Home Fiqih Fiqih Nikah MEMAHAMI PENGERTIAN NUSYUZ

MEMAHAMI PENGERTIAN NUSYUZ

14
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Tanya :

Ustadz, apa itu pengertian nusyuz? Kalau istri selingkuh, apakah termasuk nusyuz? (Hamba Allah, Bandung).

 

Jawab :

Pengertian nusyuz secara umum adalah ketidaktaatan istri kepada suaminya (‘ishyān al-mar`ati li-zaujihā). Hukumnya haram istri tidak taat (nusyuz) kepada suaminya, sesuai firman Allah SWT :

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۚ

“Istri-istri yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS. An-Nisā` : 34).

Ayat di atas telah mengharamkan istri untuk berbuat nusyuz. Lalu apa pengertian nusyuz itu secara lebih detail? Seperti telah disampaikan di atas, nusyuz itu dalam pengertian umumnya adalah ketidaktaatan istri kepada suaminya. Hanya saja para ulama berbeda pendapat mengenai ketidaktaan dalam hal apa istri itu dapat dikatakan nusyuz. Ulama Hanafiyyah mengatakan :

اَلنُّشُوْز هُوَ خُرُوْجُ الزَّوْجَةِ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا بِغَيْرِ حَقٍّ

Nusyuz adalah keluarnya istri dari rumah suaminya tanpa alasan yang benar menurut syara’.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 40/284).

Sedangkan menurut ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, nusyuz menurut mereka lebih umum, yaitu ketidaktaatan istri pada suaminya dalam perkara-perkara yang menjadi hak suami atas istrinya, tak sekedar keluarnya istri dari rumah suami tanpa alasan yang benar. Definisi nusyuz menurut mereka adalah :

اَلنُّشُوْزُ هُوَ خُرُوْجُ الزَّوْجَةِ عَنِ الطَّاعَةِ الْوَاجِبَةِ لِلزَّوْجِ

Nusyuz adalah keluarnya istri dari ketaatan yang sifatnya wajib terhadap suaminya.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 40/284).

Secara lebih spesifik, Imam Ibnu Qudamah (ulama Hanabilah) menjelaskan definisi nusyuz tersebut dengan disertai contoh-contohnya sebagai berikut :

وَقَالَ الْإِمَامُ ابْنُ قُدَامَةَ الْحَنْبَلِيُّ وَالنَّاشِزُ لَا نَفَقَةَ لَهَا، فَإِنْ كَانَ لَهَا مِنْهُ وَلَدٌ أَعْطَاهَا نَفَقَةَ وَلَدِهَا ، مَعْنَى النُّشُوزِ مَعْصِيَتُهَا لِزَوْجِهَا فِيمَا لَهُ عَلَيْهَا مِمَّا أَوْجَبَهُ لَهُ النِّكَاحُ. فَمَتَى امْتَنَعَتْ مِنْ فِرَاشِهِ، أَوْ خَرَجَتْ مِنْ مَنْزِلِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، أَوِ امْتَنَعَتْ مِنْ الِانْتِقَالِ مَعَهُ إلَى مَسْكَنِ مِثْلِهَا، أَوْ مِنْ السَّفَرِ مَعَهُ ، فَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا سُكْنَى فِي قَوْلِ عَامَّةِ أَهْلِ الْعِلْمِ ، مِنْهُمْ الشَّعْبِيُّ، وَحَمَّادٌ، وَمَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ، وَأَبُو ثَوْرٍ.
(الإمام ابن قدامة ،المغني، ج 8 ص 236  ط. مكتبة القاهرة)

Imam Ibnu Qudamah (ulama mazhab Hanbali) berkata, ”Istri yang melakukan nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah (dari suaminya). Makna nusyuz adalah ketidaktaatan istri kepada suaminya pada perkara-perkara yang menjadi hak suami atas istri sebagai konsekuensi wajib yang muncul dari akad nikah. Maka jika istri menolak digauli suaminya (tanpa udzur syar’i), atau keluar dari rumah suami tanpa seizin suami, atau menolak diajak pindah bersama suami ke rumah yang baru, atau menolak diajak bersafar bersama suami, maka istri (yang nusyuz) itu tidak berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal, menurut pendapat umumnya ulama. Di antara mereka adalah Al-Sya’bi, Hammad, Malik, Al-Awza’i, Al-Syafi’i, dan Ash-hab Al-Ra`yi, dan Abu Tsaur.” (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz XVII, hlm. 236, cet. Maktabah Al-Qahirah).

Berdasarkan penjelasan Imam Qudamah tersebut, jelaslah bahwa nusyuz itu meskipun benar secara umum merupakan ketidaktaatan istri kepada suami, namun ketidaktaatan ini sifatnya khusus pada perkara-perkara yang terkait hak dan kewajiban suami istri, sebagai akibat dari akad nikah. Perhatikan contoh-contoh nusyuz yang diberikan oleh Imam Qudamah :

Pertama, istri tidak mau melayani suami di tempat tidur.
Kedua, istri keluar rumah tanpa izin suami.
Ketiga, istri tidak mau pindah ke rumah yang baru bersama suami.
Keempat, istri tidak mau ikut bersafar bersama suami.

Jelaslah, bahwa nusyuz itu khusus berkaitan dengan ketidaktaatan istri pada suami, pada perkara-perkara yang menyangkut interaksi dalam hidup bersuami istri (al-hayat al-zawjiyyah), berupa berbagai hak dan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari akad nikah.

Dengan demikian, tepat sekali definisi nusyuz sebagai berikut, yang dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah, dalam Nasyrah Jawab Soal tertanggal 17 Pebruari 1972:

 النَّشُوزُ هُوَ مُخَالَفَةُ أَوَامِرِ الرَّجُلِ وَنَوَاهِيهِ، فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْحَيَاةِ الْخَاصَّةِ وَفِيمَا يَتَعَلَّقُ بِأُمُورِ الزَّوْجِيَّةِ. أَمَّا مَا عَدَا ذَلِكَ فَلَا يُعْتَبَرُ نُشُوزًا

Nusyuz adalah menyalahi perintah-perintah dan larangan-larangan dari suami, khususnya pada apa-apa yang berkaitan dengan kehidupan khusus dan pada perkara-perkara yang berkaitan interaksi suami istri. Adapun apa-apa yang selain itu, maka tidak dianggap nusyuz.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Nasyrah Jawab Soal, tertanggal 17 Pebruari 1972, dikutip dalam kitab Radd ‘Ala Kitab Al-Da’wah al-Islamiyyah, hlm. 221).

Dengan demikian, ketika istri tidak mau melayani suaminya di tempat tidur (ranjang), tanpa udzur syar’i misalnya sedang haid atau sedang sakit, jelas istri itu telah berbuat nusyuz, karena masalah ini merupakan perkara yang menjadi hak suami atas istrinya, sebagai konsekuensi wajib dari adanya akad nikah. Nabi Muhammad SAW bersabda:

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.

“Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi istrinya tidak mematuhinya, maka para malaikat akan melaknat istri itu sampai pagi.” (HR. Al-Bukhari,no. 5193).

Tetapi ketika istri tidak mau berbusana muslimah (berjilbab dan berkhimar) dalam kehidupan umum ketika suami memerintahkan hal itu, maka istri itu tidak dapat dikatakan telah berbuat nusyuz, karena istri itu walaupun secara zahirnya nampak seperti menyalahi perintah suami, namun hakikatnya istri itu secara langsung telah menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya, karena Allah dan Rasul-Nyalah yang telah mewajibkan jilbab dan khimar bagi wanita muslimah, baik wanita muslimah itu bersuami maupun tidak bersuami.

Perintah berjilbab (memakai gamis longgar yang terulur sampai ke bawah) bagi wanita muslimah adalah langsung dari Allah SWT :

يٰۤاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِیْنَ یُدْنِیْنَ عَلَیْهِنَّ مِنْ جَلَابِیْبِهِنَّ

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS. Al-Ahzab : 59).

Perintah berkhimar (mengenakan kerudung/hijab) bagi wanita muslimah, juga langsung dari Allah SWT :

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka (wanita beriman) menutupkan kain kerudung kedadanya,” (QS. An-Nur : 31).

Demikianlah pengertian nusyuz yang shahih, yang perlu dipahami oleh kita semua, khususnya suami istri. Meskipun ada sebagian ulama yang memasukkan ketidaktaatan istri dalam hak Allah, misalkan istri tidak mau sholat, sebagai bagian dari nusyuz, tetapi pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang mengkhususkan nusyuz itu pada ketidaktaatan istri kepada suaminya, pada perkara-perkara yang menyangkut hak dan kewajiban suami istri, sebagai konsekuensi dari akad nikah, seperti disebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah dan Imam Taqiyuddin An-Nabhani di atas. Wallahu a’lam.

 

Yogyakarta, 18 Juni 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi