Home Fiqih Fiqih Muamalah BERKURBAN DENGAN HEWAN YANG BERPENYAKIT MULUT DAN KUKU

BERKURBAN DENGAN HEWAN YANG BERPENYAKIT MULUT DAN KUKU

87

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi 

 

 

Tanya :

Ustadz, mau nanya penyakit mulut dan kuku pada hewan qurban, apakah menjadikan hewan qurban tidak sah untuk dikurbankan? (Irwan S., bumi Allah).

Ustadz, ada yang bilang hewan yang kena penyakit mulut dan kuku tidak apa-apa dijadikan hewan kurban, karena penyakit mulut dan kuku katanya tidak bisa menular kepada manusia? (Hamba Allah).

 

Jawab :

            Berkurban dengan hewan kurban yang terkena penyakit mulut dan kuku (PMK) hukumnya tidak sah menurut syara’, karena tidak memenuhi salah satu syarat yang wajib ada pada hewan kurban, yaitu hewan itu harus selamat dari cacat yang menghalangi keabsahan kurban (salîmah min al-‘uyûb al-mâni’ah min shihhat al-udh-hiyyah). (Husâmuddin ‘Ifânah, Al-Mufashshal fî Ahkâm Al-Udh-hiyyah, hlm. 64).

Dalil yang menetapkan syarat tersebut adalah hadits dari Barra` bin Azib RA, bahwa Rasulullah SAW telah berkata,”Ada empat macam hewan yang tidak mencukupi untuk hewan-hewan kurban; yaitu : hewan yang nyata-nyata buta sebelah (bermata satu) (Jawa : pécé), hewan yang nyata-nyata sakit; hewan yang nyata-nyata pincang; dan hewan yang sangat kurus sehingga seolah-olah tidak ada sumsum di tulangnya.” (HR Tirmidzi, no. 1497; Nasa`i, no. 4371; Ahmad, no. 18675. Redaksi ini menurut Imam an-Nasa`i. Hadits shahih).

Dalam hadits ini terdapat empat persyaratan yang disepakati ulama untuk hewan kurban. Salah satunya adalah bahwa hewan kurban tidak boleh hewan yang nyata-nyata sakit (al-marîdhah al-bayyin maradhuhâ; Eng : the sick animals that is obviously sick). Kriteria “sakit yang nyata” (al-maradh al-bayyin) yang dimaksud hadits ini menurut para ulama adalah : sakit yang merusak kualitas daging hewan itu, dan dapat menyebabkan berkurangnya harga hewan jika hewan itu dijual (al-maradh al-bayyin : al-mufsid li al-lahmi wa al-munqish li al-tsaman). Misalnya, hewan kurban itu menderita penyakit kudisan (al-jarbâ’u), atau penyakit bisul (al-butsûr), atau mengalami luka-luka (al-qurûh), dan yang semisalnya. (Husâmuddin ‘Ifânah, Al-Mufashshal fî Ahkâm Al-Udh-hiyyah, hlm. 64).

Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa hewan kurban yang berpenyakit mulut dan kuku (PMK), termasuk hewan yang tidak sah dijadikan hewan kurban, karena menurut para pakar kedokteran hewan, penyakit mulut dan kuku menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar yang disebabkan oleh penurunan berat badan permanen pada hewan yang berpenyakit PMK.

Memang benar, menurut ilmu kedokteran hewan, penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi tidak dapat menular kepada manusia, kecuali pada kasus yang sangat-sangat jarang. Dalam situs en.wikipedia.org disebutkan bahwa,”Humans are only extremely rarely infected by foot-and-mouth disease virus (FMDV).” (Manusia sangat-sangat jarang terinfeksi oleh virus penyakit mulut dan kuku (FMDV).

Namun demikian, hewan yang berpenyakit mulut dan kuku tersebut tetap tidak sah dijadikan hewan kurban, karena terdapat syarat-syarat khusus yang wajib dipenuhi pada hewan kurban, di antaranya adalah tidak boleh berpenyakit dengan sakit yang signifikan (nyata), terlepas dari dampak penyakit hewan itu bagi manusia, apakah dagingnya menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia atau tidak.

Berbeda halnya jika sapi yang terkena PMK itu bukan untuk dijadikan hewan kurban, melainkan disembelih untuk konsumsi biasa. Jika disembelih untuk konsumsi biasa, hukumnya sah disembelih dan boleh dimakan menurut syariah Islam. Hanya saja secara kesehatan ada rekomendasi untuk tidak mengkonsumsi organ-organ tertentu yang terpapar virus penyebab PMK secara langsung, yaitu jeroan, mulut, bibir, lidah, dan kaki. Wallahu a’lam.