Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz, bolehkah kita bersujud syukur atas musibah yang menimpa kita? (Hamba Allah)
Jawab :
Pada dasarnya sujud syukur itu disunnahkan ketika seseorang mendapatkan nikmat atau ketika terhindar dari _niqmah_ (musibah). Mendapatkan nikmat, misalnya lulus ujian sarjana, mempunyai anak, mempunyai rumah baru, dan sebagainya. Terhindar dari _niqmah_ (musibah) misalnya terhindar dari kecelakaan maut, sembuh dari sakit yang berat, lepas dari utang dan riba yang mencekik, dan sebagainya.
Namun demikian, boleh hukumnya sujud syukur dilakukan ketika seseorang mendapat musibah atau cobaan _(ibtilaa`),_ karena beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama, sujud syukur atas musibah itu menunjukkan sikap bersyukur dan ridha terhadap qadha` Allah atas musibah yang terjadi. Padahal sikap ridha atas musibah secara syariah hukumnya adalah sunnah (mustahab), sebagaimana pendapat Imam Ibnu Taimiyah :
الرضا بالمصائب كالفقر والمرض والذل مستحب في أحد قولي العلماء وليس بواجب ، وقد قيل : إنه واجب ، والصحيح أن الواجب هو الصبر
“Ridha terhadap musibah seperti kemiskinan, sakit, atau kehinaan, adalah sunnah (mustahab) menurut salah satu dari dua pendapat ulama, bukan wajib. Ada yang mengatakan bahwa ridha atas musibah itu hukumnya wajib. Pendapat yang benar, yang wajib itu adalah bersabar (atas musibah).“ (Ibnu Taimiyyah, _Majmu’ al Fatawa,_ Juz X, hlm. 682).
Jika ridha atas musibah itu hukumnya sunnah (mustahab), maka bersyukur atas musibah hukumnya juga sunnah (mustahab), bahkan lebih tinggi level (maqaam-nya) daripada ridha atas musibah. Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin :
والشكر على المصيبة مستحب لأنه فوق الرضا لأن الشكر رضا وزيادة
“Bersyukur atas musibah itu sunnah (mustahab), karena dia mempunyai kedudukan di atas sikap ridha atas musibah, karena sikap bersyukur itu menunjukkan keridhaan (atas musibah) dan masih ada tambahannya.” (Syeikh Ibnu ‘Utsaimin, _Syarhul Mumti’,_ Juz V hlm. 395-396).
Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengatakan bahwa terdapat empat _maqam_ (kedudukan) bagi muslim yang ditimpa musibah, yaitu;
(1) maqamul ‘ajzi (maqam kelemahan), yaitu maqam untuk muslim yang hanya berkeluh kesah ketika mendapat musibah;
(2) maqamush shabri (maqam kesabaran), yaitu maqam untuk muslim yang bersabar ketika mendapat musibah;
(3) maqamur ridha (maqam keridhoan), yaitu maqam untuk muslim yang merasa ridho terhadap qadha` Allah atas musibah yang menimpanya;
(4) maqamusy syukri (maqam syukur), yaitu maqam untuk muslim yang bersyukur atas musibah yang terjadi. Ibnul Qayyim menjelaskan :
مقام الشكر، وهو أعلى من مقام الرضى ، فانه يشهد البلية نعمة ، فيشكر المبتلي عليها.
“Maqam al syukur, adalah maqam (kedudukan) yang lebih tinggi daripada maqam sabar, karena orang yang ditimpa musibah mempersaksikan musibah sebagai kenikmatan, lalu dia bersyukur atas kenikmatan itu.” (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, _’Uddat Al Shabirin wa Dzakhirah Al Syakirin,_ hlm. 120).
Sufyan Ats Tsauri (w. 161 H) pernah berkata :
لَيْسَ بِفَقِيهٍ مَنْ لَمْ يَعُدَّ الْبَلاءَ نِعْمَةً، وَالرَّخَاءَ مُصِيبَةً
“Bukanlah orang yang faqiih, siapa saja yang tidak menganggap musibah sebagai nikmat dan siapa saja yang tidak menganggap kelapangan sebagai musibah.” (Ibnu Abi Dunya, _Al Syukr,_ hlm. 30).
Kedua, sujud syukur atas musibah itu dilakukan karena di balik musibah atau cobaan yang terjadi itu terdapat hikmah yang luar biasa, yaitu dihapuskannya dosa-dosa dari orang yang ditimpa musibah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
ما يصيب المسلم من نصب ولا وصب، ولا هم ولا حزن، ولا أذى ولا غم، حتى الشوكة يشاكها إلا كفر الله بها من خطاياه رواه مسلم
“Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu kepayahan, kelelahan, keresahan, kesedihan, gangguan, atau kesulitan, bahkan duri yang mengenainya, kecuali dengan musibah itu Allah akan menghapuskan dosa-dosanya.” (HR Muslim, no 2572).
Ketiga, sujud syukur atas musibah itu dilakukan karena menjadi pertanda bahwa Allah mencintai orang-orang yang mendapat musibah atau cobaan. Sabda Rasulullah SAW :
إذا أحب الله قوما ابتلاهم فمن رضي فله الرضى ، ومن سخط فله السخط
“Jika Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan cobaan bagi mereka. Maka barangsiapa yang ridha (terhadap cobaan itu) maka baginya keridhoan (dari Allah) dan barangsiapa yang marah (atas cobaan itu) maka baginya kemarahan (dari Allah).” (HR Tirmidzi, no 2396).
Keempat, sujud syukur atas musibah itu dilakukan karena di balik musibah yanag terjadi, khususnya musibah berupa kezaliman yang dilakukan pihak lain, akan menghasilkan nikmat yang besar di Hari Kiamat kelak, yaitu korban kezaliman akan mendapat transferan pahala yang melimpah ruah dari pelaku kezaliman, atau dosa-dosa korban kezaliman akan ditransfer kepada pihak pelaku kezaliman jika pahala pelaku kezaliman sudah habis. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW :
قال النبيُّ صل الله عليه وسلم لأصحابه: أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. قَالَ: لَيْسَ ذَلِكَ الْمُفْلِسُ، وَلَكِنَّ الْمُفْلِسَ مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالَ الْجِبَالِ، وَيَأْتِي وَقَدْ ظَلَمَ هَذَا، وَلَطَمَ هَذَا، وَأَخَذَ مِنْ عِرْضِ هَذَا، فَيَأْخُذُ هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ بَقِيَ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَخَذَ مِنْ سَيِّئَاتِهِمْ فَرُدَّ عَلَيْهِ ثُمَّ صُكَّ لَهُ صَكٌّ إِلَى النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda kepada para shahabatnya,”Tahukah kamu siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab,”Wahai Rasulullah, orang yang bangkrut di tengah-tengah kami adalah siapa saja yang tidak lagi mempunyai dirham dan harta benda.” Rasulullah SAW bersabda,”Yang demikiran itu bukanlah orang yang bangkrut (yang sebenarnya), tetapi orang yang bangkrut (yang sebenarnya) adalah orang yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa pahala-pahala kebaikan sebesar gunung-gunung. Dia datang dalam keadaan demikian, padahal (dulu di dunia) dia telah berbuat kezaliman kepada di Fulan, telah memukul di Fulan, telah menjatuhkan kehormatannya si Fulan. Maka kemudian akan diambil untuk si Fulan ini pahala-pahala kebaikan dari pelaku kezaliman, dan untuk si Fulan itu akan diambil pula pahala kebaikan-kebaikannya yang lain. Dan jika ada suatu (urusan yang belum selesai), maka akan diambil dosa-dosa dari korban kezaliman lalu dipindahkan kepada pelaku kezaliman, kemudian pelaku kezaliman itu dimasukkan ke dalam neraka.” (HR Muslim no 2581, Tirmidzi no 3418).
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka sujud syukur atas terjadinya musibah adalah boleh dan tidak mengapa, termasuk musibah berupa kezaliman yang ditimpakan pihak lain kepada kita. Bahkan sujud syukur itu menunjukkan _maqam syukur bil qadha`_ (kedudukan bersyukur atas qadha` Allah) yang lebih tinggi levelnya daripada kedudukan bersabar dan ridha atas musibah, _insyaAllah walhamdulillah._
_Wallahu a’lam._
Jakarta, 8 Mei 2018
Muhammad Shiddiq Al Jawi