Home Soal Jawab Fiqih AKAD BONUS UNTUK PEKERJA YANG SUDAH MENDAPAT GAJI

AKAD BONUS UNTUK PEKERJA YANG SUDAH MENDAPAT GAJI

47
Close up Businessman in Black Suit Putting Small Wooden Piece with Bonus Text to Front Pocket. A Simple Company Bonus Concept.
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer

 

Tanya :

Assalamu’alaikum Wr Wb.

Ustadz, ijin bertanya. Staff kami aqadnya Ijarah. Untuk aqad bonus yang tepat seperti apa, Tadz? Misal jika closing rumah (misal harga rumah Rp 500 juta), yang tepat yang mana Ustadz dari beberapa alternatif berikut ini : 1. staff mendapatkan bonus 1% dari nilai closing?, 2. Ataukah lebih tepat ditetapkan nilainya, misal setiap closing dapat Rp 5 juta?, 3. Atau bonus untuk staff tidak perlu disampaikan nilainya, bagaimana nanti saja saat closing? (Dandi, Bandung).

 

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuhu.

Pemberian bonus untuk karyawan yang sudah mendapat gaji, secara syariah dibolehkan dan tidak masalah. Namun disyaratkan bahwa penggabungan akad ijārah dengan akad bonus tersebut, tidak terdapat klausul atau persyaratan yang menggabungkan akad ijārah dengan akad bonus secara mengikat (mulzim).

Misalnya, pada saat akad ijarah antara perusahaan dengan karyawan saat rekrutmen, terdapat klausul,”Bahwa Perusahaan wajib memberikan bonus kepada karyawan.” Ini klausul yang tidak dibolehkan secara syariah.

Ketidakbolehannya karena dalam penggabungan akad ijārah dengan akad bonus yang bersifat mengikat tersebut, berarti telah terjadi pelaksanaan satu akad yang mempersyaratkan akad lain, yang tidak dibolehkan dalam syariah. Syarat yang demikian itu (yaitu satu akad menjadi syarat bagi akad yang lain), merupakan syarat yang fāsid, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah, Al-Syarh Al-Kabīr ‘Ala Al-Muqni’, 4/53; Al-Mughni, 4/290). (Muhammad Taqy Al-‘Utsmāni, Buhūts fī Qadhāyā Fiqhiyyah Mu’āshirah, Juz I, hlm. 247).

Dalil tidak bolehnya satu akad mensyaratkan akad yang lain, adalah hadits-hadits Rasulullah SAW. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

(1) Hadits dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

“Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan di dalam satu kesepakatan.” (HR Ahmad).

(2) Hadits dari Abu Hurairah RA, dia berkata :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Rasulullah SAW telah melarang dua jual-beli dalam satu jual-beli.” (HR Tirmidzi).

(3) Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi SAW telah bersabda :

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِيْ بَيْعٍ

“Tidak halal menggabungkan akad salaf (qardh/pinjaman) dengan akad jual beli, dan tidak halal pula ada dua syarat dalam satu jual beli.” (HR. Tirmidzi).

Hadits-hadits tersebut merupakan dalil tidak bolehnya satu akad mensyaratkan akad yang lain. Jika ada syarat yang demikian, maka syarat tersebut hukumnya adalah fāsid, sebagaimana pendapat Imam Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah, Al-Syarh Al-Kabīr ‘Ala Al-Muqni’, 4/53; Al-Mughni, 4/290).

Kesimpulannya, penggabungan akad ijarah dengan akad bonus hukumnya secara syariah ada rincian (tafshīl) sebagai berikut :

Pertama, hukumnya tidak boleh jika akad ijarah dan akad bonusnya, digabungkan jadi satu akad secara mengikat (mulzim), dalam arti akad ijarah mensyaratkan adanya akad bonus.

Kedua, hukumnya boleh jika akad ijarah dan akad bonusnya, tidak digabungkan jadi satu akad secara mengikat (mulzim), dalam arti akad ijarah tidak mensyaratkan terjadinya akad bonus.

Penggabungan akad ijārah dengan akad bonus yang diperbolehkan, ditandai dengan pelaksanaan akad masing-masing secara terpisah satu sama lain, satu satu akad tidak mensyaratkan akad lainnya, dengan majelis akad yang terpisah atau sendiri-sendiri. Misalnya, akad ijārah dilakukan hari Senin, sedangkan akad bonusnya dilaksanakan pada hari Selasa, dsb. (Muhammad Taqy Al-‘Utsmāni, Buhūts fī Qadhāyā Fiqhiyyah Mu’āshirah, Juz I, hlm. 247).

Adapun akad bonusnya itu sendiri, yaitu pemberian bonus dari perusahaan kepada para pekerja, dapat memilih dari beberapa akad syariah yang diperbolehkan, misalnya :

Pertama, akad ju’ālah (sayembara), atau
Kedua, akad wakālah bil ujrah (mewakilkan dengan memberi upah), atau
Ketiga, akad samsarah (perantara dalam jual beli).

Masing-masing akad tersebut, mempunyai objek akad (ma’qūd ‘alaihi) dan akibat hukum yang berbeda-beda. Hal ini wajib diperhatikan oleh siapa pun yang hendak mengamalkan salah satu dari akad-akad tersebut.

Jika bonus menggunakan akad ju’ālah (sayembara), maka bonus hanya diberikan jika karyawan sudah berhasil mendapat hasil kerja (out put), yaitu deal (closing) (terjadinya akad jual beli). Jadi jika karyawan sudah bekerja, tapi belum mendapat hasil kerja, yaitu berupa closing, maka karyawan tidak berhak mendapat bonus. Dalam akad ju’ālah, penetapan besarnya bonus sama dengan akad ijarah, yaitu wajib berupa nominal yang fix, misal Rp 5 juta per bulan, tidak boleh berupa persentase dari harga barang, misal 1% dari harga rumah.

Jika bonus menggunakan akad wakālah bil ujrah (mewakilkan dengan memberi upah), maka bonus diberikan jika karyawan sudah bekerja, walau pun karyawan itu belum mendapat hasil kerja (out put), yaitu deal (closing). Jadi jika karyawan sudah bekerja, tapi belum mendapat hasil kerja, karyawan tetap berhak mendapat bonus. Dalam akad wakālah bil ujrah, penetapan besarnya bonus sama dengan akad ijārah, yaitu wajib berupa nominal yang fix, misal Rp 5 juta per bulan, tidak boleh berupa persentase dari harga barang, misalkan 1% dari harga rumah.

Jika bonus menggunakan akad samsarah (perantara jual beli),, maka bonus diberikan jika karyawan sudah mendapat hasil kerja (out put), yaitu deal (closing). Jadi jika karyawan sudah bekerja, tapi belum mendapat hasil kerja, karyawan tidak berhak mendapat bonus. Dalam akad samsarah, penetapan besarnya bonus bersifat fleksibel, yaitu ada banyak cara, berbeda dengan akad ijārah. Jadi boleh berupa nominal yang fix, boleh berupa persentase dari harga rumah, boleh berupa kelebihan harga dari harga pokok penjualan (HPP), dsb. (Yūsuf Al-Qaradhāwi, Al-Halāl wa Al-Harām fi Al-Islām, hlm.226-227). Wallāhu a’lam.

 

Bandung, 8 Desember 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi