Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya :
Ustadz. Mohon penjelasannya apakah suami itu disyaratkan atau diwajibkan mendapat persetujuan istri ketika hendak berpoligami? (Hamba Allah).
Jawab :
Persyaratan bahwa suami harus mendapat persetujuan istri ketika hendak berpoligami, tidak ada dalilnya dari Al-Qur`an atau As-Sunnah. Maka persyaratan itu adalah persyaratan yang batil yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi kaum Muslimin di Indonesia.
Perlu diketahui bahwa syarat itu menurut para fuqoha` itu ada dua macam, sebagaimana dijelaskan misalnya dalam Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (4/305), juga dijelaskan dalam Ilmu Ushūl Al-Fiqh Al-Islāmī, karya Syekh Wahbah Al-Zuhaili (1/98-99), sebagai berikut;
Pertama, syarat syar’i, atau disebut juga syarat hakiki, adalah syarat yang ditetapkan syariah, jadi wajib ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, yang merupakan keharusan agar suatu hukum syara’ dapat terwujud atau terlaksana.
Misalnya syarat wudhu untuk sholat. Jadi terlaksananya suatu hukum syara’, dalam hal ini sholat, bergantung kepada keberadaan syarat itu, yaitu wudhu. Jika syarat itu tidak ada (wudhu), maka sholat tidak sah dilaksanakan. Namun sebaliknya jika syarat itu ada, tidak selalu menyebabkan suatu hukum syariat terlaksana. Misalnya, boleh jadi seseorang berwudhu namun bukan untuk sholat, melainkan sekedar ingin menjaga kesucian, dalam arti menjaga kondisi agar dirinya tidak berhadats kecil akibat kentut, atau menyentuh wanita, dsb.
Syarat wudhu itu disebut syarat syar’i, yang berarti wajib ada dalilnya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur`an untuk wudhu adalah firman Allah SWT :
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِذَا قُمۡتُمۡ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغۡسِلُوۡا وُجُوۡهَكُمۡ وَاَيۡدِيَكُمۡ اِلَى الۡمَرَافِقِ وَامۡسَحُوۡا بِرُءُوۡسِكُمۡ وَاَرۡجُلَكُمۡ اِلَى الۡـكَعۡبَيۡنِ ؕ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki.” (QS Al-Ma`idah : 6).
Dalil As-Sunnah untuk wudhu misalkan hadits Nabi SAW :
عَنْ حُمْرَانَ أَنَّ عُثْمَانَ – رضي الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ, فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ مَضْمَضَ, وَاسْتَنْشَقَ, وَاسْتَنْثَرَ, ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ, ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اَلْيُمْنَى إِلَى اَلْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, ثُمَّ اَلْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ, ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Dari Humran RA, bahwa ‘Utsman RA pernah meminta untuk diambilkan air wudhu. Lalu ‘Utsman RA mencuci kedua telapak tangannya, lalu berkumur-kumur, lalu memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya kembali, lalu membasuh wajahnya tiga kali, mencuci tangan kanan hingga siku tiga kali, dan demikian juga tangan kiri, kemudian mengusap kepala, kemudian mencuci kaki kanan hingga mata kaki sebanyak tiga kali, dan demikian juga kaki kiri, lantas ‘Utsman RA berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW berwudhu seperti wudhu yang telah saya lakukan ini.” (Muttafaqun ‘alaih) (HR. Bukhari, no. 159 dan Muslim, no. 226).
Inilah syarat pertama, yang disebut syarat syar’i. Syarat ini mewajibkan adanya dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Kedua, syarat ja’li, atau disebut juga syarat ta’liqi, yaitu syarat yang ditetapkan sendiri oleh seorang mukallaf, dalam berbagai akad (misalnya akad nikah) atau tasharruf (perbuatan hukum non akad) seperti menjatuhkan talak yang dilakukan suami, yang tidak diwajibkan ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Namun disyaratkan, bahwa syarat ja’li ini tidak boleh bertentangan dengan hukum syara’. Jika bertentangan dengan hukum syara’, maka syarat ja’li ini otomatis batal demi hukum Islam.
Contoh syarat ja’li, misalnya seorang pemilik modal (shahibul mal) berkata kepada pengelola modal (mudharib),”Saya serahkan modal saya kepada Anda, untuk kegiatan perdagangan umum, dengan syarat tidak boleh untuk berjualan binatang ternak, seperti kambing, dan lain-lain.” Atau misalnya, suami berkata kepada istrinya,”Jika kamu pergi dari rumah tanpa izin aku, maka jatuh talak satu dari saya kepada kamu.”
Syarat seperti contoh di atas disebut syarat ja’li, yaitu syarat yang dibuat sendiri oleh para mukallaf atau para pihak dalam berbagai muamalah yang ada, apakah akad jual-beli, akad sewa menyewa, akad nikah, ikrar talak oleh suami kepada istri, dsb.
Syarat ja’li ini dibolehkan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil syar’i berikut ini, antara lain :
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Dan kaum muslimin terikat (harus memenuhi) syarat-syarat yang telah mereka sepakati di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal, atau syarat yang menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR. Al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Dari Ibnu ‘Abbas RA dia meriwayatkan :
كَانَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِذَا دَفَعَ مَالًا مُضَارَبَةً اشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لَا يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا ، وَلَا يَنْزِلُ بِهِ وَادِيًا، وَلَا يَشْتَرِي بِهِ ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ ، فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ، فَرَفَعَ شَرْطَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَأَجَازَهُ.رواه الطبراني والبيهقي
“Dulu Al-‘Abbas bin Abdil Muththalib jika menyerahkan modal mudharabah, dia mensyaratkan kepada pengelola modal itu untuk tidak membawa modal itu melewati laut, tidak membawa modal itu menuruni lembah, dan tidak digunakan untuk membeli makhluk hidup. Jika dia melakukannya, maka dia bertanggung jawab (jika rugi, dsb). Maka Al-‘Abbas bin Abdil Muththalib kemudian menyampaikan syarat-syarat ini kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW membolehkan syarat-syarat tersebut.” (HR. Al-Thabrani dan Al-Baihaqi).
Inilah syarat kedua, yaitu syarat ja’li, yang dibolehkan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil syar’i tersebut, namun pembuatan syarat ja’li oleh seorang muslim ini ada syaratnya, yaitu syarat ja’li tidak boleh bertentangan dengan Syariah Islam. Dalilnya sabda Rasulullah SAW:
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ بَاطِلٌ وَاِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ ،رواه البخاري ومسلم عن عائشة
“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitab Allah, maka dia adalah batil meskipun ada seratus syarat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah RA).
Nah, inilah syarat kedua dalam Islam, yaitu syarat ja’li, yaitu syarat yang boleh hukumnya dibuat sendiri oleh para mukallaf atau para pihak, namun dengan syarat, tidak boleh bertentangan dengan Syariah Islam.
Perbedaan syarat syar’i dan syarat ja’li setidaknya terdapat pada dua segi sbb;
Pertama, perbedaan dari segi wajib ada dalilnya atau tidak. Syarat syar’i wajib ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sedangkan syarat ja’li, tidak wajib ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Yang penting syarat ja’li itu tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Kedua, perbedaan dari segi pemberlakuannya apakah berlaku secara umum atau secara khusus. Syarat syar’i itu berlaku secara umum, seperti wudhu sebagai syarat sahnya sholat, yang berlaku secara umum untuk muslim siapa pun yang hendak sholat. Sedangkan syarat ja’li, tidak berlaku secara umum, tapi berlaku secara individual, di mana satu individu dapat berbeda dengan individu lain dalam penetapan dan pengamalan suatu syarat ja’li. Boleh jadi satu individu menetapkan syarat ja’li tertentu, namun boleh jadi individu lain tidak menetapkan syarat yang sama sebagai syarat ja’li baginya, atau individu lain itu menetapkan syarat lain sebagai syarat ja’li bagi dirinya.
Contohnya, syarat ja’li oleh seorang suami pada istrinya, ”Jika kamu pergi dari rumah tanpa izin aku, maka jatuh talak satu dari saya kepada kamu.” Sementara boleh jadi ada seorang suami yang lain, menetapkan syarat ja’li yang berbeda, misalnya,”Jika kamu ke luar rumah tidak berbusana muslimah, maka jatuh talak satu dari saya kepada kamu.” Demikianlah, jadi yang namanya syarat ja’li itu sifatnya sangat personal atau individual, terserah masing-masing, tidak dapat diterapkan atau diberlakukan secara general/umum yang berlaku untuk semua orang.
Nah, sekarang kita akan mencoba menjawab pertanyaan di atas, ketika suami itu disyaratkan atau diwajibkan mendapat persetujuan istri untuk berpoligami, menurut perundang-undangan Indonesia, apakah ini dapat dibenarkan dalam Syariah Islam?
Jawab : tidak dapat dibenarkan dalam Islam, karena syarat-syarat tersebut dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, telah diterapkan secara umum untuk semua orang, tidak diserahkan kepada pilihan masing-masing antara seorang laki dan seorang perempuan yang akan atau telah menikah.
Dengan kata lain, syarat-syarat poligami tersebut telah diposisikan sebagai syarat syar’i yang berlaku secara umum, tidak diposisikan sebagai syarat ja’li yang diserahkan kepada pilihan individual masing-masing suami atau istri.
Ketika diposisikan sebagai syarat syar’i yang cirinya berlaku secara umum, maka konsekuensinya adalah, syarat-syarat berpoligami itu semestinya, wajib ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi suami yang hendak berpoligami itu, dalam perundang-undangan Indonesia, ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah? Mari kita uji satu persatu.
Syarat-syarat poligami di Indonesia, berdasarkan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama, adalah :
Pertama, poligami mensyaratkan izin Pengadilan Agama dengan alasan kuat (istri tidak dapat menjalankan kewajiban/cacat/mandul).
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa suami yang hendak berpoligami, diwajibkan secara syariah mendapat izin dari pengadilan agama? Tidak ada dalilnya bukan?
Apakah ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa suami yang hendak berpoligami, istrinya disyaratkan wajib dalam kondisi tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri? Tidak ada dalilnya bukan?
Apakah ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa suami yang hendak berpoligami, istrinya disyaratkan wajib dalam kondisi yang cacat, misalnya istrinya harus dalam kondisi gila atau lumpuh atau hanya bisa berbaring lemah tanpa daya? Tidak ada dalilnya bukan?
Apakah ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa suami yang hendak berpoligami, istrinya disyaratkan wajib dalam kondisi mandul atau tidak dapat melahirkan anak? Tidak ada dalilnya bukan?
Kedua, poligami mensyaratkan persetujuan istri (kecuali kondisi tertentu), kemudian suami harus mampu menafkahi adil, serta adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap semua istri dan anak-anaknya.
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa suami yang hendak berpoligami, diwajibkan secara syariah mendapat persetujuan istri? Tidak ada dalilnya bukan?
Adapun bahwa suami harus mampu menafkahi secara adil, serta adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap semua istri dan anak-anaknya, memang ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, sehingga kami tidak menggugat syarat-syarat ini.
Jadi, syarat-syarat yang wajib dipenuhi suami yang hendak berpoligami, dalam perundang-undangan di Indonesia, sesungguhnya adalah syarat-syarat yang seharusnya mendapat justifikasi berupa dalil-dalil syar’i dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang mendasari syarat-syarat itu. Faktanya, syarat-syarat tersebut, tidak ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Maka dari itu, persyaratan bahwa suami harus mendapat persetujuan istri ketika hendak berpoligami, jelas tidak dapat dibenarkan dalam agama Islam, karena tidak ada dalilnya dari Al-Qur`an atau As-Sunnah. Maka persyaratan seperti itu adalah persyaratan yang batil yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi kaum Muslimin di Indonesia. Terhadap syarat-syarat yang tidak ada dalilnya itu, diberlakukan sabda Rasulullah SAW :
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ بَاطِلٌ وَاِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ ،رواه البخاري ومسلم عن عائشة
“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitab Allah, maka dia adalah batil meskipun ada seratus syarat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah RA). Wallāhu a’lam.
Bogor, 8 Desember 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi


















