Home Afkar SEKULARISME ITU NEO-JAHILIAH

SEKULARISME ITU NEO-JAHILIAH

228

 

Oleh: KH Muhammad Shiddiq al-Jawi

Makna Jahiliah

Kata “jāhiliah” pada asalnya berkaitan dengan kondisi (al-hāl) orang-orang Arab sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Jahiliah juga bermakna kurun waktu (al-fatrah) antara wafatnya Nabi Isa AS dan masa Nabi Muhammad SAW diutus. Inilah makna bahasa dari kata jāhiliah, sebagaimana disebutkan dalam kamus-kamus Bahasa Arab, seperti kitab Mu’jam Lughat al-Fuqahā`. (Prof. Rawwās Qal’ah Jiy, Mu’jam Lughat al-Fuqahā`, Beyrūt : Dār Al-Nafā`is, Cet. I, 1416/1996, hlm. 137).

Makna bahasa jahiliah ini kemudian dipindahkan ke makna syar’i yang lebih umum, yang tidak terbatas lagi dengan dimensi waktu tertentu, yakni sebelum Nabi SAW diutus, namun dapat terjadi kapan saja, baik sebelum maupun sesudah Nabi SAW diutus, termasuk masa sekarang ini.

Jahiliah dalam makna syar’i ini adalah segala konsep (mafāhīm, taṣawwurāt), kondisi (awḍā’), nilai (qiyam) serta segala perilaku (sulūk) yang bersumber dari selain Islam.

Makna umum jahiliah seperti ini telah dijelaskan oleh beberapa ulama. Misalnya Syaikh Muhammad Quthb dalam kitab Jāhiliyyah Qarni al-‘Ishrīn (Jahiliyyah Abad Ke-20) yang terbit tahun 1992, juga Syaikh Ali bin Nāyif al-Shahūd dalam kitabnya Al-Qur’ān alKarīm fī Muwājahāt al-Jāhiliyyah (Al-Quran al-Karim Menghadapi Kejahiliahan) yang terbit tahun 2010. Makna umum jahiliah inilah yang terdapat dalam al-Quran, misalnya dalam QS al-Mā`idah [5]: 50 :

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS al-Mā`idah [5]: 50).

Hukum jahiliah di sini maknanya adalah setiap hukum yang tidak bersumber dari Islam, baik yang ada sebelum diutusnya Nabi SAW maupun sesudah diutusnya Nabi SAW, termasuk hukum yang ada pada masa sekarang.

Cakupan Jahiliyah

Jahiliah dalam makna syar’i yang sudah dijelaskan sebelumnya, bermakna umum sehingga mencakup segala konsep, kondisi, nilai serta segala perilaku yang bersumber dari selain Islam. Ringkasnya, jahiliah berarti kondisi social tertentu dalam segala aspeknya dengan pandangan hidup (world view) tertentu yang bersumber dari selain Islam. Kata kuncinya adalah “min ghayr al-Islam” (berasal dari luar Islam). Jadi, apa saja yang bukan berasal dari Islam berarti jahiliah, tidak melihat lagi apakah terjadi sebelum diutusnya Nabi SAW atau sesudah diutusnya Nabi SAW.

Contoh jahiliyah yang pernah terjadi pada zaman sebelum diutusnya Nabi SAW, misalnya penegakan hukum yang bersifat diskriminatif (tebang pilih), sebagaimana disebutkan dalam QS al-Maidah ayat 50. Hukum jahiliah pada saat ayat ini turun bermakna hukum yang diskriminatif atau tebang pilih, yakni terdapat hukum yang berbeda untuk orang terhormat dan untuk orang biasa. Ini seperti yang diberlakukan oleh orang Yahudi dulu pada zaman Nabi SAW. Mereka menjatuhkan hukuman hudūd (pidana) kepada orang miskin, tetapi tidak menjatuhkan hukuman hudūd yang sama kepada orang kaya. Lalu turunlah QS al-Mā`idah ayat 50 yang mengingkari hukum diskriminatif tersebut. Ini diterangkan dalam At-Tafsīr al-Munīr karya Syaikh Wahbah al-Zuhayli.

Contoh lain adalah tabarruj ‘ala jahiliyyah, sebagaimana dalam QS al-Ahzab ayat 33, yaitu menampakkan anggota tubuh tempat perhiasan dan keindahan tubuh wanita di hadapan laki-laki non-mahram. Misalnya perempuan memakai kerudung (khimar), tetapi tidak rapih mengikatnya hingga menampakkan lehernya. Ini juga dijelaskan dalam At-Tafsīr al-Munīr karya Syaikh Wahbah al-Zuhayli.

Ini adalah contoh jahiliah untuk konteks waktu sebelum diutusnya Nabi SAW. Namun jahiliah tidak hanya terdapat pada masa pra Islam saja, tetapi juga bisa terjadi pasca Islam, yakni setelah Nabi SAW diutus hingga Hari Kiamat nanti. Pada prinsipnya, segala sesuatu yang tidak bersumber dari Islam adalah jahiliah. Jahiliah yang terjadi pada masa sekarang dapat disebut dengan neo-jahiliah.

Contoh neo-jahiliah adalah segala hukum yang tidak bersumber dari wahyu atau tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Hukum itu bisa jadi merupakan hukum warisan penjajah yang kafir, seperti Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Wetboek van Koophandel voor Indonesie atau KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), dan sebagainya.

Bisa jadi hukum jahiliah kekinian itu bentuknya adalah produk hukum atau regulasi masa kini dalam segala levelnya yang dihasilkan oleh Lembaga legislative, eksekutif maupun yudikatif dalam sistem demokrasi saat ini. Misalnya UU No. 10 Tahun 1998 atau UU Perbankan Nasional yang menghalalkan riba yang disebut bunga. Padahal bunga termasuk riba yang hukumnya haram dan dosa besar. Contoh lain Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi  yang membolehkan tambang minyak dan gas dikuasai oleh oleh swasta baik swasta nasional maupun swasta asing. Padahal seharusnya tambang minyak dan gas dengan kapasitas produksi besar wajib dikelola oleh negara.

Contoh lain UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mengharuskan modal asing dan modal nasional diperlakukan sama. Ini jelas akan menimbulkan dominasi asing di negeri ini. Contoh lain Perpres No. 36 Tahun 2010, yang menetapkan hampir seluruh sektor ekonomi seperti pertanian, pertambangan, migas, keuangan dan perbankan boleh dikuasai oleh modal asing secara mayoritas bahkan hingga 95 persen. Inilah hukum neo-jahiliah yang mengakibatkan dominasi asing (kafir) di Indonesia. Contoh mutakhir adalah Perppu No. 2 Tahun 2017, yang ternyata dimaksudkan untuk membubarkan ormas Islam yang melaksanakan kegiatan dakwah demi tegaknya Syariah secara kaffah. Perppu ormas ini jelas merupakan hukum jahiliah karena berusaha menghalang-halangi dakwah Islam dan mengkriminalkan ajaran Islam (Syariah secara kaffah).

Bahaya Neo-Jahiliah Bagi Umat Islam

Bahaya neo-jahiliah banyak sekali, tetapi secara prinsip ada dua bahaya;

Pertama, bahaya dari segi pemahaman atau konsep hidup.

Kedua, bahaya dari segi perilaku.

Bahaya pertama, yakni dari segi pemahaman, dapat mengakibatkan Muslim salah-paham (mis-perseption) atau menjadi sesat (ḍalal) dalam memandang kehidupan. Sebagai contoh neo-jahiliah adalah paham sekulerisme. Paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan politik ini akan membuat seorang muslim tersesat memahami relasi agama dan negara. Dia akan meyakini bahwa agama tidak boleh campur tangan mengatur negara dan masyarakat. Ujung-ujungnya dia akan menolak mentah-mentah konsep Negara Islam (Khilafah). Padahal konsep sekulerisme ini lahir dari sejarah politik Barat, bukan lahir dari sejarah Islam.

Dalam sejarah Islam, Nabi SAW bukan hanya bertugas sebagai rasul penyampai wahyu, tetapi juga sebagai pemimpin umat (ulil amri). Nabi SAW sekaligus pendiri Negara Islam (Al-Dawlah al-Islamiyyah) pertama di Madinah tahun 622 M, yang menerapkan hukum agama (Syariah) dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Bahaya kedua, adalah bahaya perilaku, yaitu umat Islam akan dapat terjerumus ke dalam berbagai kemaksiatan dan dosa, baik melakukan keharaman maupun meninggalkan kewajiban. Adanya hukum jahiliah yang membolehkan riba, misalnya, terbukti telah menjerumuskan berjuta-juta umat Islam ke dalam dosa besar riba. Na’ūẓu bilLāh min dzālik.

Mengapa Umat Islam Masih “Menerima” Neo-Jahiliah?

Sebabnya secara garis besar ada dua juga;

Pertama, Umat Islam tidak mempunyai pemahaman yang shahih dan komprehensif terhadap ajaran Islam. Ini menyangkut apa yang saya sebut mafaahim. Pemahaman umat saat ini telah terkontaminasi dengan ideologi atau paham asing dari luar Islam seperti sekulerisme, demokrasi, kapitalisme, sosialisme, nasionalisme, pluralisme, dan sebagainya. Akibatnya, umat Islam kehilangan deteksi dini dan sikap waspada terhadap paham-paham yang sebenarnya bertentangan dengan Islam.

Kedua. Umat Islam terpengaruh oleh lingkungan masyarakat yang tidak mengamalkan ajaran Islam dengan benar. Ini menyangkut perilaku (sulūk). Akibatnya, seorang Muslim mudah terjerumus ke dalam kemaksiatan, misalnya riba, karena terpengaruh dan ikut-ikutan dengan mereka yang terlibat riba.

Upaya Membendung Neo-Jahiliah

Ada dua upaya strategis yang dapat dilakukan untuk membendung neo-jahiliah;

Pertama. Umat Islam harus mempunyai pemahaman yang sahih dan komprehensif tentang Islam itu sendiri. Dengan begitu mereka dapat menghindarkan diri dari kesesatan akibat ideologi atau paham asing yang datang dari luar Islam.

Kedua. Umat Islam harus mengamalkan ajaran Islam secara benar dalam hidup mereka. Dengan begitu mereka tidak terpengaruh oleh lingkungan yang rusak.

Kedua upaya inilah yang disebut oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Al-Dawlah al-Islāmiyyah sebagai kunci kebangkitan umat, yaitu umat Islam wajib mempunyai al-fahm al-ṣahīh li al-islām (pemahaman Islam yang sahih) dan al-‘amal al-ṣahīh li al-islām, yaitu pengamalan ajaran Islam yang juga sahih. Wallāhu a’lam.

= = =

Catatan : Tulisan ini adalah modifikasi oleh Penulis dari teks wawancara yang bersumber dari : https://www.facebook.com/MuslimahNewsID/photos/852195498291600