Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya :
Bagaimana menyikapi kedatangan pengungsi Rohinnya di Aceh? Hingga saat ini 1.648 warga Rohingya berada di delapan penampungan di Aceh. Namun, kedatangan pengungsi Rohingya kali ini disambut dengan sejumlah penolakan dengan bermacam-macam alasan. Wajibkah umat Islam di Aceh khususnya menolong Rohingya? Bolehkah mereka menolak pengungsi Rohingya tersebut?
Jawab :
Terdapat tiga hukum syara’ untuk menjawab pertanyaan tersebut :
Pertama, wajib hukumnya muslim di Indonesia umumnya, dan Aceh khususnya, menolong muslim Rohingya, dengan berbagai macam pertolongan yang diperlukan, baik memberi pakaian, makanan, tempat tinggal, pekerjaan, dan sebagainya.
Kedua, sebaliknya haram hukumnya muslim Indonesia tak mau memberi pertolongan atau mengusir muslim Rohingya keluar dari Indonesia.
Ketiga, adanya berbagai hal atau perilaku negatif dari Muslim Rohingya tidak menghapuskan kewajiban menolong mereka.
Hukum Syara’ Pertama, Wajib Hukumnya Muslim Di Indonesia Umumnya, Dan Aceh Khususnya, Menolong Muslim Rohingya
Mengenai wajibnya menolong muslim Rohingya, sebabnya karena mereka itu adalah orang-orang yang dizhalimi (mazhlūm) مَظْلُوْمٌ) ), padahal menolong orang yang dizhalimi itu wajib hukumnya dalam agama Islam نُصْرَةُ الْمَظْلُوْمِ وَاجِبٌ شَرْعِيٌّ (nushrotul mazhlūm wājibun syar’i).
Muslim Rohingya itu di negara asalnya, Burma (Myanmar), tinggal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Namun, keberadaan mereka tidak diakui sebagai warga negara oleh Myanmar. Mereka tidak dimasukkan ke dalam sensus. Mereka pun tidak termasuk di antara 135 etnis resmi yang diakui oleh negara Myanmar. Karena tak diakui oleh negaranya sendiri, Muslim Rohingya mengalami diskriminasi. Contoh diskriminasi, bisa dilihat dalam Undang-undang Kewarganegaraan 1982 yang tidak mengakui keberadaan etnis Rohingya tersebut. Warga Rohingya dianggap sebagai kaum ilegal di Myanmar. Mereka tidak berhak mendapatkan pelayanan apapun, termasuk perlindungan, dari Pemerintah Junta Militer Myanma. Sejak itu etnis Rohingya sudah beberapa kali mengalami operasi militer pemusnahan etnis atau genosida.
Menurut catatan Médecins Sans Frontières (MSF), aksi keji ini dimulai dengan Operasi Raja Naga yang dilakukan oleh Myanmar pada 1977 – 1978. Operasi tersebut menyebabkan 200.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Muslim Rohingya diburu, dipenjara, disiksa dan dibunuh. Sebagian kaum Muslimahnya diperkosa oleh militer Myanmar. Pemukiman dan masjid-masjid mereka dimusnahkan. Operasi genosida ini dilakukan oleh pasukan militer dan kaum Budha radikal yang dipimpin oleh Biksu Ashin Wiratu.
Ringkasnya, muslim Rohingya adalah kaum muslim yang terzalimi (mazhlūm). Maka terhadap fakta bahwa mereka adalah muslim yang dizhalimi, sudah jelas ketentuannya dalam agama Islam, yaitu menolong orang yang dizhalimi itu wajib hukumnya dalam agama Islam (nushrotul mazhlūm wajibun syar’i). (Bulletin Kaffah, Wajib Menolong Muslim Rohingya, Edisi Jumat 8 Desember 2023).
Adapun dalil-dalil wajibnya menolong sesama muslim yang dizhalimi di antaranya adalah :
Dalil pertama, hadits Barra` bin ‘Azib RA sbb :
عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنْ سَبْعٍ وَأمَرَنَا بِسَبْعٍ : بعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، واتِّبَاعِ الجِنَازَةِ، وتَشْمِيتِ العَاطِسِ، وإجَابَةِ الدَّاعِي، وإفْشَاءِ السَّلَامِ، ونَصْرِ المَظْلُومِ، وإبْرَارِ المُقْسِمِ. رواه البخاري
Dari Barra` bin ‘Azib RA,”Bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan kita tujuh perkara dan melarang kita dari tujuh perkara; Rasulullah SAW memerintahkan kita :
- menjenguk orang sakit,
- mengantarkan jenazah [ke pemakaman],
- mendoakan orang bersin,
- memenuhi undangan [walimah],
- menyebarkan salam,
- menolong orang yang dizalimi, dan
- memenuhi sumpah,… (HR. Bukhari, no. 5635).
Imam Nawawi memberi penjelasan (syarah) hadits di atas dengan berkata :
أَمَّا نَصْرُ الْمَظْلُومِ فَمِنْ فُرُوْضِ الْكِفَايَة، وَهُوَ مِنْ جُمْلَة الْأَمْر بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَر, وَإِنَّمَا يَتَوَجَّه الْأَمْرُ بِهِ عَلَى مَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ وَلَمْ يَخَفْ ضَرَرًا
“Adapun menolong orang yang dizalimi, hukumnya fardhu kifayah, dan termasuk ke dalam kategori amar ma’ruf nahi mungkar. Perintah untuk melaksanakan fardhu kifayah ini tertuju kepada orang yang mampu melaksanakannya dan yang tidak khawatir akan terjadinya suatu mudharat (bahaya).” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz XIV, hlm. 32).
Dalil kedua, hadits Abdullah bin ‘Umar RA sbb :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. رواه البخاري
Dari Abdullah bin ‘Umar RA,”Bahwa Rasulullah SAW bersabda,” Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh membiarkannya (untuk disakiti atau dizalimi). Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barang siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutupi (aibnya) pada hari kiamat. (HR. Bukhari, no. 2262).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani memberi penjelasan (syarah) hadits di atas dengan berkata :
وَلَا يُسْلِمُهُ : أَيْ لَا يَتْرُكُهُ مَعَ مَنْ يُؤْذِيه وَلَا فِيمَا يُؤْذِيه ، بَلْ يَنْصُرُهُ وَيَدْفَعُ عَنْهُ
“Sabda Nabi SAW),”dan tidak boleh membiarkan dia (sesama muslim)” (wa lā yuslimuhu), maksudnya adalah (tidak boleh) membiarkan sesama muslim untuk tetap bersama orang yang menyakitinya dan membiarkan dia tetap mengalami apa yang menyakitinya, bahkan wajib menolong dan membela dia.” (Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bāri, Juz VII, hlm. 346).
Dalil ketiga, hadits Anas bin Malik RA sbb :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اُنْصُرْ أخَاكَ ظالِمًا أوْ مَظْلُومًا. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، أنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُوْمًا، أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا، كَيْفَ أنْصُرُهُ؟ قَالَ: تَحْجُزُهُ -أوْ تَمْنَعُهُ- مِنَ الظُّلْمِ؛ فَإنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ. رواه البخاري
Dari Anas bin Malik RA,”Bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.” Berkata seorang laki-laki,”Saya faham menolong orang yang dizalimi, tapi bagaimana saya harus menolong orang yang berbuat zalim?” Rasulullah SAW bersabda,”Kamu mencegahnya, yaitu melarangnya dari berbuat zalim.” (HR. Bukhari, no. 2444).
Dalil-dalil di atas, dan yang semisalnya, dengan sangat jelas menunjukkan menolong orang yang dizhalimi itu wajib hukumnya dalam agama Islam (nushrotul mazhluum wajibun syar’i).
Maka dari itu, sikap yang jelas dan benar menurut Islam, adalah wajib hukumnya muslim Indonesia umumnya, dan Aceh khususnya, untuk memberi pertolongan kepada muslim Rohingya yang dizalimi oleh penguasa Budha kafir di negaranya (Myanmar).
Hukum Syara’ Kedua, Haram Hukumnya Tidak Mau Memberi Pertolongan Dan Malah Mengusir Muslim Rohingya
Sebaliknya, seperti sudah kami sampaikan sebelumnya, haram hukumnya muslim Indonesia umumnya, dan muslim Aceh khususnya, tidak mau memberi pertolongan dan malah mengusir Muslim Rohingya keluar dari Indonesia. Padahal mereka sangat memerlukan pertolongan kita dan dalam kondisi yang sangat tertindas.
Dalil haramnya menolak Muslim Rohingya dari Aceh adalah dalil-dalil sebagai berikut :
Dalil pertama, hadits Abu Hurairah RA sbb :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ. رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah bersabda,’Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzaliminya, tidak menelantarkannya (tak mau memberi pertolongan kepadanya), dan tidak merendahkannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi menjelaskan kata “al-khadhlu” (اَلْخَذْلُ) yang menjadi kata dasar dari kata “yakhdulu” يَخْذُلُ)) dalam hadits Nabi SAW di atas, dengan berkata :
وقَالَ الْعُلَمَاء : الْخَذْلُ تَرْكُ الْإِعَانَةِ وَالنَّصْرِ ، وَمَعْنَاهُ إِذَا اِسْتَعَانَ بِهِ فِي دَفْع ظَالِم وَنَحْوِهِ لَزِمَهُ إِعَانَته إِذَا أَمْكَنَهُ ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ عُذْرٌ شَرْعِيٌّ
“Para ulama berkata, kata “al-khadhlu” اَلْخَذْلُ artinya adalah tidak mau membantu dan memberi pertolongan. Maknanya adalah, jika seorang muslim meminta tolong kepada muslim lainnya untuk menolak perbuatan orang zalim, dan semisalnya, wajib dia menolongnya jika dia mampu dan tidak ada udzur syar’i.” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz VIII, hlm. 361).
Dalil kedua, hadits Jabir bin Abdillah RA dan Abu Thalhah bin Sahal Al-Anshari RA sbb :
عَنْ جَابِربْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَأَبِيْ طَلْحَةَ بْنِ سَهْلٍ الْأَنْصَارِيِّ يَقُولَانِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ امْرِئٍ يَخْذُلُ امْرَأً مُسْلِمًا فِي مَوْضِعٍ تُنْتَهَكُ فِيهِ حُرْمَتُهُ وَيُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ إِلَّا خَذَلَهُ اللَّهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ وَمَا مِنْ امْرِئٍ يَنْصُرُ مُسْلِمًا فِي مَوْضِعٍ يُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ وَيُنْتَهَكُ فِيهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلَّا نَصَرَهُ اللَّهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ نُصْرَتَهُ. رواه أبوداود
Dalil kedua, dari Jabir bin Abdullah dan Abu Thalhah bin Sahl Al-Anshari RA keduanya berkata, “Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah seseorang tak mau menolong seorang muslim pada suatu tempat yang kehormatannya terampas dan harga dirinya terlecehkan, melainkan Allah tiada akan menolongnya pada suatu tempat yang ia sangat mengharapkan pertolongan-Nya. Dan tidaklah seseorang menolong seorang muslim yang berada pada suatu tempat yang kehormatannya terampas dan harga dirinya terlecehkan di dalamnya, melainkan Allah akan menolongnya pada suatu tempat yang ia sangat mengharapkan pertolongan-Nya.” (HR. Abu Dawud, no. 4240)
Dalil ketiga, hadits Sahal bin Hanif RA sbb :
عَنْ سَهْلِ بْنِ حَنِيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ، فَلَمْ يَنْصُرْهُ وَهُوَ قَادِرٌ عَلىَ أنْ يَنْصُرَهُ؛ أَذَلَّهُ اللهُ عَلىَ رُؤُوْسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. رواه أحمد
Dalil ketiga, dari Sahal bin Hanif RA, dia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,’Barangsiapa yang di sisinya ada seorang mukmin yang dihinakan, tetapi dia tidak mau menolongnya padahal dia mampu menolongnya, maka Allah akan menghinakan dia di hadapan seluruh makhluk pada Hari Kiamat kelak.” (HR Ahmad).
Dalil-dalil di atas, dan yang semisalnya, dengan sangat jelas menunjukkan haram hukumnya muslim Indonesia umumnya, dan muslim Aceh khususnya, tidak mau memberi pertolongan dan malah mengusir Muslim Rohingya keluar dari Indonesia. Padahal mereka sangat memerlukan pertolongan kita, dan pada saat yang sama sesungguhnya muslim Aceh secara umum mampu memberi pertolongan itu.
Wahai Kaum Muslimin Aceh,
Apakah sudah tiada lagi tengah Anda, ulama-ulama mukhlis yang menasehati Anda untuk wajib menolong Muslim Rohingya?
Apakah sudah tiada lagi di tengah Anda, pemimpin-pemimpin muslim yang bertanggung jawab yang memperhatikan nasib sesama muslim?
Wahai Kaum Muslimin Aceh,
Apakah sudah begitu miskinnya Anda sehingga Anda tidak mampu menolong saudara kita sesama Muslim dari Rohingya?
Apakah sudah begitu teganya hati Anda, mengusir saudara sesama Muslim Rohingya ke laut lepas? Puaskah hati Anda melihat mereka terombang-ambing antara hidup mati di laut lepas yang ganas, tanpa makanan tanpa minuman? Puaskah Anda? Puaskah? Puas? Ya Allah…
Hukum Syara’ Ketiga, Berbagai Hal Atau Perilaku Negatif Dari Muslim Rohingya Tidak Menghapuskan Kewajiban Menolong Mereka
Kedatangan pengungsi Rohingya kali ini disambut dengan sejumlah penolakan dengan bermacam-macam alasan, di antaranya :
- Muslim Rohingya itu orang yang makannya banyak, sekali makan 3 piring, lebih banyak dari orang Indonesia.
- Muslim Rohingya itu di tempat penampungan suka bikin onar dan ulah, memecahkan kaca-kaca kantor, dsb
- Muslim Rohingya itu, tak ubahnya seperti orang Yahudi yang berimigrasi ke Palestina, yaitu akan merampas dan menduduki tanah Aceh.
- Muslim Rohingya itu mendarat ke Aceh hanya untuk mencari kerja, bukan mengungsi.
- Muslim Rohingya itu tidak jelas apa agamanya, disuruh membaca Al Qur`an saja tidak bisa. Dan seterusnya.
Apakah alasan-alasan ini dan semisalnya, dapat menggugurkan kewajiban menolong sesama Muslim dari Rohingya? TIDAK !
Bermacam-macam alasan tersebut, kalau memang betul ada faktanya, maka :
Pertama, harus diselesaikan masalahnya case by case, kasus demi kasus, dengan penuh kesabaran dan ukhuwwah Islamiyyah.
Kedua, kasus-kasus yang negatif tersebut, kalau memang ada, sesungguhnya TIDAK menggugurkan kewajiban menolong Muslim Rohingya.
Sekali lagi kami tegaskan, kasus-kasus yang negatif tersebut, kalau memang ada, sesungguhnya TIDAK sama sekali menggugurkan kewajiban menolong Muslim Rohingya.
Dalam Syariah Islam itu, jika ada efek negatif dari suatu kewajiban, maka yang dihilangkan adalah efek negatif-nya, bukan kewajibannya. Hal ini berdasarkan kaidah fiqih :
اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلىَ مَا كَانَ
“Pada dasarnya suatu hukum itu tetap sebagaimana apa adanya (tidak berubah kecuali ada dalil syar’i).” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 9/159)
Contoh :
Dalam pelaksanaan kewajiban haji, kadang banyak korban jiwa seperti kasus Terowongan Mina.
Maka yang dihilangkan adalah faktor-faktor penyebab terjadinya korban jiwa, bukan menghapuskan kewajiban hajinya.
Contoh lain :
Dalam pelaksanaan kewajiban zakat, misalnya saat pembagian zakat, kadang ada korban jiwa yang jatuh karena berdesak-desakan. Maka yang dihilangkan adalah faktor-faktor penyebab terjadinya korban jiwa, bukan menghapuskan kewajiban zakatnya. Demikian seterusnya.
Maka dari itu, jika dalam pelaksanaan kewajiban menolong Muslim Rohingya ini terjadi berbagai hal atau efek yang negatif, maka yang dihilangkan adalah berbagai hal atau efek negatifnya itu, BUKAN MENGHILANGKAN KEWAJIBAN MENOLONG-NYA.
Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah.
Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 20 Desember 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi