Home Fiqih Fiqih Muamalah JIKA SEORANG SYARIK (MITRA SYIRKAH) MENINGGAL, BOLEHKAH DIGANTIKAN OLEH AHLI WARISNYA?

JIKA SEORANG SYARIK (MITRA SYIRKAH) MENINGGAL, BOLEHKAH DIGANTIKAN OLEH AHLI WARISNYA?

67

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :

Ustadz, salah satu mitra syirkah saya yang berkedudukan sebagai shāhibul māl meninggal dunia. Saya berkedudukan sebagai pengelola modal (mudhārib/’ āmil). Total ada enam orang sebagai pengelola modal (mudhārib/’ āmil), dan ada 50 (lima puluh) orang sebagai pemodal (shāhibul māl). Apakah boleh kedudukannya digantikan oleh ahli warisnya? (Hero Ridwanto, Bandung).

Jawab :

Jawaban untuk pertanyaan di atas, dilihat dulu berapa orang yang terlibat dalam syirkah mudhārabah tersebut :

Pertama, jika syirkahnya hanya terdiri dari dua orang saja, maka kematian salah satu syārik (mitra syirkah) berarti telah membatalkan syirkah yang ada. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 160).

Imam Ibnu Qudamah dalam masalah ini menjelaskan :

قال الإمام ابن قدامة رحمه الله “المغني” ج 5 ص 16 :

وَالشِّرْكَةُ مِنَ الْعُقُوْدِ الْجَائِزَةِ، تَبْطُلُ بِمَوْتِ أَحَدِ الشَّرِيْكَيْنِ، وَجُنُوْنِهِ، وَالْحَجَرِ عَلَيْهِ لِلسَّفْهِ، وَبِالْفَسْخِ مِنْ أَحَدِهِمَا؛ لِأَنَّهَا عَقْدٌ جَائِزٌ، فَبَطَلَتْ بِذَلِكَ، كَالْوَكاَلَةِ

Imam Ibnu Qudamah, rahimahullāh, dalam Al-Mughnī, 5/16, berkata, “Syirkah termasuk akad-akad yang jā’iz (tidak mengikat/ tidak lāzim), yang akan batal dengan matinya, atau gilanya, atau terkena hajar-nya (keputusan qadhi tidak boleh bermuamalah karena safīh/boros) bagi salah satu dari dua syarīk (mitra syirkah), dan juga batal dengan pembatalan salah satu dari kedua syarīk (mitra syirkah). Ini dikarenakan syirkah adalah akad jā’iz (tidak mengikat/tidak lāzim), maka akan batal dengan hal-hal tersebut (kematian, gila, dan hajar), seperti halnya akad wakālah. (Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, 5/16)

Kedua, jika syirkahnya terdiri dari tiga orang atau lebih, maka kematian salah satunya tidak otomatis membatalkan syirkah. Jika syarīk tersebut mempunyai ahli waris yang cakap (wārits rāsyid), dan disetujui oleh syarīk lainnya, maka ahli waris berhak menggantikan posisi syarīk yang meninggal dunia, dan syirkahnya dapat diteruskan tanpa ada pembubaran. Jika ahli waris menghendaki mundur dari syirkah, boleh. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 160).

Imam Ibnu Nujaim menjelaskan masalah ini dengan berkata :

قال الإمام ابن نجيم رحمه الله في البحر الرائق ج 5 ص 307 :

وَلَوْ كَانَ الشُّرَكَاءُ ثَلاَثَةً، فَمَاتَ أَحَدُهُمْ، حَتىَّ انْفَسَخَتِ الشِّرْكَةُ فِيْ حَقِّهِ، لَا تَنْفَسِخُ فِيْ حَقِّ الْباَقِيْنَ

Imam Ibnu Nujaim, rahimahullāh, dalam Al-Bahrur Rā`iq (5/307) berkata, “Jika jumlah syarīk-nya ada tiga orang (atau lebih), lalu salah satunya meninggal, maka syirkah telah batal bagi yang meninggal itu, namun tidak batal syirkahnya bagi para syarīk lainnya.” (Ibnu Nujaim, Al-Bahrur Rā`iq, 5/307). Wallāhu a’lam.

Yogyakarta, 23 November 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi