Home AKHLAQ LOYALITAS DALAM BEKERJA

LOYALITAS DALAM BEKERJA

28
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Pengertian Loyalitas

Loyalitas menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indinesia) artinya adalah kepatuhan dan kesetiaan. Dengan demikian, loyalitas dalam bekerja dapat dimaknai sebagai kepatuhan (ketaatan) dalam bekerja, yakni ketaatan karyawan kepada pimpinan dalam bekerja.

Sebagai contoh, pimpinan mewajikan aturan jam kerja bagi para karyawan, bahwa setiap karyawan bekerja mulai jam 08:00 WIB dan pulang pada jam 16:00 WIB. Jika karyawan mentaati aturan tersebut, maka karyawan tersebut disebut mempunyai loyalitas dalam bekerja. Jika karyawan itu tidak disiplin mentaati peraturan jam kerja tersebut, berarti karyawan itu kurang mempunyai loyalitas dalam bekerja.

 

Loyalitas Dalam Bekerja Dalam Pandangan Islam  

Dalam Islam, apa yang disebut loyalitas maknanya kurang lebih sama dengan ketaatan. Ketataan ini dapat diartikan melaksanakan perintah-perintah pimpinan (atasan) dan meninggalkan larangan-larangan dari pimpinan (atasan).

Islam telah mewajibkan setiap muslim untuk mentaati pemimpinnya, selama apa yang diperintahkan bukan perkara maksiat. Rasulullah SAW bersabda :

وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي 

“Barangsiapa yang mentaati pemimpinnya, maka sungguh dia telah mentaati aku, dan barangsiapa yang tidak taat kepada pemimpinnya, maka sungguh dia telah tidak taat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari, no. 2737).

Hadits ini telah menunjukkan hukum umum mengenai wajibnya mentaati pemimpin (al-amir), baik itu pemimpin umat Islam secara umum, yaitu Imam (Khalifah), maupun pemimpin-pemimpin lainnya, seperti pemimpin sebuah perjalanan (Amirus Safar), pemimpin lerjalanan haji (Amirul Hajj), pemimpin pasukan jihad (Amirul Jihad), termasuk juga pemimpin dalam sebuah lembaga, misalnya kepala sekolah, direktur perusahaan, dan sebagainya.

Namun kewajiban untuk mentaati pemimpin dalam Islam ini, terbatas pada hal-hal yang ma’ruf (yang sesuai dengan ajaran Islam), tidak boleh ada ketaatan kepada pemimpin dalam hal-hal yang mungkar atau maksiat, baik berupa perbuatan meninggalkan yang wajib (tarkul wajib) maupun perbuatan melakukan yang haram (irtikabul haram).

Perhatikan sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih riwayat Ibnu ‘Umar RA berikut ini :

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ أَوْ كَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda,”Mendengar dan menta’ati (pemimpin) adalah wajib atas setiap muslim baik dalam perkara yang ia sukai atau pun yang ia benci kecuali jika diperintahkan untuk berbuat maksiat. Jika dia diperintahkan untuk berbuat maksiat, tidak boleh mendengar dan mentaati (pemimpin).” (HR. Ahmad, no. 5996).

Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّمَا الطَّاعَةَ فِي الْمَعْرُوْفِ

Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada yang ma’ruf (kebaikan sesuai Islam) saja.” (HR. Muslim, nomor 4742; Al-Bukhari nomor 7145 dan 7257, Abu Dawud nomor 2625).

Rasulullah SAW telah bersabda :

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepad sang Khaliq (Allah).” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, VI/545 nomor 33717, Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf II/383 nomor 3788). (https://almanhaj.or.id/2560).

Dengan demikian, loyalitas atau ketaatan dalam bekerja, hukum asalnya adalah wajib menurut Syariah Islam. Apa yang menjadi kebijakan pemimpin, hukum asalnya adalah wajib ditaati oleh seluruh karyawannya, baik ketaataan dalam menjalankan aturan jam kerja, misalnya, atau aturan penggajian, aturan tentang busana (uniform), aturan tentang kenaikan pangkat, aturan tentang sanksi dan sebagainya.

Dikecualikan dari kewajiban untuk taat tersebut, adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Jadi jika ada kebijakan atau peraturan dari pimpinan yang bertentangan dengan Islam, karyawan tidak boleh mentaatinya, dan di samping itu, karyawan berhak dan wajib untuk memberikan nasehat yang baik kepada pimpinannya atau atasannya.

Misalnya, ada peraturan bahwa karyawan akan menerima gaji lewat rekening bank, tetapi ternyata banknya adalah bank konvensional yang memberikan bunga (riba). Contoh lain, ada peraturan bahwa karyawan wajib mengambil asuransi konvensional tertentu yang ditunjuk perusahaan. Atau ada aturan mengenai busana atau seragam kantor yang melarang penggunaan busana muslimah, yaitu kerudung/hijab (khimar) dan jubah (jilbab). Atau ada peraturan mengenai pengaturan tata ruang kantor yang menyebabkan ikhtilat (campur baur) antara karyawan laki-laki dan perempuan. Atau ada aturan yang menyulitkan karyawan untuk melaksanakan sholat, misalnya hanya diberi waktu 15 menit untuk sholat, dan sebagainya.

Ini adalah contoh aturan-aturan dari pimpinan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang tidak wajib ditaati oleh karyawannya, dan karyawan berhak dan bahkan wajib untuk memberikan nasehat yang baik kepada pimpinannya atau atasannya. Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطعْ فَبِقَلبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيْمَانِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya dia ubah dengan tangannya. Kalau dia tidak mampu hendaknya dia ubah dengan lisannya dan kalau dia tidak mampu hendaknya dia ingkari dengan hatinya. Dan inilah selemah–lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Wallahu a’lam.