Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya :
Ustadz, beberapa waktu yang lalu ada fatwa seorang tokoh MUI Pusat bahwa nikah siri sah tapi haram. Beberapa hari kemudian fatwa itu berubah, bahwa nikah siri hukumnya haram, dengan alasan terlalu banyak mudharat untuk pihak perempuan. Bagaimana menurut Ustadz? (Mahmud, Wakatobi).
Jawab :
Nikah siri adalah pernikahan yang sah secara agama tetapi tidak dicatat secara resmi oleh negara, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum. Pernikahan ini dilakukan secara diam-diam atau tersembunyi tanpa adanya pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA), dengan berbagai alasan. Misalnya, dalam lingkungan ASN, diberlakukan PP No. 45 Tahun 1990 yang melarang ASN wanita menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat. Sedangkan untuk ASN pria yang ingin berpoligami, ia harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (2) PP No. 45 Tahun 1990 tersebut.
Nikah siri ini sebenarnya hukumnya sah menurut agama Islam, selama memenuhi segala rukun dan syarat nikah yang diwajibkan dalam Syariah Islam. Seperti adanya wali dari pihak perempuan, adanya dua orang saksi laki-laki yang adil, dan sebagainya. Hanya saja nikah siri memang tidak memberikan legalitas resmi, seperti buku nikah.
Namun demikian, harus diakui bahwa nikah siri dapat menimbulkan berbagai dampak buruk (mudharat). Misalnya tidak adanya perlindungan hukum bagi istri dan anak, ketika misalnya suami istri yang nikah siri itu bercerai, atau ketika terjadi pembagian waris dari suami yang meninggal, dsb.
Mungkin terjadinya dampak-dampak buruk (mudharat) inilah yang mendasari fatwa dari tokoh MUI Pusat tersebut, karena Islam memang mengharamkan terjadinya dampak buruk atau bahaya (mudharat), sesuai sabda Rasulullah SAW :
لاَ ضَررَ وَلاَ ضِرَارَ
”Tidak boleh menimbulkan bahaya (mudharat) bagi diri sendiri, atau bahaya (mudharat) bagi orang lain.” (lā dharara wa lā dhirāra). (HR. Al-Dāraquthnī, 3/77; Al-Hākim, no. 2345; Al-Baihaqī, no.11.717).
Selain itu, terdapat kaidah fiqih (al-qawā’id al-fiqhiyyah) yang mengharamkan terjadinya bahaya (mudharat) secara umum bagi umat Islam, seperti kaidah fiqih yang berbunyi :
اَلْأَصْلُ فِي الْمَضَارِّ التَّحْرِيْمُ
Al-Ashlu fī al-madhār al-tahrīm. Artinya, hukum asal segala sesuatu bahaya (mudharat) adalah haram. (Tājuddin As-Subkī, Jam’ul Jawāmi’, hlm. 109; Taqiyuddīn An-Nabhānī, Al-Syakshiyyah Al-Islāmiyyah, 3/458).
Dengan demikian, fatwa dari tokoh MUI tersebut masih dapat disebut pendapat yang Islami (al-ra`yu al-Islāmī), bukan fatwa yang batil atau tidak Islami. Hanya saja, fatwa tokoh MUI tersebut menurut kami kurang tepat jika mengharamkan nikah siri ini secara umum (general), tanpa melihat kasus demi kasus (case by case) bahwa nikah siri tak selalu menimbulkan dampak buruk. Bukankah tidak semua nikah siri itu bermasalah atau menimbulkan bahaya (mudharat)? Bukankah ada kasus-kasus tertentu dimana nikah siri itu justru menjadi solusi dan berlangsung baik-baik saja tanpa masalah yang berarti?
Atas dasar itu, menurut kami fatwa yang lebih tepat adalah fatwa yang sifatnya memberi rincian (tafshīl) hukum syara’ untuk nikah siri sebagai berikut;
Pertama, jika nikah siri yang akan dilakukan diduga kuat tidak akan menimbulkan berbagai bahaya (mudharat), maka nikah siri hukumnya boleh (mubah), dengan syarat memenuhi segala rukun dan syarat akad nikah secara syar’i.
Kedua, jika nikah siri tertentu diduga kuat akan menimbulkan berbagai bahaya (mudharat), maka barulah nikah siri hukumnya haram.
Dalilnya kaidah fiqih yang dirumuskan berdasarkan ijtihad Imam Taqiyuddin An-Nabhani:
كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ اْلأَمْرِ الْمُبَاحِ إِذَا كَانَ ضَارًّا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلىَ ضَرَرٍ حُرِّمَ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَظَلَّ اْلأَمْرُ مُبَاحًا
Kullu fardin mi afrād al-amri al-mubāhi idzā kāna dhārran aw mu`addiyan ilā dhararin hurrima dzālika al-fardu wa zhalla fardhu mubāhan. Artinya, setiap-tiap kasus dari kasus-kasus perkara yang hukumnya mubah, jika berbahaya atau dapat menimbulkan terjadinya bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan, tetapi perkara itu hukumnya tetap mubah (boleh). (Taqiyuddīn An-Nabhānī, Al-Syakshiyyah Al-Islāmiyyah, 3/458). Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 01 Desember 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
www.fissilmi-kaffah.com
www.shiddiqaljawi.com



















