Tanya :
Ustadz, di Piala Dunia, pemain muslim saat berhasil cetak gol, biasanya merayakan dengan posisi sujud. Apakah praktek seperti ini termasuk sujud syukur dalam perspektif fikih? (Ahmad Sastra, Bogor).
Jawab :
Fakta yang dapat kita lihat, pada saat pemain sepak bola melakukan sujud syukur, mereka tidak memenuhi satu atau lebih dari syarat-syarat sholat, yaitu : (1) dalam keadaan suci (ṭāhir), yaitu suci dari hadats atau najis; (2) menutup aurat (satru al-‘awrat), dan (3) menghadap kiblat (istiqbāl al-qiblat).
Sebagai contoh, saat kesebelasan Maroko mengalahkan Portugal (10/12/2022) dengan skor 1-0, seusai pertandingan para pemain kesebelasan Maroko melakukan sujud syukur dengan memakai celana pendek, yaitu tidak menutup aurat bagi laki-laki yang batasnya adalah antara pusar dan lutut. Kemungkinan mereka juga tidak suci (ṭāhir), yaitu suci dari hadats atau najis.
Terdapat perbedaan (ikhtilāf) di kalangan ulama mengenai sujud syukur, apakah wajib atau tidak memenuhi syarat-syarat sholat tersebut. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Kuwait : Wizārat Al-Awqāf wa Al-Shu’ūn Al-Islāmiyyah, Juz ke-24, hlm. 248-249).
Dalam masalah ini ada dua pendapat ulama ;
Pertama, jumhur ulama, misalnya ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanbali, secara jelas mewajibkan syarat-syarat shalat untuk sujud syukur. Alasan mereka, sujud syukur itu adalah sholat, maka disyaratkan untuk sujud syukur apa-apa yang disyaratkan untuk sholat.
Imam Nawawi, ulama mazhab Syafi’i, menyatakan :
قَالَ أَصْحَابُنَا وَفِى مَعْنَى الصَّلَاةِ سُجُودُ التِّلَاوَةِ وَالشُّكْرِ فَيَحْرُمَانِ عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ كَمَا تَحْرُمُ صَلَاةُ الْجِنَازَةِ لِأَنَّ الطَّهَارَةَ شَرْطٌ .
”Para sahabat kami mengatakan bahwa termasuk dalam makna shalat, adalah sujud tilawah dan sujud syukur, maka diharamkan sujud-sujud tersebut bagi wanita haid dan nifas, sebagaimana mereka diharamkan melakukan shalat jenazah, karena kesucian (ṭahārah) adalah syaratnya.” (Imam Nawawy, Al-Majmū’ Sharah Al-Muhadhdhab, Jeddah : Maktabah Al-Irshād, Juz II, hlm. 384).
Imam Ibnu Qudamah, ulama mazhab Hanbali, menyatakan :
وَلَا يَسْجُدُ إلَّا وَهُوَ طَاهِرٌ ، وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّهُ يُشْتَرَطُ لِلسُّجُود مَا يُشْتَرَطُ لِلنَّافِلَة مِنْ الطَّهَارَتَيْنِ . . .
”Tidak boleh seseorang bersujud [sujud tilawah/sujud syukur] kecuali dalam keadaan suci (ṭāhir), dan secara garis besar, disyaratkan untuk sujud [sujud tilawah/sujud syukur] apa-apa yang disyaratkan untuk sholat sunnah (nāfilah), yaitu suci dari hadats dan najis.”(Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughny, Juz I, hlm. 650).
Kedua, sebagian ulama tidak berpendapat demikian, mereka membolehkan sujud syukur walaupun dalam keadaan berhadats, atau tidak menutup aurat, atau tidak menghadap kiblat. Ulama yang berpendapat demikian antara lain Imam Ibnu Taimiyyah (Majmū’ Al-Fatāwā, 12/277), Imam Syaukani (Naylul Awthār, 3/127), Imam Shan’ani (Subulus Salām, 1/211), Syekh bin Bāz (Majmū’ Fatāwā Ibn Bāz, 11/412), dan Syekh Ibnu ‘Utsaimin (Majmū’ Fatāwā wa Rasā`il Ibn ‘Utsaimin, 11/215).
Alasan mereka, ringkasnya : (1) pensyaratan seperti syarat-syarat sholat tersebut tidak ada nash-nya, (2) sujud syukur itu bukanlah sholat, (3) tidak ada perintah Nabi SAW, dan (4) kalau sujud syukur harus memenuhi syarat-syarat sholat, akan kehilangan momentum maknanya. Maka tidak disyaratkan untuk sujud syukur apa-apa yang disyaratkan untuk sholat. (https://dorar.net/feqhia/1204).
Pendapat yang dinilai rājiḥ (lebih kuat) oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani, adalah pendapat jumhur ulama, yaitu untuk sujud syukur wajib memenuhi syarat-syarat sholat. Alasannya sujud syukur itu adalah sholat, karena istilah sujud dalam nash-nash hadits sering digunakan untuk menyebut perbuatan sholat, atau bagian dari perbuatan sholat seperti raka’at, atau sebaliknya, yaitu kata sholat kadang digunakan untuk sujud. Contohnya kata Ibnu ‘Umar RA :
صَلَّيْتُ مع النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وسَجْدَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ
”Saya pernah sholat bersama Nabi SAW dua sujud [raka’at] sebelum sholat zhuhur (sajdatayni qabla al-ẓuhur) dan dua sujud [raka’at] sesudah zhuhur (sajdatayni ba’da al-ẓuhur)…” (HR Bukhari, no. 1172; Muslim, no. 729).
Padahal telah terdapat sabda Nabi SAW bahwa :
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ
”Tidaklah diterima sholat kecuali dalam keadaan suci.” (lā tuqbalu ṣolātun bi-ghayri ṭahūrin). (HR. Muslim, no. 224). Maka dari itu, disyaratkan untuk sujud syukur syarat-syarat sebagaimana syarat-syarat sholat. (‘Aly Rāghib, Aḥkām al-Ṣolāt, Beyrūt : Dār al-Nahḍah Al-Islāmiyyah, Cet. I, 1991/1412, hlm. 118). Wallāhu a’lam.