Home Siyasah JAMINAN SOSIAL DALAM ISLAM

JAMINAN SOSIAL DALAM ISLAM

143
Oleh KH M Shiddiq Al Jawi
 
Pendahuluan
 
Istilah jaminan sosial mengacu pada jaminan pemenuhan kebutuhan dasar (primer) dan kebutuhan sekunder oleh negara bagi rakyatnya. Setiap ideologi mempunyai paradigma dan metodenya masing-masing mengenai bagaimana cara negara memberikan jaminan sosial tersebut bagi rakyatnya. Namun, Islam mempunyai keunggulan yang tidak terdapat dalam ideologi lainnya, yakni Kapitalisme dan Sosialisme.
 
Menurut Abdurrahman Al-Maliki dalam As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, jaminan sosial dalam Kapitalisme bukanlah ide asli dalam Kapitalisme, melainkan sekedar ide korektif setelah kapitalisme yang pro mekanisme pasar menimbulkan kesenjangan dan ketidakdilan di Barat pada abad ke-19. Ini berbeda dengan Islam yang menetapkan jaminan sosial sebagai ide asli, bukan ide tambal sulam yang datang belakangan. Inilah keunggulan Islam dibanding Kapitalisme. (Al-Maliki, 1963:157).
 
Adapun Sosialisme, berusaha mewujudkan jaminan sosial melalui ide persamaan dalam kepemilikan. Dalam sosialisme, kepemilikan individu khususnya alat produksi akan dilarang, karena dianggap menghalangi keadilan. Dengan larangan itu, individu akan mempunyai kesamaan dalam kepemilikan dan pada gilirannya akan memperoleh jaminan sosial. Ide ini menurut Abdurrahman Al-Maliki justru tidak menjamin terwujudnya jaminan sosial. Karena Sosialisme sebenarnya lebih mengutamakan larangan kepemilikan alat produksi, tanpa mampu memastikan apakah jaminan sosial terwujud atau tidak. Jadi yang betul-betul dijamin dalam Sosialisme adalah larangan kepemilikan alat produksi, bukan jaminan sosialnya itu sendiri. Ini berbeda dengan Islam yang dengan seperangkat hukum Syariah-nya, betul-betul menjamin kebutuhan-kebutuhan rakyat, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan penyempurna (sekunder), tanpa melarang kepemilikan individu. (Al-Maliki, 1963:157). Tulisan ini akan menerangkan bagaimana Islam menjamin kebutuhan-kebutuhan rakyat tersebut.
 
Peran Negara dalam Pemenuhan Jaminan Kebutuhan Dasar
 
Islam membagi kebutuhan dasar (al-hajat al-asasiyah) menjadi dua. Pertama, kebutuhan dasar individu, yaitu sandang, pangan, dan papan. Kedua, kebutuhan dasar seluruh rakyat (masyarakat), yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. (Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 18; Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 165).
 
Peran negara dalam pemenuhan kedua kebutuhan dasar tersebut berbeda. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar individu (sandang, pangan, dan papan), negara pada dasarnya berperan secara tidak langsung, kecuali jika individu sudah tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Disebut tidak langsung, karena negara tidak langsung memberikan sandang, pangan, dan papan secara gratis kepada rakyat. Dalam hal ini peran negara adalah memastikan penerapan hukum-hukum syariah khususnya hukum nafkah (ahkam an-nafaqat) atas individu-individu rakyat, agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar individunya. Jika hukum ini sudah diterapkan dan individu tetap tidak mampu, barulah negara berperan langsung untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 167-177).
 
Adapun dalam pemenuhan kebutuhan dasar seluruh rakyat (keamanan, kesehatan dan pendidikan), negara sejak awal memang berperan secara langsung. Artinya, negara wajib menyediakan kebutuhan keamanan, kesehatan dan pendidikan kepada seluruh rakyat secara gratis. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 177).
 
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Individu
 
Bagaimana cara Islam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar individu (sandang, pangan, dan papan)? Islam menjamin, pada awalnya, dengan mensyariatkan hukum kewajiban bekerja untuk mencari nafkah bagi laki-laki dewasa yang mampu, untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungnya, seperti isteri dan anak-anaknya. Dalilnya antara lain firman Allah SWT :
 
فامشوا في مناكبها وكلوا من رزقه 
 
“Dan berjalanlah di segala penjuru [bumi] dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya.” (QS Al-Mulk [67] : 15).
 
Kewajiban bekerja tersebut menjadi tanggung jawab laki-laki dewasa yang mampu saja. Adapun perempuan, tidak diwajibkan bekerja, meski syara’ tidak mengharamkannya bekerja. Nafkah bagi perempuan menjadi kewajiban suaminya, atau ayahnya jika perempuan itu belum menikah. Nafkah anak-anak, menjadi kewajiban ayahnya. Nafkah ayah dan ibu yang sudah tua, menjadi kewajiban anak laki-lakinya yang sudah dewasa dan mampu, jika ayah dan ibu membutuhkan nafkah. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 167-169).
 
Selanjutnya, jika laki-laki dewasa yang ada tidak mampu bekerja, baik tidak mampu secara nyata (misalnya cacat atau gila) atau tidak mampu secara hukum (misalnya tidak mendapat pekerjaan), maka nafkahnya ditanggung kerabatnya yang menjadi ahli warisnya, sesuai firman Allah SWT :
 
وعلى الوارث مثل ذلك
“Dan warispun berkewajiban demikian [memberi nafkah].” (QS Al-Baqarah [2] : 233).
 
Jika kerabat ahli waris itu ada dan mampu tapi enggan memberi nafkah, maka negara melalui hakim (qadhi) turun tangan untuk menegakkan hukum, yaitu mewajibkan kerabatnya memberi nafkah. Di sisi lain, terhadap laki-laki dewasa yang tidak mampu secara hukum (karena tidak mendapat pekerjaan), negara berkewajiban menciptakan lapangan kerja baginya. (Abdul Aziz Al-Badri, Al-Islam Dhamin li Al-Hajat Al-Asasiyah, hlm. 26-29; Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 129).
 
Selanjutnya, jika kerabat tidak ada atau ada tapi tak mampu, maka kewajiban memberi nafkah berpindah ke Baitul Mal, yakni negara Khilafah. Dalilnya sabda Rasullah SAW :
 
مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلأَِهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ
“Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya. Dan barangsiapa mati meninggalkan utang, atau meninggalkan keluarga [yang tidak mampu] maka datanglah kepadaku dan menjadi kewajibanku.” (HR Muslim).
 
Dari manakah negara Khilafah memperoleh harta guna menjamin kebutuhan dasar mereka yang tidak mampu ini? Pada awalnya, negara akan mengambil dari harta zakat, karena mereka yang tidak mampu termasuk golongan fakir atau miskin yang berhak mendapat zakat, sesuai firman Allah SWT :
 
إنما الصدقات للفقراء والمساكين
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin… “ (QS At-Taubah [9] : 60).
 
Jika ternyata dari harta zakat tidak mencukupi, maka negara (Baitul Mal) akan mengambil dari sumber-sumber pendapatan tetap Baitul Mal di luar zakat, yang terdiri dari : fai`, ghanimah, jizyah, kharaj, khumus rikaz (seperlima dari harta galian), harta milik umum (milkiyah ‘amah), harta milik negara (milkiyah dawlah), usyuur, dan tambang (al-ma’adin), seperti tambang minyak dan gas. (Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 15; An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 232).
 
Jika dari harta-harta selain zakat ini belum mencukupi juga, maka negara (Baitul Mal) berhak memungut pajak (dharibah) dari kaum muslimin, khususnya dari laki-laki muslim dewasa yang mampu. Sebab pemenuhan kebutuhan dasar kaum fakir dan miskin, jika tak dapat diatasi dari harta zakat dan selain zakat, menjadi kewajiban kaum muslimin, sesuai sabda Nabi SAW :
 
وَأَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيهِمْ امْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللَّهِ تَعَالَى
“Siapa saja penduduk suatu negeri yang pada pagi hari ada yang kelaparan di antara mereka, maka sungguh perlindungan Allah Ta’ala telah terlepas dari mereka.” (HR Ahmad). (Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 16).
 
Jika pajak ini tidak mencukupi, atau jika timbul bahaya (dharar) ketika menunggu terkumpulnya pajak sementara kebutuhan dasar tak dapat ditunda-tunda, maka negara wajib segera bertindak dengan mencari pinjaman uang (qardh) dari rakyat yang mampu. Pinjaman ini nanti dikembalikan oleh negara dari harta pajak yang berhasil dikumpulkan kemudian. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 173).
 
Inilah peran negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, yang telah dijelaskan dalam hukum-hukum syara’ secara rinci dan sangat antisipatif. Selain mekanisme negara ini, syara’ juga mempunyai mekanisme lain di luar negara, yaitu mekanisme individu. Artinya, syara’ menganjurkan individu-individu muslim untuk secara sukarela membantu sesama muslim yang sedang mengalami kesulitan, misalnya lewat shadaqah, wakaf, hibah/hadiah dan sebagainya. Banyak nash yang menganjurkan amal-amal mulia itu. Antara lain dalam shadaqah, Nabi SAW telah bersabda :
 
داووا مرضاكم بالصدقة، وحصنوا أموالكم بالزكاة وأعدو للبلاء
“Obatilah sakitmu dengan mengeluarkan shadaqah, bentengilah hartamu dengan membayar zakat, dan persiapkanlah dirimu menghadapi musibah/ujian.” (HR Al-Baihaqi, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
 
Tentang wakaf, Nabi SAW telah menyebutnya sebagai shadaqah jariyah, yaitu wakaf yang pahalanya tetap mengalir walaupun pelakunya sudah meninggal dunia. Nabi SAW bersabda :
 
إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاثة أشياء : صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah [pahala] amalnya kecuali dari tiga perkara : shadaqah jariyah [yaitu wakaf], atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Jamaah kecuali Bukahri dan Ibnu Majah).
 
Tentang hibah atau hadiah, Nabi SAW menganjurkannya dengan sabdanya :
 
تهَادَوْا تحَابَّوْا
“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscara kalian akan saling mencintai.” (HR Baihaqi, hadis hasan). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1170).
 
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat
 
Negara Khilafah wajib menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan kepada seluruh rakyat secara gratis. Tentang keamanan, jelas sekali menjadi kewajiban negara yang mendasar, karena keamanan (al-amn) menjadi salah satu dari dua syarat sebuah negeri agar memenuhi kriteria Darul Islam. Dalam Sirah Ibnu Ishaq disebutkan Rasulullah SAW memberitahukan kepada para sahabatnya di Makkah :
 
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ لَكُمْ إِخْوَاناً وَدَاراً تَأْمَنُونَ بِهَا
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjadikan saudara-saudara buat kalian [yaitu kaum Anshar] dan sebuah negeri yang aman buat kalian [yaitu Madinah].” (Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 18).
 
Tentang kesehatan, terdapat banyak dalil yang menunjukkan negara wajib menyediakannya secara gratis untuk rakyat. Di antaranya hadits Jabir RA yang berkata :
 
بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ طَبِيبًا فَقَطَعَ مِنْهُ عِرًْقا ُثمَّ كَوَاهُ عََليْهِ
 
“Rasulullah SAW telah mengutus seorang dokter (thabib) kepada Ubai bin Ka’ab. Dokter itu memotong satu urat dari tubuhnya, lalu membakar (mencos) bekas urat itu dengan besi bakar.” (HR Muslim).
 
Khalifah Umar bin Khaththab RA juga pernah mengutus seorang dokter kepada Aslam RA untuk mengobati penyakitnya (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa kesehatan atau pengobatan merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan negara secara gratis bagi seluruh rakyatnya. (Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 19)
 
Adapun pendidikan, telah terdapat riwayat hadits bahwa Rasulullah SAW telah menetapkan bahwa seorang kafir yang menjadi tawanan, ditebus pembebasannya dengan cara mengajar sepuluh anak kaum muslimin. Tebusan jasa ini adalah sebagai ganti dari tebusan berupa harta rampasan perang (ghanimah) yang menjadi milik seluruh kaum muslimin. Selain itu terdapat Ijma’ Shahabat bahwa gaji para pengajar adalah menjadi tanggungan Baitul Mal (Kas Negara). Ini menunjukkan bahwa pendidikan wajib disediakan secara gratis oleh negara bagi seluruh rakyatnya. (Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 19).
 
Jelaslah, bahwa kebutuhan dasar masyarakat yang berupa keamanan, kesehatan, dan pendidikan, wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma bagi seluruh rakyatnya, baik muslim maupun non muslim, kaya maupun miskin, tanpa ada diskriminasi sedikitpun.
 
Namun demikian, meski ketiga kebutuhan tersebut menjadi kewajiban negara, tidak berarti syara’ mengharamkan individu rakyat untuk memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan tersebut. Boleh hukumnya seseorang membayar seorang satpam untuk mengamankan rumahnya. Boleh pula dia mendatangkan seorang guru privat untuk mengajari anak-anaknya di rumahnya. Boleh pula dia mempunyai dokter keluarga untuk mengobati seluruh anggota dengan gaji tertentu. Bolehnya hal-hal tersebut berdasarkan dalil-dalil ijarah yang bersifat umum yang dapat diterapkan pada kasus-kasus di atas. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 180-181).
 
Penutup
 
Demikianlah secara ringkas penjelasan bagaimana cara Islam dalam memenuhi jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Dengan memperhatikan dan mencermatinya, nyatalah betapa hebatnya Syariah Islam menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar baik bagi individu maupun bagi seluruh masyarakat.
 
Ini tentu berbeda sekali dengan sistem jaminan sosial dalam Kapitalisme, yang nyata-nyata hanya merupakan upaya tambal sulam atas kebobrokan kapitalisme, bukan upaya yang dilakukan negara sebagai norma asli. Lagi pula, karena Kapitalisme menganut asas manfaat (naf’iyah), maka jaminan sosial pun tidak dilakukan secara ikhlas, melainkan dengan pamrih untuk tetap mendapat profit (untung). Nulung sambil cari untung. Maka seringkali jaminan sosial itu dilakukan dengan cara-cara terselubung untuk memalak bahkan mengeruk duit rakyat, seperti lewat asuransi yang dipaksakan, lalu uang itupun diinvestasiksan lagi untuk mendapatkan untung, dan seterusnya. Jadi, kapitalisme memang jahat. Harus dihancurkan. Wallahu a’lam.
 
DAFTAR BACAAN
 
Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Al-‘Adalah Al-Ijtima`’iyah fi Dhau` Al-Fikri Al-Islami Al-Mu’ashir, (ttp : tp), 2004/1424
Al-Badri, Abdul Aziz, Al-Islam Dhamin li Al-Hajat Al-Asasiyah li Kulli Fardin wa Ya’mal li Rafahiyatihi, (Beirut : Darul Bayariq), 1408 H
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (ttp : tp), 1963/1383
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah), Cetakan VI, 2004
———-, Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II, (Beirut : Darul Ummah), Cetakan II, 2010
Sumber :
https://www.globalmuslim.web.id/2011/07/jaminan-sosial-dalam-islam.html