dalam segala hal yang kami sukai dan yang kami benci, dalam perkara yang sulit dan yang mudah, dan dalam kondisi Kami tidak diutamakan.”

Kemudian Khalifah mengucapkan redaksi qabūl (penerimaan) terhadap ījāb (penawaran) dari wakil umat Islam tersebut dengan berkata :

قَبِلْتُ

“Saya menerima.”

(Lihat : Abu Bakar Abdurrahman Al-Ghumari, ‘Aqdul Bai’ah wa Arkānuhu wa Syurūtuhu; sumber : https://zakaatulwaqt.wordpress.com/2010/11/06/10-11-2-39/).

 

Adapun syarat-syarat baiat syar’i, ada dua macam, yaitu syarat untuk pihak yang dibaiat (khalifah/imam) dan syarat untuk pihak yang membaiat (wakil-wakil umat Islam). Syarat-syarat untuk pihak yang dibaiat (Khalifah/Imam), ada 7 (tujuh) syarat :

(1) Muslim.

(2) Laki-Laki.

(3) Aqil (Berakal)

(4) Baligh.

(5) Adil (bukan orang fasik).

(6) Merdeka (bukan budak)

(7) Mampu. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâmul Hukm fi Al-Islâm, hlm. 50-53).

 

Adapun syarat-syarat untuk pihak yang membaiat (wakil-wakil umat Islam) ada 4 (empat) syarat sebagai berikut :

(1) Muslim (Laki-Laki atau Perempuan).

(2) Aqil (Berakal).

(3) Baligh (Dewasa).

(4) Ridha (sukarela) dan Ikhtiyar (bebas memilih). (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fi Al-Islâm, hlm. 128-137).

(Lihat : https://shiddiqaljawi.com/baiat-dalam-fiqih-islam-baiat-iniqad-dan-baiat-taat/)

 

Baiat Dalam Kondisi Tiadanya Khilafah

Syarat-syarat pembaiatan khalifah yang diterangkan sebelumnya, adalah ketika Khilafah masih ada atau sudah tegak kembali. Adapun Ketika Khilafah tidak ada sama sekali, seperti kondisi saat ini sejak runtuhnya Khilafah di Turki tahun 1924, akibat perbuatan jahat dari Mushthofa Kamal yang murtad, maka ada 4 (empat) syarat, yaitu syarat untuk negeri (al-quthr) yang akan membaiat Khalifah :

Pertama, kekuasaan (sulthān) yang ada negeri tersebut, mempunyai kekuasaan yang mandiri (sulthān dzāty), yang bersandar kepada kaum muslimin semata, tidak bersandar kepada negara asing (kafir) atau orang asing (kafir).

Kedua, keamanan (al-amān) adalah keamanan Islam, dalam arti perlindungan (al-ḥimāyah) baik dalam negeri maupun luar negeri, semuanya merupakan keamanan kaum muslimin.

Ketiga, segera memulai penerapan Islam dengan penerapan yang sempurna dan menyeluruh (dalam segala aspek kehidupan) di dalam negeri, dan segera melakukan kegiatan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia di luar negeri.

Keempat, khalifah yang dibaiat memenuhi syarat-syarat baiat in’iqad, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat afdholiyah (keutamaan), karena yang menjadi standar adalah syarat-syarat in’iqad. (‘Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Hukm fi Al-Islām, 59-60; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm, 26; Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 125-130).

 

Baiat Dalam Makna Lughawinya

Baiat dalam makna syar’i-nya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, berbeda dengan baiat kepada organisasi. Baiat kepada organisasi ini sesungguhnya hanyalah baiat dalam makna bahasa saja, bukan dalam pengertian syariahnya. Baiat dalam makna bahasa ini bentuknya dapat berupa janji (wa’ad) atau sumpah (qasam) dari seseorang kepada organisasi.

Baiat dalam makna bahasanya ini, adalah makna secara lughawi (makna Bahasa Arab asli) dari kata baiat, yaitu janji untuk mentaati, yang boleh saja digunakan dalam konteks organisasi. Tetapi lebih baik baiat dalam makna lughawi ini tidak digunakan, karena dapat membuat umat Islam bingung atau tersesat memahami maksud baiat yang sebenarnya, yaitu baiat dalam makna Syariah, yang merupakan suatu akad atau perjanjian dari umat Islam kepada Khalifah dalam negara Khilafah.

Sebaiknya untuk konteks organisasi gunakanlah istilah qasam (sumpah), bukan baiat, untuk menunjukkan adanya perbedaan antara baiat kepada seorang Imam (Khalifah) dengan perjanjian antara seseorang dengan sebuah organisasi atau kelompok.

 

Dalam kaitan ini, penting untuk diketahui perbedaan baiat dalam pengertian syariah, dengan baiat dalam pengertian bahasa (makna lughawi), dalam 6 (enam) poin perbedaan sebagai berikut :

Pertama, dari segi al-‘āqidāni (dua pihak yang berakad). Dalam baiat menurut pengertian Syariah, dua pihak yang berakad tersebut adalah wakil umat di satu sisi, sedang di sisi lain adalah Khalifah (Imam). Adapun dalam baiat menurut pengertian bahasa, dua pihak yang berakad itu adalah seseorang calon anggota ormas atau organisasi di satu sisi, sedang di sisi lain ada pemimpin ormas atau organisasi.

Kedua, dari segi al-mubāya’ lahu (pihak yang dibaiat). Dalam baiat menurut pengertian Syariah, al-mubāya’ lahu (pihak yang dibaiat) Khalifah (Imam), yaitu pemimpin umat Islam di seluruh dunia. Adapun dalam baiat menurut pengertian bahasa, al-mubāya’ lahu (pihak yang dibaiat) adalah sebatas pemimpin sebuah organisasi.

Ketiga, dari segi al-mubāya’ ‘alaihi (objek baiat). Dalam baiat dalam pengertian Syariah, objek baiat adalah penerapan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan dari pihak Khalifah, sedangkan dari pihak umat Islam, adalah ketaatan kepada Khalifah. Dalam baiat dalam pengertian Bahasa, objek baiatnya lebih sempit cakupannya, misalnya beraqidah mengikuti aliran aqidah tertentu, misalnya Asy’ariyah, atau mengamalkan mazhab fiqih tertentu, misalnya mazhab Syafi’i, dan sebagainya.

Keempat, dari segi kewajiban dan keterikatan (al-wujūb wa al-ilzām). Baiat dalam pengertian Syariah, wajib hukumnya bagi seluruh kaum muslimin untuk membaiat seorang Imam/Khalifah. Adapun baiat menurut pengertian bahasa, tidak wajib kecuali bagi perseorangan muslim yang rela untuk masuk ke sebuah organisasi.

Kelima, dari segi jangka waktu (muddah). Baiat dalam pengertian syariahnya, tidak ada jangka waktunya. Khalifah yang dibaiat dapat terus berkuasa hingga dia wafat, selama masih mampu menjalankan roda pemerintahan dalam rangka menerapkan Islam. Sedang baiat dalam pengertian bahasa, bisa jadi hanya berlaku selama waktu atau periode tertentu, misal lima tahunan, bukan selama-lamanya.

Keenam, dari segi boleh tidaknya ta’addud (adanya lebih dari satu pihak yang dibaiat). Baiat dalam pengertian Syariah, wajib hanya kepada satu Khalifah (Imam) saja, untuk umat Islam seluruh dunia, tidak boleh ada lebih dari satu Khalifah (Imam), sesuai sabda Nabi SAW :

إذا بُوْيِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ، فاقْتُلُوا الآخِرَ مِنْهُمَا. رواه مسلم (1853)

“Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim, 1853).

Adapun baiat dalam pengertian bahasa, boleh ta’addud (adanya lebih dari satu pihak yang dibaiat). Misalnya seseorang membaiat satu organisasi untuk khusus mendalami fiqih, lalu orang yang sama membaiat organisasi lainnya untuk khusus mendalami Ushul Fiqih, lalu dia juga membaiat organisasi lainnya untuk menghapal Al-Qur`an, dan seterusnya. (Lihat : https://ar.wikipedia.org/wiki/ بيعة).

Walhasil, baiat dalam makna bahasanya ini, misalnya dalam bentuk sumpah, hukumnya boleh selama tidak melanggar Syariah Islam. Maka dari itu, jika seseorang bersumpah kepada organisasi dan ternyata isi sumpahnya tidak sesuai syariah, tidak boleh hukumnya dia bersumpah. Misalnya bersumpah kepada organisasi walaupun mengaku ormas Islam, tapi ternyata memperjuangkan atau mempertahankan sistem sekuler dari Barat.

Orang muslim yang bersumpah untuk memperjuangkan atau mempertahankan sistem sekuler dari Barat seperti ini, sungguh telah berbuat maksiat kepada Allah, yang berarti telah batal sumpahnya dan wajib melaksanakan kaffarat sumpah sesuai perintah Allah dalam Al-Qur’an (QS Al-Maidah : 89). Firman Allah SWT :

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS Al-Maidah : 89).

 

Penutup

Baiat dalam makna syar’i hanya diberikan oleh umat Islam kepada Khalifah sebagai pemimpin tertinggi dari negara Khilafah, bukan yang lain. Baiat ini merupakan akad politik antara umat Islam di satu sisi, dengan Khalifah di sisi lain, dengan kewajiban atas Khalifah untuk menjalankan Al-Kitab dan As-Sunnah. Sedang bagi umat Islam baiat merupakan komitmen untuk mentaati dan mendengar Khalifah yang dibaiat, selama Khalifah tidak memerintahkan berbuat maksiat. Baiat dalam pengertian syariahnya ini, hanya ada bagi Khalifah (Imam) dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah).

Istilah baiat dalam makna syariahnya ini tidak boleh disalahgunakan untuk baiat kepada seorang pemimpin dari sebuah kelompok (jamaah) atau ketua sebuah organisasi keislaman, atau kepada kepala negara dari sistem-sistem pemerintahan di luar sistem pemerintahan Islam (Khilafah), seperti seorang presiden atau seorang raja.

Penyalahgunaan istilah baiat ini sesungguhnya adalah suatu kekeliruan dan penyesatan bagi umat Islam. Tujuannya jelas bukan untuk memberi pencerahan atau edukasi kepada umat Islam, melainkan justru untuk membodohi dan menyesatkan umat Islam, agar umat Islam terus berada dalam penindasan rezim sekuler-radikal yang jahat dan anti Islam yang menjadi agen atau proxy dari negara-negara kafir penjajah, seperti Amerika Serikat dan China. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 7 Juni 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi