Home Afkar MONARKI, DEMOKRASI DAN KHILAFAH

MONARKI, DEMOKRASI DAN KHILAFAH

96

Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi**
Polemik seputar keistimewaan DIY belum berakhir.  Pemerintah melalui RUUK tetap ngotot menginginkan pemilihan Gubernur DIY  seperti propinsi-propinsi lainnya. Sementara pihak Kraton Yogya dan  umumnya masyarakat Yogya berkeras pada opsi penetapan , bukan pemilihan.  Polemik ini semakin panas ketika SBY menyatakan sistem monarki tidak  mungkin diterapkan, karena akan bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi  (democratic values).Beberapa catatan kritis menurut perspektif Islam perlu diberikan untuk fenomena ini. Pertama,  seharusnya masing-masing pihak mempunyai satu rujukan yang sama untuk  menyelesaikan perbedaan pendapat yang ada. Dalam Islam, setiap  perselisihan wajib dikembalikan kepada rujukan wahyu, yaitu Al-Qur`an  dan As-Sunnah (QS An-Nisaa` : 59).

Semestinya masing-masing pihak merujuk pada referensi  ilahi itu. Namun nampaknya hal ini tidak terjadi. Kedua pihak justru  mengembalikan persoalan ini bukan pada referensi Al-Qur`an dan  As-Sunnah, melainkan pada referensi-referensi lain yang ilegal menurut  kacamata hukum Islam. Partai Demokrat melalui Ruhut Sitompul mengatakan  dasar sikap mereka adalah survei LSI yang menemukan 71 % masyarakat  Yogya setuju pemilihan Gubernur DIY(pemilu kada). Sedang pihak yang pro  penetapan, di antaranya Golkar, juga menyandarkan pada survei yang konon  hasilnya 70 % masyarakat Yogya pro penetapan, bukan pemilihan.  Masyarakat Yogya juga menyandarkan pada referensi sejarah. Khususnya  ketika Kraton Yogyakarta menggabungkan diri dengan NKRI, yang imbal  baliknya Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan  Wakil Gubernur DIY.

Sesungguhnya, survei dan sejarah bukanlah rujukan  normatif yang benar menurut Islam. Rujukan ini memang seakan-akan  bernilai benar dengan sendirinya karena memang cara berpikir kita telah  didominasi dan dikooptasi oleh perspektif Positivisme dalam filsafat  hukum. Perspektif ini benar-benar telah merusak cara berpikir kita,  karena ia mengajarkan bahwa hukum atau pranata hidup itu tidak perlu  didasarkan pada agama (Al-Qur`an dan As-Sunnah), melainkan cukup pada  fakta-fakta empiris dalam masyarakat. Esensi aliran Positivisme dalam  filsafat hukum seperti kata H.L.A Hart adalah that laws are commands of human being (hukum adalah perintah dari manusia). (Prasetyo dan Barakatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, hal. 97).

Jadi hukum menurut prespektif ini adalah man made (buatan manusia). Dengan kata lain, hukum bukan berasal dari norma  agama. Maka mengembalikan polemik keistimewaan DIY ini kepada argumen  sejarah, atau argumen survei, atau argumen apa pun selain Al-Qur`an dan  As-Sunnah, jelas merupakan kekeliruan metodologis yang parah.

Kedua,catatan berikutnya adalah mengenai pemilihan Gubernur. Dalam Islam, Gubernur (Wali)  bukanlah hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh Kepala Negara  (Khalifah). Dalam kitab-kitab hadits dan juga sirah dapat dibuktikan  bahwa gubernur-gubernur dalam propinsi-propinsi pemerintahan Islam dulu,  selalu diangkat oleh Rasulullah SAW sebagai kepala negara. Misalnya  Muadz bin Jabal yang diangkat sebagai gubernur propinsi Yaman. Juga  Ziyad bin Labid yang diangkat Rasulullah SAW sebagai gubernur propinsi  Hadhramaut, serta Abu Musa Al-Asyari sebagai gubernur propinsi Zabid dan  Aden. (Atha` bin Khalil, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hal. 73).

Walhasil, jika diukur dengan timbangan Syariah Islam,  pengangkatan gubernur itu hanyalah melalui pengangkatan oleh khalifah  (kepala negara). Bukan lewat cara pemilihan (pemilu kada) oleh rakyat di  propinsi yang bersangkutan, bukan pula melalui cara penetapan secara  otomatis sebagai jabatan yang diwariskan secara turun temurun.

Ketiga,catatan ketiga adalah tentang pernyataan SBY bahwa sistem monarki bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values).  Ini pernyataan dangkal dan menunjukkan SBY kurang membaca literatur  sejarah dan ilmu politik. Karena secara faktual tak selalu sistem  monarki tak bisa dikawinkan dengan demokrasi. Bahkan untuk konteks  propinsi DIY, pernyataan SBY memang boleh dikatakan ngawur. Mengapa  demikian? Sebab sejak bergabung dengan NKRI, berakhir sudah sistem  monarki Kerajaan (Kesultanan?) Yogyakarta Hadiningrat. Setelah itu, yang  ada di DIY bukan sistem monarki melainkan propinsi yang mempunyai  keistimewaan, yaitu Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai  Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Jadi yang ada ialah propinsi dengan  sisa-sisa sistem monarki, khususnya dalam pengangkatan eksekutif, bukan  sistem monarkinya itu sendiri. Karena sistem monarki adalah sebuah  istilah teknis untuk bentuk negara, bukan bentuk propinsi. (Abu Daud  Busroh, Ilmu Negara, Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hal. 57-58; M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Medan : Mandar Maju, hal. 54-55).

Namun harus dikatakan, bahwa pengangkatan Khalifah  (Imam) sebagai kepala negara dalam Islam bukanlah melalui sistem  pewarisan, melainkan harus merupakan hasil pilihan umat. Itulah yang  terjadi pada empat khalifah pertama dalam Islam, yang semuanya berkuasa  setelah dipilih oleh umat.

Memang dalam sejarah Islam kekhilafahan didominasi  oleh suatu dinasti (bani) tertentu untuk kurun waktu tertentu.  Dikenallah kemudian Khilafah Bani Umayah, Khilafah Bani Abbasiyah, dan  Khilafah Bani Utsmaniyah (yang berakhir 1924). Namun kejadian sejarah  ini tidaklah mewakili ajaran Islam yang murni. Fakta sejarah ini justru  menunjukkan terjadinya distorsi atau bias dalam implementasi Syariah  Islam di bidang kekuasaan.

Namun penyimpangan ini tidak sampai menghapuskan  secara total karakter bentuk pemerintahan Khilafah. Karena bagaimanapun  juga khalifah-khalifah itu tetap dibaiat, bukan semata-mata mendapat  kekuasaan secara turun temurun. Maka bentuk negaranya tetap sah sebagai  Khilafah, hanya saja memang terpengaruh oleh salah satu unsur sistem  monarki, yaitu pewarisan kekuasaan. Karena itu, Syaikh Hisyam  Al-Badrani, seorang ulama Irak kontemporer, menyebut sistem pemerintahan  pasca Khulafaur Rasyidin sebagai Al-Khilafah ala Minhaj Al-Mulk (Khilafah, tapi mengikuti metode monarki dalam pengangkatan penguasanya). (Hisyam Al-Badrani, an-Nizham al-Siyasi Bada Hadmi Al-Khilafah, hal. 12.(

Karenanya memang tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya,  ketika Mataram Islam sejak Sultan Agung (w. 1646) juga mencontoh model  suksesi kepemimpinan secara turun temurun. Wong yang menjadi  contoh saat itu (Khilafah Utsmaniyah) memang sudah keliru dalam praktik  pengangkatan Khalifah. Sejarah mencatat, pada sekitar tahun 1640 Sultan  Agung telah menjalin hubungan internasional dengan Khilafah Utsmaniyah  melalui Syarif Makkah (gubernur untuk wilayah Makkah dan sekitarnya).  Hasilnya adalah gelar Sultan yang kemudian secara resmi disematkan di  depan namanya. (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1500-2004, Jakarta : Serambi, 2005, hal. 111; Musyrifa Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 147).

Kami katakan tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya,  karena sistem pewarisan tahta turun temurun yang diadopsi oleh Mataram  saat itu, telah mengambil model yang salah dan terdistorsi dari Khilafah  Utsmaniyah. Atau bisa jadi pewarisan tahta itu sekedar meneruskan apa  yang dianggap lumrah sejak era sebelumnya, misalnya sejak jaman  Kesultanan Demak dan Pajang yang menjadi cikal-bakal Mataram. Jadi  pengambilan cara pewarisan tahta ini barangkali terjadi di luar  kesengajaan, karena saat itu memang tak ada model ideal yang betul-betul  mencerminkan ajaran Islam yang murni.

Namun tegas kami nyatakan, kesalahan semacam itu tak  boleh lagi diterus-teruskan. Yang sudah ya sudah. Semoga Allah SWT  mengampuni kesalahan kita. Namun untuk ke depan, sesuai ajaran Islam,  pemimpin haruslah hasil pilihan rakyat, bukan terangkat secara otomatis  secara turun temurun.

Keempat, catatan terakhir, kami ingin  menegaskan demokrasi tidak selalu identik dengan pemilihan pemimpin oleh  rakyat. Maka dari itu, ketika kami menyatakan bahwa bahwa pemimpin  haruslah dipilih oleh rakyat, bukan berarti kami setuju dengan  demokrasi.

Mengapa demikian? Sebab esensi demokrasi sebenarnya  bukan pada prinsip pemimpin adalah pilihan rakyat, melainkan pada  prinsip bahwa peraturan itu adalah buatan manusia (kedaulatan rakyat).  Dalam pandangan Islam, haram hukumnya manusia membuat sendiri hukum atau  aturan hidup. Hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum (QS  Al-Anaam : 57).

Jadi, Islam tidak menyalahkan demokrasi jika yang  dimaksud adalah pemimpin merupakan hasil pilihan rakyat. Namun Islam  juga tidak membenarkan prinsip itu sepenuhnya. Sebab meski pemimpin  dipilih oleh rakyat, dalam demokrasi pemimpin pilihan rakyat itu akan  menjalankan hukum buatan manusia. Sedang dalam Islam, pemimpin pilihan  rakyat itu hanya menjalankan hukum Syariat Islam, bukan hukum buatan  manusia.

Maka dari itu, jelas sekali SBY nampak dangkal ketika  mempertentangkan monarki dengan demokrasi dalam konteks pemilihan  gubernur DIY. Pendirian SBY itu mengisyaratkan bahwa esensi demokrasi  dalam pikirannya hanyalah pemilihan, yakni pemimpin hendaknya hasil  pilihan rakyat. Padahal, kalaupun itu dikatakan bagian demokrasi,  sifatnya hanya prinsip sekunder saja dan bukan ide khas demokrasi.  Prinsip primer dan ide khas dalam demokrasi justru adalah memberikan  otoritas kepada manusia (bukan kepada Tuhan) hak membuat hukum. Inilah  prinsip primer demokrasi yang justru terabaikan oleh SBY.

Kesimpulannya, memang sulit bagi muslim untuk  menyikapi polemik keistimewaan DIY sekarang ini. Penetapan atau  pemilihan, bukanlah pilihan-pilihan yang benar. Namun yang jelas, Islam  mengatakan tidak untuk pemilihan (pemilu kada), karena gubernur dalam  pandangan Islam bukan hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh  kepala negara (khalifah). Islam juga mengatakan tidak untuk penetapan,  karena Islam tidak mengenal proses pewarisan kekuasaan yang turun  temurun. Islam juga mengatakan tidak untuk demokrasi, karena demokrasi  memaksakan sebuah prinsip yang fatal sekali kekeliruannya menurut Islam,  yaitu manusia diberi hak membuat hukum.

Yang benar, seorang gubernur (wali) dalam Islam itu  diangkat oleh Khalifah (kepala negara), bukan dipilih oleh rakyat. Dan  proses ini tentu harus dijalankan dalam bentuk negara yang benar sesuai  ajaran Islam, yaitu sistem Khilafah, bukan sistem republik (demokrasi)  seperti yang ada sekarang. Wallahu alam.

* Makalah disampaikan dalam Dirasah Islamiyah,  diselenggarakan oleh HTI Chapter Kampus Hamfara bekerja sama dengan  Ma’had Hamfara Yogyakarta, di Masjid Hamfara, Bangunjiwo, Kasihan,  Bantul, Jumat 10 Desember 2010.

 

Sumber :

https://www.globalmuslim.web.id/2010/12/monarki-demokrasi-dan-khilafah.html