Home Siyasah HUKUM DEMO DALAM FIQIH ISLAM

HUKUM DEMO DALAM FIQIH ISLAM

143

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pengertian Demonstrasi
Demonstrasi (al-muzhâharât) adalah penyampaian pendapat atau perasaan di hadapan publik secara berjama’ah baik kepada penguasa, partai politik, maupun kepada pihak-pihak lainnya. (Abdurrahman Sa’ad Al-Syatsri, Al-Muzhâharât fî Mîzân Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah, hlm. 6; Muhyiddin Al-Qarahdaghi, At-Ta`shîl Al-Syar’i Li Al-Muzhâharât As-Silmiyyah, hlm. 3).

Hukum Demontrasi
Mengenai hukum demonstrasi, ada dua pendapat di kalangan ulama kontemporer.
Pendapat pertama, mengharamkan, misalnya pendapat Syekh Nashiruddin Al-Albani, Syekh Abdurrahman bin Sa’ad Al-Syatsri, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Ar-Rajihi, Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan Syekh Shalih Al-Fauzan.

Alasan keharaman demonstrasi menurut mereka antara lain karena dianggap pemberontakan kepada penguasa (al-khurûj ‘ala waliy al-amr) dan banyak menimbulkan berbagai penyimpangan syariah seperti ikhtilât (campur baur pria dan wanita) dan berbagai mudharat (seperti perusakan fasilitas publik).

Pendapat kedua, membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya pendapat Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ziyad Ghazzal, Syekh M. Abdullah Al-Mas’ari, dan Syekh Muhyiddin Al-Qarahdaghi.

Alasan mereka membolehkan demonstrasi karena demonstrasi dianggap sebagai salah satu cara (uslûb) dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar atau menyampaikan nasehat kepada penguasa. Mereka menetapkan syarat-syarat tertentu untuk kebolehan demonstrasi, misalnya tujuan demonstrasi harus sesuai syariah, dan tidak disertai hal-hal yang diharamkan seperti ikhtilât dan tidak boleh menggunakan kekerasan/senjata. (Lihat Abdurrahman bin Sa’ad Al-Syatsri, Al-Muzhâharât fî Mîzân Al-Syarî’ah Al-Islâmiyyah, hlm. 14-47; Ziyad Ghazal, Masyrû’ Qânûn Al-Ahzâb fî Ad-Dawlah Al-Islâmiyyah, hlm.15-27; M. Abdulah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 39-59; Muhyiddin Al-Qarahdaghi, At-Ta`shîl Al-Syar’î Li Al-Muzhâharât As-Silmiyyah, hlm.5-19).

Tarjih
Pendapat yang râjih (lebih kuat) adalah pendapat yang membolehkan demonstrasi dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini dikarenakan bolehnya demonstrasi sesungguhnya sudah tercakup dalam dalil-dalil umum yang mensyariatkan amar ma’ruf nahi munkar atau dalil-dalil umum yang mensyariatkan menyampaikan nasehat kepada penguasa. (M. Abdulah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 5).

Dalil-dalil umum tersebut, misalnya firman Allah SWT yang telah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar seperti ayat :

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali ‘Imran : 104).

Selain itu juga terdapat dalil-dalil umum dari hadits Nabi SAW yang mewajibkan umat Islam untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar atau muhâsabah (koreksi/kontrol) kepada pemimpin (muhâsabah al-hukkâm), misalnya sabda Rasulullah SAW :

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ، فَقَتَلَهُ

“Pemimpin para syuhada (di surga kelak) adalah Hamzah bin Abdil Muthallib, dan seorang laki-laki yang berdiri di hadapan Imam (Khalifah) yang zalim, lalu laki-laki itu melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada Imam itu, lalu Imam itu membunuhnya.” (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, no. 4884, hadits shahih menurut Syekh Nashiruddin Al-Albani, As-Silsilah Ash-Shahîhah, no. 374).

Selain itu, juga terdapat dalil umum yang mensyariatkan amar ma’ruf nahi munkar kepada pemimpin yang zalim, dan bahkan perbuatan ini disebut afdholul jihâd (seutama-utama jihad) oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dalam hadits berikut :

عَنْ أبي سعيدٍ الخدري – رضي الله عنه- عنِ النَّبي صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال: أفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ. رواه أبو داود، والترمذي، وقال: حديث حسنٌ

Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, bahwa Rasulullah DSAW telah bersabda,”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud, no. 4344, Ibnu Majah, no. 4011, dan Tirmidzi, no. 2174. Imam Tirmidzi berkata,”Ini adalah hadits hasan”).

Dalil-dalil umum di atas merupakan dalil wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar atau muhâsabah (koreksi/kontrol) kepada para pemimpin/penguasa (muhâsabah al-hukkâm), dengan berbagai macam cara (al-uslûb) yang dibolehkan syariah, yang salah satunya adalah dengan cara melakukan demonstrasi (al-muzhâharât).

Mengomentari dalil-dalil tersebut, Syaikh Muhammad Abdullah Al-Mas’ari berkata bahwa nash-nash hadits tersebut bersifat mutlak, yakni tidak membatasi cara tertentu dalam menasehati nasehat penguasa, sehingga kritikan kepada penguasa boleh disampaikan secara rahasia dan boleh juga disampaikan secara terbuka. (Muhammad Abdullah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 60).

Namun bolehnya demonstrasi tersebut wajib dibatasi dengan 3 (tiga) syarat agar tidak terjadi penyimpangan syariah, yaitu ;

Pertama, tujuan demonstrasi wajib sesuai dengan syariah, misal mengajak penguasa menerapkan syariah Islam secara kâffah (menyeluruh) dalam segala aspek kehidupan. Dalil untuk syarat ini kaidah fiqih yang berbunyi :

اَلْوَسَائِلُ تَتَّبِعُ الْمَقَاصِدَ فِيْ أَحْكَامِهَا

“Al-Wasa`il tattabi’u al-maqashid fi ahkamiha”. (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausû’ah Al-Qawâ’id Al-Fiqhiyah, Juz XII, hlm. 99).

Kedua, demonstrasi yang dilaksanakan wajib dilaksanakan secara damai, yakni tidak boleh menggunakan kekerasan atau senjata, misalnya membakar fasilitas publik (seperti halte bus umum), menggunakan senjata tajam, senjata api, bahan peledak, dsb. Dalilnya adalah larangan Nabi SAW untuk menggunakan senjata dalam menasehati penguasa :

مَن حَمَلَ عليْنا السِّلاحَ فليسَ مِنَّا

”Barangsiapa yang menghunus senjata kepada kami maka dia bukanlah golongan kami.” (man hamala ‘alaynâ as-silâh falaysa minna). (HR Bukhari, no. 6480, Muslim, no. 161).

Tiga, demonstrasi yang dilakukan tidak boleh disertai segala hal-hal yang telah diharamkan syariah, misalnya merusak fasilitas publik, melakukan ikhtilâth (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya), dan melakukan tabarruj (perbuatan wanita menampakkan perhiasan dan keindahan tubuh di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya). Dalil untuk syarat ketiga ini adalah dalil-dalil umum yang telah melarang melakukan segala hal yang diharamkan syariah Islam.

Benarkah Mengkritik Pemimpin Harus Diam-Diam?
Sebagian ulama ada yang mengharamkan demonstrasi berhujjah dengan dalil yang dipahami sebagai larangan untuk mengkritik pemimpin secara terbuka. Dalil tersebut adalah hadits dari Iyadh bin Ghanam RA, bahwa Nabi SAW bersabda :

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

”Barangsiapa hendak menasehati penguasa dalam suatu perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia menerima nasehatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad, Al-Musnad, Juz III no. 15.369).

Namun hadits ini dinilai sebagai hadits dha’if (lemah) oleh Syekh M. Abdullah Al-Mas’ari dalam kitabnya Muhâsabah Al-Hukkâm, sehingga tidak boleh dijadikan hujjah (dalil). Ada dua alasan mengapa hadits ini dha’if : (1) sanadnya terputus (inqitha’), yaitu periwayat hadits bernama Syuraih bin Ubaid tidak mendengar (simâ’) hadits ini secara langsung dari Iyadh bin Ghanam, dan (2) ada periwayat hadits yang dinilai lemah, yaitu Muhammad bin Ismail bin ‘Ayâsy. (M. Abdullah Al-Mas’ari, Muhâsabah Al-Hukkâm, hlm. 41-43).

Andaikata hadits ini shahih, tetap tidak dapat menjadi dalil haramnya mengkritik penguasa secara terbuka, karena kebolehan mengkritik penguasa secara terbuka justru telah dicontohkan oleh para shahabat Nabi SAW yang sering mengkritik para khalifah secara terbuka.

Diriwayatkan dari Nafi’ Maula Ibnu Umar RA, ketika menaklukkan Syam, Khalifah Umar bin Khaththab tidak membagikan tanah Syam kepada para mujahidin. Maka Bilal RA memprotes dengan berkata,”Bagilah tanah itu atau kami ambil tanah itu dengan pedang!” (HR Baihaqi, no 18764, hadits sahih). Hadits ini menunjukkan Bilal mengkritik Khalifah Umar secara terbuka di hadapan umum. (Ziyad Ghazzal, Masyrû’ Qânûn Wasâ’il Al-I’lâm fi Ad-Daulah Al-Islâmiyah, hlm.24).

Juga terdapat riwayat dari ‘Ikrimah RA, bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib RA telah membakar kaum zindiq. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas RA, maka berkatalah beliau,”Kalau aku, niscaya tidak akan membakar mereka karena Nabi SAW telah bersabda,”Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (api),” dan niscaya aku akan membunuh mereka karena sabda Nabi SAW,’Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari). Hadits ini juga jelas menunjukkan bahwa Ibnu Abbas telah mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib RA secara terbuka. (Ziyad Ghazzal, Masyrû’ Qânûn Wasâ’il Al-I’lâm fî Ad-Daulah Al-Islâmiyah, hlm.24).

Berdasarkan dalil-dalil yang diuraikan di atas, boleh hukumnya melakukan demonstrasi untuk mengkritik pemimpin secara terbuka di muka umum, asalkan memenuhi syarat-syaratnya yang sudah diterangkan di atas.

Boleh juga secara syariah mengkritik penguasa secara terbuka di berbagai forum yang seluas-luasnya, misalnya di berbagai pengajian di masjid-masjid, kajian-kajian Islam di kampus, obrolan-obrolan santai di pasar, warung kopi, dan juga di berbagai sarana media massa apa pun juga yang memungkinkan, seperti membuat video kritikan di Youtube, menulis artikel di koran, majalah, buletin Jumat, dan lain-lain, khususnya melalui media sosial (medsos) yang luas jaringannya, seperti WA (Whatsap), Facebook, Twitter, Tiktok, dan sebagainya. Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 23 September 2022

M. Shiddiq Al-Jawi