Home Fiqih Fiqih Muamalah HUKUM TUKAR GULING ANTARA TANAH DAN BANGUNAN YANG DITUKAR DENGAN TANAH TANPA...

HUKUM TUKAR GULING ANTARA TANAH DAN BANGUNAN YANG DITUKAR DENGAN TANAH TANPA BANGUNAN

1
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya tukar guling, antara tanah dan bangunan dari pihak pertama, ditukar dengan tanah saja tanpa bangunan, dari pihak kedua, tapi pihak kedua ini menjanjikan akan membangun bangunan di atas tanah itu, yang setara dengan bangunan dari pihak pertama. Bangunan baru berdiri sekitar 1,5 tahun sejak transaksi tukar guling terjadi. (Hamba Allah).

 

Jawab :

Tukar guling tersebut tidak sah alias batil menurut syara’, karena tidak memenuhi syarat khusus dalam jual beli tukar guling/barter (bai’ al-muqāyadhah) dalam Fiqih Islam, yaitu seharusnya dalam tukar guling itu terjadi tukar menukar secara bersamaan, antara tanah dan bangunan, ditukar dengan tanah dan bangunan. Yakni, seharusnya tidak ada penundaan penyerahan barang yang dipertukarkan. Faktanya, tanah dan bangunan, ditukar dengan tanah saja tanpa bangunan (bangunan belum ada), meski akhirnya bangunan menjadi ada setelah terjadi penundaan beberapa waktu.

Perlu diketahui, istilah tukar guling (ruislag) itu dalam Fiqih Islam disebut dengan istilah bai’ al-muqāyadhah (بَيْعُ الْمُقَايَضَةِ) yang definisinya adalah : jual beli (tukar menukar) barang dengan barang.

Perhatikan definisinya dari berbagai kitab ulama sebagai berikut :

(1) اَلْمُقَايَضَةُ : بَيْعُ السِّلْعَةِ بِالسِّلْعَةِ. الإمام الجرجاني، التعريفات، ص 289

(1) “Jual beli tukar guling (barter) (al-muqāyadhah) adalah jual beli barang dengan barang.” (Imam Al-Jurjani, Al-Ta’rīfāt, hlm. 289).

(2) اَلْمُقَايَضَةُ : بَيْعُ السِّلْعَةِ بِالسِّلْعَةِ (Bartering E, Exchange F) ،الشيخ رواس قلعة جي، معجم لغة الفقهاء، ص 422

(2) “Jual beli tukar guling (barter) (al-muqāyadhah) adalah jual beli barang dengan barang. Dalam Bahasa Inggris disebut bartering, dalam Bahasa Perancis disebut exchange.” (Syekh Rawwās Qal’ahjī, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 422).

(3) اَلْمُقَايَضَةُ : بَيْعُ سِّلْعَةٍ بسِّلْعَةٍ، الدكتور أحمد الشرباصي، المعجم الإقتصادي الإسلامي، ص 435

(3) “Jual beli tukar guling (barter) (al-muqāyadhah) adalah jual beli barang dengan barang.” (Dr. Ahmad Al-Syirbāshī, Al-Mu’jam Al-Iqtishādi Al-Islāmī, hlm. 435).

(4) اَلْمُقَايَضَةُ : بَيْعُ عَيْنٍ بِعَيْنٍ – سِّلْعَةٍ بسِّلْعَةٍ، دُوْنَ نَقْدٍ. محمد عمارة، قاموس المصطلحات الاقتصادية في الحضارة الاسلامية ، ص 554

(4) “Jual beli tukar guling (barter) (al-muqāyadhah) adalah jual beli benda dengan benda, atau barang dengan barang.” (Dr. Muhammad ‘Imārah, Qāmūs Al-Mushthalahāt Al-Iqtishādiyyah fī Al-Hadhārah Al-Islāmiyyah, hlm. 554).

(5) اَلْمُقَايَضَةُ هِيَ مُعَاوَضَةُ عَرَضٍ بِعَرَضٍ، أَيْ مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ، كِلاَهُمَا مِنْ غَيْرِ النُّقُوْدِ. وَعَرَّفَهَا بَعْضُهُمْ بِأَنَّهَا بَيْعُ الْعَيْنِ بِالْعَيْنِ، أَيْ بَيْعُ السِّلْعَةِ بِالسِّلْعَةِ. معجم المصطلحات الاقتصادية في لغة الفقهاء للدكتور نزيه حماد 434-435

(5) “Jual beli tukar guling (barter) (al-muqāyadhah) adalah pertukaran harta benda dengan harta benda, yaitu pertukaran harta dengan harta, keduanya bukan uang. Sebagian ulama mendefinisikan jual beli tukar guling (al-muqāyadhah) adalah jual beli benda dengan benda.” (Dr. Nazīh Hammād, Qāmūs Al-Mushthalahāt Al-Iqtishādiyyah fī Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 434-435).

(6) اَلْمُقَايَضَةُ شَرْعًا هِيَ مُعَاوَضَةُ عَرَضٍ بِعَرَضٍ، أي مُبَادَلَةُ مَالٍ بِمَالٍ، كِلاَهُمَا مِنْ غَيْرِ النُّقُوْدِ. محمود عبد الرحمن عبد المنعم، معجم المصطلحات والألفاظ الفقهية ص 331

(6) “Jual beli tukar guling (barter) (al-muqāyadhah) menurut istilah syariah adalah pertukaran harta benda dengan harta benda, yaitu pertukaran harta dengan harta, keduanya bukan uang. Sebagian ulama mendefinisikan jual beli tukar guling (al-muqāyadhah) adalah jual beli benda dengan benda.” (Dr. Muhammad Abdurrahman Abdul Mun’im, Mu’jam Al-Mushthalahāt wa Al-Alfāzh Al-Fiqhiyyah, hlm. 331).

Dari enam definisi tersebut, intinya sama, bahwa jual beli tukar guling/barter (bai’ al-muqāyadhah) adalah tukar menukar barang dengan barang.

Nah, berdasarkaan definisi syar’i untuk bai’ al-muqāyadhah (tukar guling/barter) tersebut, para ulama kemudian menetapkan syarat-syarat khusus bai’ al-muqāyadhah, ada 4 (empat) syarat sbb :

(1) أَنْ لَا يَكُوْنُ الْبَدَلَانِ فِيهَْا نَقْدًا، فَإِنْ كَانَا نَقْدَيْنِ كَانَ الْبَيْعُ صَرْفًا، وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا نَقْدًا فَالْبَيْعُ مُطْلَقٌ أَوْ سَلَمٌ.

Pertama, kedua barang yang dipertukarkan tidak boleh berupa uang. Jika keduanya berupa uang, maka jual beli tersebut merupakan sharaf (pertukaran mata uang). Jika salah satunya uang, maka jual beli tersebut merupakan jual beli mutlak (bai’ al-muthlaq) atau jual beli pesan (bai’ as-salam).

(2) أَنْ يَكُونَ كُلٌّ مِنْ الْبَدَلَيْنِ فِي الْمُقَايَضَةِ عَيْنًا مُعَيَّنَةً؛ لِأَنَّ بَيْعَ شَيْءٍ غَيْرِ مُعَيَّنٍ بِآخَرَ مُعَيَّنٍ لَيْسَ مُقَايَضَةً بَلْ هُوَ مِنَ الْبَيْعِ الْمُطْلَقِ أَيْ بَيْعِ الْعَيْنِ، وَلِأَنَّ الْمَبِيعَ إِذَا كَانَ دَيْنًا وَالثَّمَنَ سِلْعَةً، فَهُوَ مِنْ بَابِ السَّلَمِ

Kedua, bahwa masing-masing dua barang yang dipertukarkan dalam barter harus merupakan barang tertentu, karena menjual sesuatu yang tidak tertentu dengan sesuatu yang lain yang tertentu bukanlah barter (muqāyadhah). Sebaliknya, ini merupakan bentuk jual beli mutlak—yaitu menjual barang (dengan harga tertentu)— dan karena jika barang yang dijual merupakan utang dan harganya merupakan barang, maka ini termasuk dalam kategori jual beli pesan (bai’ as-salam).

(3) التَّقَابُضُ فِي الْمُقَايَضَةِ: بَيْعُ السِّلْعَةِ بِالسِّلْعَةِ يَقْتَضِي تَسْلِيمَهُمَا مَعًا، فَلَا يُؤْمَرُ أَحَدُ الْعَاقِدَيْنِ بِالتَّسْلِيمِ قَبْلَ صَاحِبِهِ، لِأَنَّ كُلًّا مِنْ السِّلْعَتَيْنِ مُتَعَيَّنٌ. وَلِأَنَّ الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِيَ مُسْتَوِيَانِ فِي حَقّ كُلٍّ مِنْهُمَا قَبْلَ التَّسْلِيْمِ، فَإِيْجَابُ تَقْدِيْمِ دَفْعِ أَحَدِهِمَا بِعَيْنِهِ عَلىَ اْلآَخَرَ تَحَكُّمٌ , فَيَدْفَعَانِ مَعاً

Ketiga, terjadi serah terima kontan (al-taqābudh) dalam al-muqāyadhah : Artinya, menjual satu barang dengan barang lain itu mengharuskan penyerahterimaan keduanya secara bersamaan. Maka tidak ada satu pihak yang diharuskan untuk menyerahkan terlebih dahulu (sedang yang lain menyerahkan kemudian), karena masing-masing dari kedua barang itu adalah barang yang sudah ditentukan, dan karena penjual dan pembeli memiliki hak yang sama sebelum penyerahan barang. Maka mengharuskan salah satu pihak untuk membayar barang tertentu sebelum pihak lainnya, adalah tindakan sewenang-wenang. Oleh karena itu, mereka berdua harus membayar secara bersamaan.

(4) أَنْ تَكُونَ الْمُقَايَضَةُ فِيمَا لَا يَجْرِي فِيهِ رِبَا الْفَضْلِ، لِأَنَّ رِبَا الْفَضْلِ مُحَرَّمٌ بِأَحَادِيثَ عَدِيدَةٍ مِنْهَا : حَدِيثُ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ :  «الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مَثَلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيْعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ» رواه مسلم

Keempat, pertukaran al-muqāyadhah tersebut haruslah berlangsung untuk selain benda-benda ribawi yang dapat terkena riba fadhl, karena riba fadhl diharamkan oleh banyak hadits, di antaranya oleh hadits dari Ubadah bin As-Shamit RA dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda,”Emas (ditukarkan) dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, haruslah semisal atau sama (takaran/beratnya), dan harus dari tangan ke tangan (kontan). Jika barang-barang (yang dipertukarkan) ini berbeda, maka juallah sesukamu, asalkan dengan kontan.“ (HR. Muslim).

Demikianlah empat syarat-syarat khusus yang ditetapkan para ulama untuk bai’ al-muqāyadhah, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai referensi (marāji’) fiqih sbb :

(1)  الموسوعة الفقهية الكويتية ج 38 ص 343-344
(2)  الفقه الميسر لعبد الله الطيار ج 6 ص 20
(3)  توحيد تقنينات الأزهر للشريعة الإسلامية لعبد الناصر توفيق العطار ج 1 ص 574
(4)  فقه البيوع لمحمد تقي العثماني ج 2 ص 658-660
(5)  شرح المجلة العدلية لسليم رستم باز اللبناني ص 57

1.Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz ke-38, hlm. 343-344.
2.Abdullah Al-Thayyār, Al-Fiqh Al-Muyassar, Juz VI, hlm. 20.
3.Abdul Nāshir Taufiq Al-‘Aththār, Tauhīd Taqnīnāt Al-Azhar li Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, Juz I, hlm. 574.
4.Muhammad Taqī Al-‘Utsmānī, Fiqh Al-Buyū’, Juz II, hlm. 658-660.
5.Salīm Rustum Bāz Al-Lubnānī, Syarah Al-Majallah Al-‘Adliyyah, hlm. 57.

Kesimpulannya, dari empat syarat untuk jual beli tukar guling (bai’ al-muqāyadhah) tersebut, jelaslah bahwa kasus tukar guling yang ditanyakan, yaitu tanah dan bangunan dari pihak pertama, ditukar dengan tanah saja tanpa bangunan, dari pihak kedua, adalah tidak sah (batal) menurut syariah Islam, karena tidak memenuhi syarat ke-3 dalam jual beli tukar guling (bai’ al-muqāyadhah), yaitu : التَّقَابُضُ فِي الْمُقَايَضَة, yaitu harus ada serah terima (taqābudh) barang dengan barang secara bersamaan; yaitu tanah dan bangunan, seharusnya ditukar dengan tanah dan bangunan juga, secara bersamaan.

Faktanya, pada saat akad tukar guling terjadi, yang dipertukarkan adalah tanah dan bangunan, ditukar dengan tanah saja tanpa bangunan, meski akhirnya bangunan akhirnya ada (terbangun) setelah tertunda beberapa waktu. Jadi tukar menukar kedua barang itu tidak terjadi secara bersamaan. Maka hukumnya jelas tidak sah menurut Hukum Islam. Demikianlah. Wallāhu a’lam.

 

Bogor, 6 Desember 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi