Home Fiqih Fiqih Muamalah HUKUM MEMBELI BARANG SITAAN BANK

HUKUM MEMBELI BARANG SITAAN BANK

111

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer

 

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya membeli barang sitaan bank? (M. Hatta Syahrir, Makassar)

 

Jawab :

Haram hukumnya membeli barang sitaan bank, yaitu agunan utang dari debitur yang gagal bayar (default), dengan 3 (tiga) alasan berikut ini :

Pertama, karena bank tidak berhak menyita agunan utang milik debitur yang gagal bayar. Dalam Islam, jika debitur mengalami gagal bayar, maka yang dilakukan bukanlah bank menyita agunan utang, melainkan debitur menjual agunan itu untuk melunasi utang, baik debitur itu kemudian menjual agunan itu kepada kreditur, ataupun menjualnya kepada pihak lain selain kreditur.

Jadi, penyitaan agunan utang oleh bank itu tidak sah menurut hukum Islam, karena agunan utang itu sebenarnya masih hak miliknya pihak debitur, walaupun debitur itu mengalami gagal bayar. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :

لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ ، لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

 

“Tidaklah suatu barang gadai (agunan utang) menjadi hilang bagi pemiliknya bila ia tidak menebusnya pada waktunya. Setiap kenaikan nilainya menjadi miliknya dan segala kerugian menjadi tanggungannya.” )HR. Ad-Daraquthni, 3/33; Al-Hakim, 2/51; dari Sa’id bin Al-Musayyab).

 

Hadits tersebut menjelaskan bahwa ketika pihak debitur gagal bayar, atau dengan kata lain, ketika debitur tidak mampu menebus barang yang digadaikannya, maka barang gadai (agunan utang) itu tidaklah otomatis menjadi hak miliknya pihak kreditur, tetapi masih tetap menjadi hak miliknya debitur. Inilah hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang telah menghapuskan tradisi muamalah Jahiliyyah yang menetapkan kalau debitur gagal bayar, maka barang gadai otomatis menjadi miliknya kreditur. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/339).

 

Kedua, karena barang itu sebenarnya bukan milik bank, melainkan masih hak milik debitur yang gagal bayar tersebut. Oleh karenanya, jika bank menyita agunan utang tersebut, lalu bank menjual agunan itu melalui suatu pelelangan, berarti bank telah menjual barang yang bukan miliknya. Padahal Islam telah tegas melarang untuk menjual apa-apa yang bukan milik penjual, sesuai sabda Rasulullah SAW yang bermakna umum berikut ini :

 

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

 

“Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (Arab : lā tabi’ mā laysa ‘indaka) (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

 

Salah satu pengertian dari “apa-apa yang tidak ada di sisimu” (مَا لَيْسَ عِنْدَكَ) adalah “apa-apa yang bukan milikmu,” ( مَا لَيْسَ فِيْ مِلْكِكَ), misalnya barang itu milik tetanggamu, atau milik temanmu, atau barang itu milik debiturmu yang gagal bayar, dsb. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/390).

 

Ketiga, karena agunan utang (rahn) di bank ini merupakan muamalah cabang, yang lahir dari muamalah pokok, yaitu utang piutang yang bersifat ribawi. Maka dari itu, muamalah cabang berupa agunan utang di bank ini hukumnya haram, karena muamalah pokoknya sudah haram. Kaidah fiqih menegaskan :

 

إِذَا سَقَطَ الْأَصْلُ سَقَطَ الْفَرْعُ

 

“Jika masalah pokok telah gugur, maka gugur pula masalah cabangnya.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 1/271; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5/58).

 

Kesimpulannya, berdasarkan tiga alasan di atas, membeli barang sitaan bank haram hukumnya dalam Syariah Islam. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 14 September 2023

 

Muhammad Shiddiq Al Jawi