
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Assalamualaikum wrwb. Semoga Pak Kiyai senantiasa sehat selalu dalam keberkahan. Pak Yai, Mohon izin bertanya, meneruskan pertanyaan saudara. Saya kutipkan WA beliau : Assalamualaikum ustad. Mau tanya, saya pasien cuci darah dengan metode CAPD. Adapun CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah suatu jenis perawatan dialisis yang digunakan untuk mengobati gagal ginjal. Pada metode ini, cairan dialisis dimasukkan ke dalam rongga peritoneum (selaput di dalam perut) melalui kateter. Cairan ini kemudian menyerap limbah dan cairan berlebih dari darah sebelum dikeluarkan dari tubuh. Proses ini dilakukan secara terus-menerus dan tidak memerlukan mesin khusus, sehingga pasien dapat menjalani perawatan ini di rumah. CAPD umumnya dilakukan beberapa kali dalam sehari sesuai dengan instruksi dokter. Yang mau saya tanyakan, apakah sah jika saya puasa? Saya cuci darah 4x dalam 24 jam, karena dalam obat atau cairan untuk cuci darah ada kandungan glukosa/gula. Terima kasih, Ustadz. (Roni Ruslan, Purwakarta).
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam wr.wb.
Ada dua metode cuci darah (Arab : al-ghasīl al-kulāwī), yaitu :
Pertama, metode hemodialisa. Metode ini dilakukan menggunakan mesin khusus untuk menyaring darah dan untuk menggantikan ginjal yang rusak.
Kedua, metode CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis), atau Dialisis Peritonial. Metode cuci darah ini dilakukan menggunakan peritoneum atau selaput dalam rongga perut sebagai penyaring darah.
Hukum Syara’ Untuk Cuci Darah
Ada rincian (tafshīl) hukum syara’ terkait batal tidaknya puasanya bagi orang yang menjalani prosedur cuci darah sebagai berikut :
Pertama, jika dalam proses cuci darah ini, baik dengan metode hemodialisa maupun CAPD, ada penambahan zat nutrisi (seperti glukosa), pada darah bersih yang dimasukkan kembali ke dalam tubuh, maka batal puasanya orang yang cuci darah. Penambahan zat nutrisi seperti glukosa pada darah bersih yang dimasukkan kembali ke dalam tubuh, disamakan hukumnya dengan makan dan minum. Padahal makan dan minum adalah salah satu pembatal dari pembatal-pembatal puasa.
Dalil bahwa makan dan minum merupakan pembatal puasa, karena Allah SWT pada malam hari di bulan Ramadhan, telah membolehkan makan dan minum, hingga tiba waktu fajar (waktu Shubub). Berarti setelah waktu fajar tiba, Allah SWT melarang kita makan dan minum. Firman Allah SWT :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنْ الْفَجْرِ
“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu hingga terbit fajar.” (QS. Al-Baqarah : 187).
Dalil lainnya yang melarang makan dan minum saat puasa, sabda Rasulullah SAW dalam sebuah Hadits Qudsi :
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي. رواه البخاري (1894) ومسلم (1151)
“(Allah berfirman) hambaku telah meninggalkan makanannya , minumannya, dan syahwatnya karena Aku (Allah).” (HR. Al-Bukhari, no. 1894; Muslim, no. 1151).
Kedua, jika dalam proses cuci darah ini, baik dengan metode hemodialisa maupun CAPD, tidak ada penambahan zat nutrisi (seperti glukosa) pada darah bersih yang dimasukkan kembali ke dalam tubuh, maka tidak batal puasanya orang yang cuci darah. Hal ini karena tidak terdapat dalil syar’i yang secara khusus menjelaskan bahwa proses pembersihan darah (tanqiyyat al-dam) dari racun seperti proses cuci darah ini telah membatalkan puasa. (Al-Jam’iyyah Al-‘Ilmiyyah Al-Su’ūdiyyah li Al-Dirāsāt Al-Thibbiyyah Al-Fiqhiyyah, Al-Fiqh Al-Thibbi, hlm. 113).
Demikian penjelasan singkat kami, semoga bermanfaat. Bagi yang ingin mendalami masalah cuci darah dalam fiqih Islam ini secara lebih lanjut, atau ingin mendalami Fiqih Kedokteran (Al-Fiqh Al-Thibbī) secara umum, silakan merujuk referensi-referensi Fiqih Kedokteran berbahasa Arab berikut ini :
Al-Jam’iyyah Al-‘Ilmiyyah Al-Su’ūdiyyah li Al-Dirāsāt Al-Thibbiyyah Al-Fiqhiyyah, Al-Fiqh Al-Thibbī, Riyādh : Wizārat Al-Ta’līm Al-‘Āli Jāmi’at Al-Imām Muhammad Ibnu Sa’ūd Al-Islāmiyyah, Cetakan I, 1431 H / 2010 M.
Majmū’at min Al-Mutakhashshishīna fī Al-‘Ulūm Al-Syar’iyyah, Al-Fiqh Al-Thibbī, t.tp : t.th.
Ahmad Muhammad Kan’ān, Al-Mausū’ah Al-Thibbiyyah Al-Fiqhiyyah, Beirut : Dār Al-Nafā`is, Cetakan I, 1420 H/2000 M.
Wallāhu a’lam.
Bandung, 6 Maret 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi