Home News STEP UP TO JANNAH, BELAJAR ISLAM KAFAH LALU MENDAKWAHKANNYA

STEP UP TO JANNAH, BELAJAR ISLAM KAFAH LALU MENDAKWAHKANNYA

71

Mengaji Lalu Mendakwahkan (MLM) menjadi salah satu istilah yang terlontar dalam acara Nuzulul Qur’an Show bertema “Step Up to Jannah”, Ahad (16-4-2023). Gelaran yang dilaksanakan secara online dan offline, serta disaksikan sekitar 20 ribu orang ini dikemas dalam gaya anak muda dengan menampilkan para influencer dan pembicara yang memotivasi semangat audiens, khususnya para pemuda, untuk mempelajari Islam secara kafah, dari akar hingga ke daun.

Belajar Islam Kafah

Diawali Alfatahar, seorang influencer, mengungkapkan kegelisahannya terhadap kebanyakan anak muda yang saat ini menghadapi lingkungan yang jauh dari Islam, misalnya pergaulan bebas. “Meskipun ia berasal dari keluarga agamis atau orang tuanya ustaz/ustazah, tetapi saat keluar dari rumah menjadi tidak terjaga. Oleh karenanya, sebagai individu dibutuhkan belajar Islam secara kafah agar dapat mem-filter hal-hal yang boleh dan tidak karena standar perbuatannya kembali kepada Islam. Selain itu, dibutuhkan masyarakat yang juga saling mengingatkan dalam kebaikan, serta peran negara yang mengatur kehidupan ini dengan standar Islam,” jelasnya.

Ia menyampaikan, keinginan untuk terjun ke media sosial merupakan bentuk empati dan kepedulian kepada sesama anak muda.

Selanjutnya, Aab Elkarimi yang juga seorang influencer menilai, kalangan muda memiliki kedekatan dengan media sosial, hanya sayangnya ada yang terbawa pada hal-hal buruk. Ia mencontohkan kasus 52 siswi yang menyayat tangannya hanya karena terpengaruh media sosial.

“Ini terjadi karena keburukan atau kemungkaran itu di-publish, dimasifkan, dan akhirnya menjadi hal lumrah,” ujarnya.

Ia berharap para pengemban dakwah atau pembawa kebaikan untuk terjun ke dunia media sosial untuk meng-counter konten negatif dan mengajak anak muda mengkaji Islam. “Meskipun ada algoritma yang membatasi, tetapi kesempatan itu masih terbuka luas dan variatif dengan berbagai konten media sosial. Bahkan, cukup dengan perangkat sederhana, hal itu bisa dilakukan,” ungkapnya.

Acara ini juga dihadiri pengelola masjid Nanang Syaifurozi. Ia menilai, fenomena masjid yang sepi sebagai fenomena “biasa” akibat jauhnya masyarakat saat ini, khususnya generasi muda, dengan peradaban Islam yang runtuh pada 1924.

“Akibatnya terjadi pemahaman memakmurkan masjid adalah dengan meninggikan menaranya, memegahkan masjidnya, dan siapa yang membangun. Padahal, pada masa Rasulullah dan peradaban Islam, masjid menjadi istana negara yang di dalam masjid itulah dilakukan pengaturan kehidupan masyarakat dengan syariat Islam,” urainya.

Ia pun menerangkan, makna masjid adalah tempat sujud, merendah serendah-rendahnya di hadapan Sang Pencipta. “Dari sinilah kemudian manusia membebaskan dirinya dari perbudakan kepada makhluk, hanya kepada Allah Taala,“ ucapnya.

Kemudian Doni Riw selaku seniman turut menyampaikan kedudukan seni yang diminati berbagai kalangan sebagai “bunga” sebuah peradaban. “Dalam sistem kapitalisme, seni adalah “bunga”. Demikian pula dalam sistem Islam,” ucapnya.

Namun, lanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah dalam hal teks dan konteks. “Contohnya, nada adalah teks, ini diperbolehkan. Sedangkan, konteks ada pembatasan. Jika mengandung hal-hal yang membawa keburukan dan kemaksiatan, maka dilarang. Namun, jika membawa pada kebaikan dan sesuai syariat Islam, maka diperbolehkan,” tuturnya.

Berdakwah

Pembicara berikutnya adalah Ade Wijaya, seorang muslimpreneur, yang mengajak masyarakat, khususnya generasi muda, untuk berbisnis dengan tujuan akhirat. “Bahagia itu saat bisa menggunakan berbagai hal untuk Islam, bukan mengejar materi. Oleh karenanya, penting untuk mengkaji Islam secara kafah dan berhijrah,” tegasnya.

Hanya saja, imbuhnya, tidak cukup dengan berhijrah, tetapi juga menghijrahkan. “Mengaji lalu mendakwahkan. Akibatnya, akan banyak multilevel pahala yang didapatkan,” jelasnya.

Ia pun menyayangkan, Islam yang lengkap dan sempurna belum diterapkan seluruhnya. “Kalau salat, zakat, puasa, haji, kita menggunakan aturan Islam yang diajarkan Rasulullah. Begitu praktik berekonomi, sanadnya kemana?” tanyanya retorik.

Ia melanjutkan, yang digunakan ajarannya Adam Smith, kemudian berpolitik menggunakan ajaran John Locke dan Montesquieu. “Padahal, Islam punya pengaturan tersendiri,” cetusnya.

Pembicara terakhir, cendekiawan muslim Ustaz Ismail Yusanto pun menegaskan, kehidupan di sini (dunia) adalah untuk kehidupan di sana (akhirat).

“Rasulullah mengingatkan bahwa kehidupan manusia di dunia ibarat seseorang yang berkendaraan yang singgah, dan berteduh di sebuah pohon kemudian pergi dan meninggalkannya. Oleh sebab itu, harus dipastikan bahwa yang dibawa di dunia ini dapat menjadi bekal di akhirat untuk mandapat surga,” ucapnya.

Selain itu, ia mengungkapkan, bekal yang penting adalah dengan melakukan dakwah, beramar makruf nahi mungkar, dan yang membuat kita bisa bertahan dalam dakwah adalah kita merasakan nikmat di dalamnya. “Kalau sudah merasakan nikmat, maka akan terus dilakukan dan tidak akan ditinggalkan,” tandasnya.[MNews/Ruh]

 

Sumber :

[Kabar] Step Up to Jannah, Belajar Islam Kafah lalu Mendakwahkannya