Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Muamalah
Ulil Abshar Abdalla (selanjutnya disebut Ulil, tanpa mengurangi rasa hormat), dalam sebuah video ceramahnya yang beredar luas baru-baru ini di sosmed, membuat dikotomi yang menarik untuk Khilafah. Dalam agenda yang disebut Halaqah Internasional yang diadakan malam Ahad Kliwon tanggal 22 Juli 2023, di Gedung Menara Kudus, Ulil menjelaskan, walau Khilafah Utsmaniyyah sudah runtuh, tapi runtuhnya itu hanyalah Khilafah secara Siyasiyah, yakni Khilafah dalam bentuk negara. Namun demikian, Khilafah secara tsaqofiyyah, yang menurut Ulil adalah Khilafah secara keilmuan, sebenarnya terus hidup hingga sekarang khususnya di pesantren, dalam bentuk thareqat-thareqat, yang salah satunya adalah Thareqat Naqsabandiyyah, yang kata Ulil dibentuk pada masa Khilafah Utsmaniyyah. Jadi, kesimpulan Ulil, pesantren itu adalah pelanjut Khilafah secara tsaqofiyyah itu, yaitu Khilafah secara keilmuan.
Demikianlah Ulil berkhotbah menggurui dan membodohi umat Islam yang mengajak umat Islam menolak Khilafah Islamiyah dengan membuat dikotomi Khilafah menjadi Khilafah Siyasiyah dan Khilafah Tsaqofiyyah. Ide Ulil ini perlu diberi kritik-kritik secukupnya. Ada empat kritik saya untuk Ulil, sebagai berikut :
Kritik Pertama, dikotomi Khilafah Siyasiyah dan Khilafah Tsaqofiyyah itu kontradiktif dengan fiqih Islam, karena bertentangan dengan hukum wajibnya Khilafah. Dalam kitab-kitab fiqih, Khilafah yang sinonim dengan Imamah itu, hukumnya adalah wajib. Syekh Abdurrahman Al-Juzairi, dalam kitab fiqihnya Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzāhib Al-Arba’ah menegaskan,”ittifaqal a’immatu rahimahumullahu ta’āla ‘ala annal imāmatu fardhun, artinya,”Para imam yang empat, yaitu Imam abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad, semoga Allah memberi rahmat kepada mereka, telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu (wajib).” (Abdurrahman Al-Juzairi, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzāhib Al-Arba’ah, 4/516).
Padahal dalam fiqih Islam, yang disebut fardhu atau wajib adalah mā yutsābu fā’iluhu wa yu’āqabu tārikuhu, artinya apa-apa yang pelakunya diberi pahala, sedangkan yang meninggalkannya akan mendapat siksa.
Maka dari itu, Ketika Ulil mengatakan Khilafah itu cukup diterima sebagai Khilafah secara keilmuan, tapi bukan dalam praktik kenegaraan, artinya Ulil mengajak orang meninggalkan kewajiban menegakkan Khilafah. Dus, Ulil dengan kata lain mengajak orang untuk melakukan dosa. Bukankah suatu kewajiban kalau ditinggalkan, akan berakibat dosa? Jadi pendapat Ulil yang membagi Khilafah menjadi Khilafah Siyasiyah dan Khilafah Tsaqofiyyah itu kontradiktif dengan fiqih Islam, yaitu wajibnya Khilafah.
Kritik Kedua, basis dikotomi itu sesungguhnya adalah tidak jelas (atau minimal) tidak dijelaskan oleh Ulil. Jika dipikir secara mendalam, basisnya ada dua : basis pertama, jalan tengah, yaitu di satu sisi mengakui Khilafah, tapi di sisi lain tetap mempertahankan NKRI.
Maka Ulil berusaha menyusun ide agar dua hal tersebut (Khilafah dan NKRI) bisa terakomodasi semuanya. Maka Ulil kemudian menggagas dikotomi Khilafah menjadi Khilafah Siyasasiyah dan Khilafah Tsaqofiyyah. Padahal hakikatnya sistem republik yang terkandung dalam NKRI itu sesungguhnya adalah konsep sekuler. Sistem republik sebagai konsep pemerintahan yang lebih praktikal, adalah hasil revolusi Prancis (tahun 1789), bukan berasal dari khazanah fiqih Islam.
Adapun basis kedua, dikotomi Khilafah ala Ulil itu didasarkan pada sikap mensakralkan NKRI sebagai sistem final yang bersifat suci yang tidak bisa diubah secara absolut. Sikap memfinalkan NKRI itu justru bertentangan dengan sejarah bentuk negara di Indonesia yang dinamis dan bertentangan pula dengan aspek normatif dalam UUD 1945, khususnya UUD 1945 yang asli.
Secara historis, bentuk negara di Indonesia di awal kemerdekaan adalah memang negara kesatuan, yang berlangsung tahun 1945-1949.
Namun berdasarkan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang terjadi pada 23 Agustus – 2 November 1949, Indonesia akhirnya berubah menjadi negara federasi atau negara serikat, sehingga Republik Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Ini mulai berlaku sejak 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950. RIS ini kemudian dibubarkan dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Setelah 17 Agustus 1950 itu, berlakulah UUDS 1950 hingga tahun 1959, tepatnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Jadi, secara historis, bentuk negara itu dinamis, tidak usah difinal-finalkan apalagi disakralkan, karena bentuk negara dalam sejarah Indonesia sifatnya dinamis, pernah awalnya merupakan negara kesatuan, lalu berubah menjadi negara federal, lalu kembali menjadi negara kesatuan lagi.
Secara normatif, sikap mensakralkan atau memfinalkan NKRI secara absolut itu juga bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri yang menyediakan kemungkinan perubahan bentuk negara dalam pasal 37 tentang Perubahan. Walaupun ada pasal 37 angka (5) UUD 1945 yang berbunyi “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan,” yang seolah-olah sudah memfinalkan NKRI. Tetapi, ingat bahwa pasal 37 angka (5) ini dapat juga dihapuskan kembali, karena dalam naskah asli UUD 1945, pasal 37 angka (5) ini aslinya TIDAK ADA. Sekali lagi, aslinya tidak ada. Pasal pasal 37 angka (5) tersebut adalah UUD hasil amandemen ke-IV tahun 2002, bukan naskah asli UUD 1945.
Kritik Ketiga, Ulil bilang Khilafah Tsaqofiyyah itu di pesantren dilestarikan dalam bentuk ilmu, salah satunya tentang thareqat yang banyak berkembang di pesantren. Menurut saya, ungkapan Ulil ini tidak proporsional, karena thareqat ini posisinya hanya sebagai salah satu unsur dari kultur pesantren. Ini terkait dengan posisi pesantren sebagai sub kultur, sebagaimana kata Gus Dur (www.gusdur.net). Yang saya pahami dari ide “pesantren sebagai sub kultur” oleh Gus Dur, bahwa pesantren itu mempunya kultur “tradisional” yang sifatnya minor, sebagai bagian integral dari kultur “moderen” yang mayor (dominan), yang menguasai ranah publik. Padahal an-nādir lā hukma lahu, sesuatu yang jarang atau minor itu tidak mempunyai kekuatan hukum. (Ibnul Qayyim, Zādul Ma’ād, 5/421).
Kritik Keempat, Ulil bilang Thareqat Naqsabandiyah, yang banyak diamalkan di pesantren, didirikan pada masa Khilafah Utsmaniyah. Secara historis, Ulil keliru. Karena thareqat Naqsabandiyah lahir sebelum eksisnya Khilafah Utsmaniyah. Thareqat Naqsabandiyah pertama kali muncul pada abad ke-14 M di Turkistan. Pencetusnya bernama Muhammad bin Muhammad Baha’udin al-Bukhari, yang kemudian mendapatkan gelar Syah Naqsyaband. Dia dilahirkan tahun 618 H dan meninggal tahun 719 H, atau hidup antara 1317-1389 M. (Al-Mausū’ah Al-Muyassaroh fi Al-Adyān wa Al-Madzāhib, 1/260).
Padahal Khilafah Utsmaniyyah, baru eksis sebagai Khilafah yang meneruskan estafet kekhalifahan Khilafah Abbasiyah ketika Sultan Salim I di Turki (yang berkuasa pada 1512-1550) menjadi Khalifah pada tahun 1517 M. Jadi, tidak benar kata Ulil bahwa Thareqat Naqsabandiyah didirikan pada masa Khilafah Utsmaniyah. Ini salah secara historis. Ulil tidak teliti.
Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 26 Juli 2023