Home Fiqih Fiqih Muamalah HUKUM MEMISAHKAN ANAK AYAM DAN INDUKNYA

HUKUM MEMISAHKAN ANAK AYAM DAN INDUKNYA

105

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

 

Tanya :

Assalamu’alaikum. Ustadz, afwan mengganggu, teman ana tanya hukum memisahkan anak ayam dari induknya, gimana ya? (Fahruddin, Lampung).

 

Jawab :

 

Wa ‘alaikumus salam wr wb

 

Terdapat perbedaan pendapat (khilâfiyah) di antara para ulama mengenai boleh atau tidaknya memisahkan induk hewan dengan anak-anaknya. Ada dua pendapat ulama; pendapat pertama, tidak membolehkan, berdasarkan hadits nabi SAW :

 

مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ وَالِدَةٍ وَوَلَدِهَا، فَرَّقَ اَللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ

 

“Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dari orang yang dicintainya pada Hari Kiamat.” (HR. Tirmidzi, no. 1566, dan Ahmad, no.23513. Hadits ini dinilai hasan oleh Syekh Nâshiruddîn Al-Albânî, Shahîh At-Tirmidzî, no. 1566).

 

Berdasarkan hadits ini, menurut pendapat mazhab Syafi’i, haram hukumnya menjual atau menghibahkan hewan induk (betina) secara terpisah dengan anaknya yang masih kecil, seperti menjual induk ayam secara terpisah dengan anak ayam. Jadi menurut pendapat pertama ini, hadits di atas diberlakukan secara umum, baik untuk jual beli budak (hamba sahaya) maupun untuk jual beli hewan. (Imam Syihâbuddin Al-Qalyûbî, Hâsyiyyah Al-Qalyûbî ‘Alâ Syarah Al-Mahallî, Juz II, hlm. 185; Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz IX, hlm. 207-208).

 

Pendapat kedua, boleh memisahkan induk hewan dengan anak-anaknya. Inilah pendapat ulama Mâlikiyyah dan pendapat sebagian ulama Syâfi’iyyah. Alasan pendapat kedua ini, hadits di atas hanya berlaku untuk manusia, khususnya dalam jual beli budak (hamba sahaya). Jadi, menurut pendapat kedua ini, hadits di atas tidak dapat diberlakukan secara umum sehingga mencakup hewan, namun hanya khusus untuk jual beli budak saja, bukan yang lain. (Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz IX, hlm. 207-208).

 

Pendapat yang lebih kuat (râjih), adalah pendapat kedua yang hanya memberlakukan larangan dalam hadits ini untuk jual beli budak saja, bukan yang lain. Alasannya karena hadits ini walaupun mengandung lafazh (kata) yang bermakna umum, yaitu kata wâlidah yang berarti ibu secara umum, baik ibu dari kalangan manusia maupun dari kalangan hewan, akan tetapi telah terdapat dalil-dalil takhshîsh yang mengkhususkan bahwa wâlidah (ibu) yang dimaksud hanyalah ibu dari kalangan manusia, yaitu budak, bukan ibu yang berupa induk hewan betina. Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan :

 

الأَصْلُ بَقاءُ العُمُوْمِ عَلَى عُمُوْمِهِ حَتَّى يَرِدَ اْلمُخَصِّصُ

 

“Yang menjadi asal [prinsip dasar] adalah tetapnya lafazh umum dalam keumumannya hingga terdapat dalil yang mengkhususkan [mukhashshish].”  (Walîd bin Râsyid bin As-Sa’îdân, Tahqîq Al-Ma`mûl fî Dhabthi Qâ’idat Al-Ushûl, hlm. 56).

 

Dalil takhshîsh tersebut antara lain hadits ‘Alî bin Abî Thâlib RA bahwa dia telah memisahkan antara budak perempuan (jâriyah) dengan anaknya, maka Nabi SAW melarang hal itu dan membatalkan jual belinya. (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dâwud, no. 2696; Ad-Dâraquthnî, Sunan Ad-Dâraquthnî, 3/66, no. 251, hadits hasan). (Imam Syaukani, Nailul Authâr, Ad-Damâm : Dâr Ibnul Jauzî, 1427, Juz X, hlm. 74).

 

Dengan demikian jelaslah, bahwa larangan untuk memisahkan ibu (wâlidah) dengan anaknya (waladihâ) dalam hadits di atas adalah khusus ibu dan anak dari golongan manusia [budak], bukan ibu dan anak dari golongan hewan ternak. Inilah pendapat yang kami râjihkan.

 

Terlah berkata Imam Abul Barakât Ad-Dardîr  (ulama mazhab Maliki) :

 

وَالرَّاجِحُ أَنَّ مَنْعَ التَّفْريقِ خَاصٌّ بِالْعاقِلِ حَتَّى يَسْتَغْنيَ عَنْ أُمِّهِ بِاَلْرَعْيِ. وَعَلَيْهِ فَلَوْ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا بِالْبَيْعِ لَمْ يَفْسَخْ ، فَلَيْسَ كَتَفْريقِ الْعَاقِلِ

 

“Pendapat yang râjih (lebih kuat), bahwa larangan untuk memisahkan [antara ibu dengan anaknya] adalah khusus untuk yang berakal [jual beli budak], asalkan anak hewan sudah dapat dipisah dari ibunya dengan adanya penggembalaan. Maka dari itu, kalau keduanya [ibu dan anak hewan] dipisah dengan jual beli, tidaklah terjadi fasakh [pembatalan akad]. Jadi ini tidak seperti jual beli yang berakal [budak].” (Abul Barakât Ad-Dardîr, Asy-Syarah Al-Kabîr, Juz III, hlm. 64)

 

Telah berkata Imam Ibnu Nâjî (ulama mazhab Maliki) dalam kitab Syarah Ar-Risâlah :

 

وَالتَّفْرِقَةُ جَائِزَةٌ فِي الْحَيَوَانِ الْبَهِيمِيِّ، عَلَى ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ

 

“Pemisahan boleh hukumnya untuk hewan ternak, menurut zhahirnya mazhab [Maliki].” (Al-Haththâb Ar-Ru’ainî, Mawâhibul Jalîl, Juz VI, hlm. 237)

 

Syekh Sulaimân al-Jamal (ulama mazhab Syafi’i) berkata :

 

فَيَجُوزُ لِلتَّفْرِيقِ بَيْنَ البَهيمَةِ وَوَلَدِها

 

“Maka boleh hukumnya memisahkan antara induk binatang ternak dengan anaknya.” (Syekh Sulâiman al-Jamal, Hâsyiyyah Al-Jamal ‘Alâ Syarah Al-Manhaj, Juz IV, hlm. 397).

 

Kesimpulannya, boleh hukumnya memisahkan anak ayam dari induknya, sehingga boleh misalnya seorang pedagang menjual DOC (Day Old Chicken) ayam, yaitu anak ayam yang berumur satu hari yang digunakan sebagai bibit untuk berternak ayam, baik ayam broiler maupun ayam petelur. Wallâhu a’lam.

 

Semarang, 16 Oktober 2022

M.Shiddiq Al-Jawi