Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya :
Kyai mau bertanya. Bagaimana hukumnya jika menggunakan barang yang ketinggalan oleh pemiliknya? Contoh : ada yang ngopi di cafe, pas pulang tasnya ketinggalan. Apa boleh tas yang ketinggalan itu kita pakai ? Afwan (Irwansyah Daeng Kopi, Bandung)
Jawab :
Barang milik pelanggan cafe yang tertinggal tersebut dalam fiqih Islam disebut al-luqhatah (barang temuan), yang didefinisikan oleh fuqoha sebagai berikut :
اَللُّقَطَةُ شَرْعًا هِيَ اْلمَالُ الضَّائِعُ عَنْ رَبِّهِ يَلْتَقِتُهُ غَيْرُهَ، أَوِ الشَّيْءُ الَّذِيْ يَجِدُهُ الْمَرْأُ مُلْقىً فَيأْخُذُهُ أَمَانَةً
“Luqathah (barang temuan) menurut syariah adalah harta yang hilang dari pemiliknya yang ditemukan oleh orang lain, atau sesuatu yang ditemukan oleh seseorang dalam keadaan tergeletak, lalu dia mengambilnya sebagai barang amanah (titipan).” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 35/295).
Ada definisi lain yang sama maknanya, tetapi ada tambahan pengertian bahwa salah satu kriteria barang temuan (al-luqathah) itu adalah, barang itu tidak diketahui pemiliknya. Syekh Rawwas Qal’ah Jie menyebutkan :
اَللُّقَطَةُ هِيَ اْلمَالُ الَّذِيْ يُوْجَدُ مُلْقىً فَي الطَّرِيْقِ وَنَحْوِهِ وَلاَ يُعْرَفُ لَهُ صَاحِبٌ
“Luqathah (barang temuan) adalah harta yang ditemukan tergeletak di jalan dan di tempat sejenisnya, dan tidak diketahui pemiliknya.” (Rawwās Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqohā`, hlm. 362).
Jadi, kalau tas yang ketinggalan ini masih dapat dikenali siapa pemiliknya, misalnya tertera nama pemiliknya di tas tersebut, atau ada kartu identitas pemiliknya yang terdapat di dalam tas tersebut, berarti tas tersebut belum termasuk kategori barang temuan (luqathah), yang terdapat ketentuan syariah khusus untuk barang temuan (luqathah) tersebut. Jadi, tas itu tidak boleh digunakan oleh pemilik cafe, karena tas itu bukan miliknya, melainkan milik seorang pelanggan yang sudah diketahui identitasnya. Tas ini menjadi amanah yang wajib dijaga oleh pemilik kafe, dan selanjutnya pemilik kafe tinggal menghubungi pemiliknya untuk mengambil tas tersebut.
Adapun jika tersebut tas tersebut sama sekali tidak ada identitas siapa pemiliknya, dan tas tersebut cukup bernilai, dalam arti bukan barang yang murah harganya, dan sifatnya dapat disimpan atau dapat bertahan lama, maka berlakulah pada tas tersebut ketentuan syariah khusus untuk barang temuan (luqathah). Ketentuan syariahnya adalah : wajib hukumnya diumumkan terlebih dulu kepada publik selama satu tahun (dalam kalender hijriyah). Jika pemiliknya datang, berikanlah barang temuan itu kepada pemiliknya. Tetapi jika pemiliknya tidak datang, setelah diumumkan selama satu tahun hijriyah, barang temuan ini boleh dimiliki oleh penemunya, dan dengan demikian, boleh digunakan oleh penemunya itu, Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
مَا كَانَ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمِيتَاءِ أَوْ الْقَرْيَةِ الْجَامِعَةِ فَعَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا فَادْفَعْهَا إِلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَأْتِ فَهِيَ لَكَ، وَمَا كَانَ فِي الْخَرَابِ يَعْنِي فَفِيهَا وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ
”Apa yang ditemukan di jalan yang dilalui orang atau di kampung yang ditinggali penduduk, maka umumkanlah selama setahun. Jika datang orang yang mencarinya, serahkan barang itu kepadanya. Jika tidak ada yang datang, maka itu untukmu. Dan apa yang ditemukan di reruntuhan (bukan jalan yang dilalui umum), maka padanya, dan pada rikāz (harta yang terpendam di dalam tanah), ada kewajiban khumus (mengeluarkan seperlima dari harganya).” (HR. Abu Dawud, no. 1710).
Dengan demikian, jelaslah bahwa jika tas yang tertinggal di cafe tersebut tidak diketahui siapa pemiliknya, pemilik kafe tidak boleh menggunakannya. Pemilik kafe sebagai pihak penemu, wajib mengumumkan terlebih dahulu barang temuan (al-luqathah) tersebut selama satu tahun (hijriyah). Jika dalam jangka waktu satu tahun itu pemilknya datang dan mengklaim barangnya, berikanlah kepadanya. Namun jika tidak datang, barang itu baru boleh dimiliki dan digunakan oleh pemilik kafe.
Perlu kami tambahkan, jika tas yang ketinggalan itu harganya murah, semisal tas belanja dari Indomaret atau Alfamaret atau yang semisalnya, yang patokannya kalau hilang tidak dicari oleh pemiliknya, boleh hukumnya secara syariah langsung dimiliki oleh penemunya, tanpa ada kewajiban untuk mengumumkannya kepada masyarakat terlebih dahulu. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fi Al-Islām, hlm. 124). Dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah RA sbb :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَخَّصَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعَصَا وَالسَّوْطِ وَالْحَبْلِ وَأَشْبَاهِهِ يَلْتَقِطُهُ الرَّجُلُ يَنْتَفِعُ بِهِ
Dari Jabir bin Abdullah RA, ia berkata,”Rasulullah SAW telah memberikan keringanan (rukhshah) kepada kami untuk barang temuan berupa tongkat, cambuk, tali dan yang semisalnya, yang ditemukan dan dimanfaatkan oleh seseorang (penemunya).” (HR. Abu Dawud, no. 1459). Wallahu a’lam.
Bandung, 9 Maret 2024 Muhammad Shiddiq Al-Jawi