Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah
Jujur dalam Islam
Pengertian jujur adalah :
الصِّدْقُ هوَ مُطابَقَةُ الكَلامِ لِلْوَاقِعِ بِحَسَبِ اعْتِقادِ المُتَكَلِّمِ
“Jujur adalah kesesuaian perkataan dengan faktanya, sesuai keyakinan orang yang berkata.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqoha`, hlm. 243).
Orang yang jujur disebut ash-shādiq (الصَّادِقُ), dan orang yang sangat jujur (sebagai shighat mubalaghah, yakni bentuk kata untuk menunjukkan “sangat”), disebut dengan ash-shiddīq (الصِّدِّيْقُ).
Jujur hukum asalnya wajib dalam Islam, sesuai dalil-dalil syar’i yang memerintahkan muslim berkata jujur, seperti firman Allah SWT :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar (jujur).” (QS At-Taubah : 119).
Rasulullah SAW bersabda :
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ, فَاِنَّهُ مَعَ البِرِّ وَهُمَا فِى الْجَنَّةِ, وَاِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَاِنَّهُ مَعَ الْفُجُوْرِ وَهُمَافِى النَّار
“Wajib atasmu berlaku jujur, karena jujur itu bersama kebaikan, dan keduanya akan berada di Surga. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena dusta itu bersama kedurhakaan (tidak taat), dan keduanya di neraka.” (HR Ibnu Hibban).
Rasulullah SAW bersabda :
عَلَـيْكُمْ بِـالصِّدْقِ فَاِنَّ الصِّدْقَ يَـهْدِى اِلىَ اْلبِرِّ وَ اْلبِرُّ يَـهْدِى اِلىَ اْلجَنَّةِ. وَ مَا يَزَالُ الـرَّجُلُ يَصْدُقُ وَ يَـتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْـتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيـْقًا. وَ اِيـَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ فَاِنَّ اْلكَذِبَ يَـهْدِى اِلىَ اْلفُجُوْرِ وَ اْلفُجُوْرُ يَـهْدِى اِلىَ النَّارِ. وَ مَا يَزَالُ اْلعَبْدُ يَكْذِبُ وَ يَـتَحَرَّى اْلكَذِبَ حَتَّى يُكْـتَبَ عِنْدَ اللهِ كَـذَّابـًا
“Wajib bagi kalian untuk jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa pada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Dan seseorang senantiasa jujur dan memilih kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan takutlah kalian dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan, dan durhaka itu membawa ke neraka. Dan seseorang senantiasa berdusta dan memilih berdusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang banyak berdusta (kadzdzāb).” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada perkecualian dari kewajiban jujur ini, yaitu dibolehkan berbohong dalam tiga perkara yang disebut dalam dalil-dalil hadits.
Di antaranya hadits Ummu Kultsum RA berikut ini :
عنَ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِى مُعَيْطٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقُولُ «لم أسمَعْ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يرخَّصُ في شيءٍ مِمَّا يقولُ النَّاسُ إنَّه كذِبٌ إلَّا في ثلاثٍ : الرَّجلُ يُصلِحُ بينَ النَّاسِ والرَّجُلُ يكذِبُ لامرأتِهِ والكذِبُ في الحَربِ
Dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin ‘Abi Mu’aythin, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak aku dengar Rasulullah memberi rukhshah (keringanan) dalam sesuatu yang dikatakan manusia sebagai kebohongan, kecuali dalam tiga keadaan; seseorang melakukan perbaikan hubungan antar manusia, seorang suami yang berbohong kepada istrinya, dan berbohong dalam perang.” (HR Abu Dawud, An-Nasa`i, dan Ahmad. Hadits shahih).
Jujur Dalam Bekerja
Jujur diwajibkan oleh Islam ketika seorang muslim bekerja, namun disyaratkan pekerjaan itu adalah pekerjaan yang halal, bukan pekerjaan yang haram.
Jika seorang muslim melakukan pekerjaan yang haram, lalu dia bekerja secara jujur dalam pekerjaan haram itu, maka akhlaq kejujuran itu tidak ada maknanya dan tidak ada pahalanya.
Dengan kata lain, kejujuran itu ada konteks-nya, yaitu ketika seorang muslim melakukan pekerjaan yang halal.
Jadi, wajib hukumnya seorang muslim bekerja jujur ketika dia melakukan pekerjaan yang halal dalam Syariah Islam.
Misalnya jujur ketika seorang muslim menjadi petugas pemungut zakat dalam Islam.
Untuk apa jujur tapi dalam rangka melakukan perbuatan yang haram?
Contoh ekstremnya, untuk apa jujur kalau seorang muslim bekerja menjadi bendahara yang jujur dari sebuah sindikat narkoba, atau bendahara yang jujur dalam sebuah komplotan perampok, atau pegawai bank yang jujur ketika menghitung besarnya bunga bank, atau petugas pajak yang jujur ketika menghitung besaran pajak yang diharamkan syariah.
Jadi, akhlaq saja, seperti jujur sesungguhnya tidaklah bermakna, jika tidak diletakkan dalam konteks yang benar, yaitu dalam rangka melaksanakan pekerjaan yang halal menurut Syariah Islam.
Dengan demikian, jujur dalam melakukan pekerjaan yang haram, hukumnya menjadi ikut haram, karena jujur itu adalah sifat akhlaq yang hukumnya tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti perbuatan pokoknya yang sudah diharamkan syariah.
Wallāhu a’lam.
Selengkapnya :