Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mua’amalah & Kontempoer
1) Pengertian Jihad
Jihad menurut pengertian bahasa (ma’na lughawi), artinya adalah :
الْجِهَادُ لُغَةً بَذْلُ وَاسْتِفْرَاغُ مَا فِي الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ
“Jihad menurut pengertian bahasa adalah mengerahkan atau mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan berupa perkataan atau perbuatan.” (Ibnul Atsīr, An-Nihāyah fī Gharīb Al-Hadīts, 1/319; Ahmad bin Muhammad bin Ali Al-Fayūmi, Al-Mishbāh Al-Munīr fī Gharīb Al-Syarah Al-Kabīr, 1/112).
Sedangkan, menurut pengertian syariah (ma’na syar’i), definisi jihad adalah :
الْجِهَادُ هُوَ بَذْلُ الْوُسْعِ فِي الْقِتَالِ فِي سَبِيْلِ اللهِ مُبَاشَرَةً أَوْ مُعَاوَنَةً بِمَالٍ أَوْ رَأْيٍ أَوْ تَكْثِيْرِ سَوَادٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِك
“Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung berperang, maupun dengan memberikan bantuan untuk perang, misalnya bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak pasukan perang, dan lain-lain.” (Taqiyuddīn An-Nabhāni, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/145; Ibnu ‘Ābidīn, Raddul Muhtār ‘Alā Al-Durr Al-Mukhtār (Hāsyiyah Ibnu Ābidīn), 3/336).
Definisi syar’i dari jihad di atas intinya bahwa yang disebut jihad, adalah berperang (al-qitāl) atau apa saja yang berkaitan dengan perang secara langsung. Jadi jihad dalam makna syar’i-nya juga dapat berupa aktivitas lain yang bukan perang, asalkan masih ada kaitannya dengan perang secara langsung. Misalnya memberi bantuan berupa harta, atau berjihad dengan harta. Maksud berjihad dengan harta di sini adalah menginfaqkan harta yang terkait dengan perang secara langsung (mubāsyarah), misalnya memberikan dana, pakaian, obat-obatan, kepada para mujahidin di medan perang. Jadi kalau seorang muslim menginfakkan hartanya untuk membentuk lembaga keuangan syariah, atau memberi santunan kepada fakir dan miskin, dan semisalnya, tidak dapat disebut berjihad dengan harta, karena penginfakan harta tersebut tidak berkaitan langsung dengan perang yang sedang terjadi di suatu tempat dan waktu yang tertentu.
Demikian juga berjihad dengan pendapat, maksudnya adalah pendapat yang terkait dengan perang secara langsung (mubāsyarah), seperti memberikan pendapat mengenai pengaturan lokasi pasukan di medan perang, pendapat tentang senjata apa saja yang dipakai dalam suatu serangan, dan sebagainya. Jadi kalau seorang muslim memberi pendapat dalam masalah perang di dalam sebuah diskusi, atau seminar, wawancara TV, dan sebagainya tidak dapat disebut berjihad dengan pendapat, karena pemberian pendapat tersebut tidak berkaitan langsung dengan perang yang sedang terjadi di suatu tempat dan waktu yang tertentu.
Walhasil, definisi jihad dalam syariah intinya adalah berperang (al-qitāl) atau apa saja yang berkaitan dengan perang secara langsung. Maka tidak benar jika ada yang menggunakan istilah jihad untuk perbuatan yang banyak faidahnya, atau perbuatan yang dilakukan dengan penuh kesulitan (masyaqqah), atau perbuatan yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh (badzlul juhdi). Yang menjadi pokok masalah bukanlah faidah atau manfaat dari suatu perbuatan, bukan pula faktor kesulitan (masyaqqah), bukan pula faktor pengerahan segenap kesungguhan (badzlul juhdi), melainkan makna syar’i yang dikandung oleh suatu kata yang terdapat dalam nash-nash syariah, yaitu nash Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Jihad dalam makna syar’i-nya memang khusus hanya digunakan untuk perang dan segala sesuatu yang terkait dengan perang secara langsung. (al-jihād huwa al-qitāl wa kullu mā yata’allaqu bil qitāli mubāsyaratan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/145).
Hal lain yang perlu dipahami dalam pengertian jihad dalam makna syar’i-nya, adalah orang-orang yang menjadi sasaran jihad, yaitu kaum kafir (non-muslim) saja. Jadi jihad pada pokoknya adalah perang (al-qitāl), khususnya perang yang dilakukan oleh kaum muslimin melawan kaum kafir yang tidak mempunyai ikatan perjanjian dengan kaum muslimin (kāfir ghairu dzīy ‘ahdin). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 16/124).
Jadi, perang dapat dikategorikan jihad, jika yang menjadi sasaran perang adalah kaum kafir (non muslim), seperti kaum Yahudi atau Nasrani (lihat misalnya QS At-Taubah [9] : 29). Adapun jika yang menjadi sasaran perang adalah sesama kaum muslimin, misalnya perang yang dilakukan oleh seorang Imam (Khalifah), yakni kepala negara dalam negara Khilafah, untuk melawan bughāt (kaum pemberontak dari kaum muslimin yang memberontak dengan senjata kepada Imam/Khalifah yang sah dalam negara Khilafah), maka perang ini tidak dapat disebut jihad, melainkan disebut dengan perang (al-qitāl). Definisi jihad tidak dapat diterapkan untuk aktivitas memerangi kaum bughāt. (Muhammad Khair Haikal, Al-Jihād wa Al-Qitāl fī As-Siyāsah Al-Syar’iyyah, 1/66).
Namun demikian, terkadang nash-nash syara’ baik Al-Qur`an maupun Al-Hadits menggunakan kata jihad bukan dalam makna syar’inya, melainkan dalam makna bahasanya. Dengan kata lain, kata “jihad” dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah terkadang tidak diartikan menurut arti aslinya yang ditetapkan syariah, yakni berperang (al-qitāl), melainkan diartikan menurut makna bahasanya, yakni aktivitas yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh (badzlul juhdi). Tetapi pengalihan makna seperti ini tidak boleh terjadi, kecuali terdapat qarīnah (indikasi/petunjuk) yang mengalihkannya dari makna syar’inya menjadi makna lughawi-nya. (Muhammad Khair Haikal, Al-Jihād wa Al-Qitāl fī As-Siyāsah Al-Syar’iyyah, 1/48).
Misalnya, kata “jihad” dalam firman Allah SWT dalam QS Al-‘Ankabut : 69 berikut :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
Penggalan dari ayat di atas yang berbunyi ( وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا ) tidak tepat jika diartikan “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami”, melainkan wajib diartikan menurut makna bahasanya, yaitu “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami.”
Mengapa harus diartikan demikian? Karena terdapat qarīnah (indikasi/petunjuk) bahwa ayat ini adalah ayat Makkiyyah, yaitu ayat yang turun sebelum Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Ini karena ayat yang pertama turun yang berkaitan dengan perang (al-qitāl), adalah satu ayat dalam surat Al-Hajj yang turun saat Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan hijrah dari Makkah menuju Madinah. Ayat tersebut adalah :
اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ ۙ
“Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka itu dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (QS Al-Hajj : 39).
Maka dari itu, arti yang tepat untuk ayat berikut :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
adalah : “Dan orang-orang yang berjihad bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-‘Ankabut : 69).
Kesimpulannya, makna syar’i dari jihad adalah berperang, dan aktivitas-aktivitas lainnya di luar perang yang mempunyai kaitan langsung dengan perang. Imam Taqiyuddin An-Nabhani dengana sangat akurat meringkas makna jihad dalam makna syar’i-nya dengan perkataan beliau,”(Al-Jihād huwa) al-qitāl wa kullu mā yata’allaqu bil qitāli mubāsyaratan). Artinya, jihad itu adalah berperang dan apa saja yang berkaitan dengan perang secara langsung. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/145).
2) Definisi Jihad Menurut Mazhab Empat
Definisi syar’i untuk jihad yang sudah dijelaskan di atas, yaitu jihad itu menurut makna syariahnya adalah berperang (al-qitāl) di jalan Allah, sesungguhnya bukan hanya pemahaman Imam Taqiyuddin An-Nabhani saja. Pengertian jihad dalam arti berperang (al-qitāl) di jalan Allah, sesungguhnya adalah pemahaman umumnya para ulama dari berbagai mazhab fiqih dalam Islam, termasuk mazhab yang empat (mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali).
Berikut ini akan kami sajikan definisi jihad dalam mazhab yang empat, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hambali.
Dalam mazhab Hanafi, Imam Al-Kasani dalam kitabnya Badā`i’u Al-Shanā`i’ fī Tartīb Al-Syarā`i’, menjelaskan definisi jihad sebagai berikut :
الْجِهَادُ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ يُسْتَعْمَلُ فِي بَذْلِ الْوُسْعِ وَالطَّاقَةِ بِالْقِتَالِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِالنَّفْسِ وَالْمَالِ وَاللِّسَانِ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ
“Jihad dalam ‘urf syariah, digunakan dalam pengertian mengerahkan kemampuan dan kesanggupan dalam perang di jalan Allah ‘Azza wa Jalla dengan jiwa, harta, lisan, atau yang lainnya.” (Imam Al-Kāsāni, Badā`i’u Al-Shanā`i’ fī Tartīb Al-Syarā`i’, 7/97).
Masih dalam mazhab Hanafi, Imam Ibnu ‘Ābidīn mendefinisikan jihad sebagai berikut :
الْجِهَادُ هُوَ بَذْلُ الْوُسْعِ فِي الْقِتَالِ فِي سَبِيْلِ اللهِ مُبَاشَرَةً أَوْ مُعَاوَنَةً بِمَالٍ أَوْ رَأْيٍ أَوْ تَكْثِيْرِ سَوَادٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِك
“Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung berperang, maupun dengan memberikan bantuan untuk perang, misalnya bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak pasukan perang, dan lain-lain.” (Ibnu ‘Ābidīn, Raddul Muhtār ‘Alā Al-Durr Al-Mukhtār (Hāsyiyah Ibnu Ābidīn), 3/336).
Dalam mazhab Maliki, Syaikh Muhammad ‘Ulaīsy dalam kitabnya Minahul Jalīl berkata :
الْجِهَادِ أَيْ قِتَالُ مُسْلِمٍ كَافِرًا غَيْرَ ذِي عَهْدٍ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللَّهِ…
“Jihad, artinya adalah perang oleh seorang muslim terhadap orang kafir yang tak mempunyai ikatan perjanjian (dengan kaum muslimin), untuk meninggikan kalimat Allah.” (Syaikh Muhammad ‘Ulaīsy, Minahul Jalīl Mukhtashar Sayyidi Khalīl, 3/135).
Masih dalam mazhab Maliki, Syaikh Ibnu ‘Irfah, menjelaskan definisi jihad dengan redaksi yang sama dengan Syeikh Syaikh Muhammad ‘Ulaīsy, sebagai berikut :
الْجِهَادُ هُو قِتَالُ مُسْلِمٍ كَافِرًا غَيْرَ ذِي عَهْدٍ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللَّهِ
“Jihad, artinya adalah perang oleh seorang muslim terhadap orang kafir yang tak mempunyai ikatan perjanjian (dengan kaum muslimin), untuk meninggikan kalimat Allah.” (Syaikh Ibnu ‘Irfah, Al-Fawākih al-Dawāniy ‘Alā Risālah Ibnu Abi Zayd Al-Qayruwāni, 2/879).
Dalam mazhab Syafi’i, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqālani dalam kitabnya Fathul Bāri Syarah Shahīh Al-Bukhāri, berkata :
وَ(الْجِهَادُ) شَرْعًا بَذْلُ الْجُهْدِ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ
“Dan (jihad) dalam pengertian syariah, adalah mengerahkan segala kesanggupan dalam berperang melawan kaum kafir.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalāni, Fathul Bāri Syarah Shahīh Al-Bukhāri, 5/485).
Masih dalam mazhab Syafi’i, Imam As-Syairazi dalam kitabnya Al-Muhadzdzab berkata :
أَنَّ الْجِهَادَ هُوَ الْقِتَالُ
“Sesungguhnya jihad itu tiada lain adalah perang.” (Imam As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, 2/227).
Masih dalam mazhab Syafi’i, Syekh Sulaiman bin Muhammad bin ‘Umar Al-Bujairami, penulis kitab Hāsyiyah al-Bujairami, menyebutkan definisi jihad sebagai berikut :
اَلْجِهَادُ أَيْ اَلْقِتَالُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“[Jihad] artinya adalah perang di jalan Allah.” (Sulaiman bin Muhammad bin ‘Umar Al-Bujairami, Hāsyiyah al-Bujairami ‘Alā Syarah Al-Khathīb, 4/225)
Dalam mazhab Hambali, Syekh Al-Buhūtiy berkata :
الْجِهَادُ قِتَالُ الْكُفَّارِ خَاصًةً
“Jihad itu adalah berperang melawan kaum kafir secara khusus.” (Syekh Al-Buhūtiy, Syarah Muntahā Al-Irādāt (Daqā`iq Ulin Nuhā li Syarhi Al-Muntahā), 1/716).
Dari berbagai kutipan pendapat ulama mengenai pengertian jihad di atas, dari ulama mazhab yang empat, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, dan Hambali, jelaslah bahwa makna jihad dalam arti berperang (al-qitāl) di jalan Allah, adalah pemahaman umumnya para ulama dari berbagai mazhab fiqih dalam Islam, bukan hanya definisi menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani
Definisi jihad dalam arti berperang (al-qitāl) di jalan Allah, itulah definisi jihad yang haq (benar). Janganlah makna syar’i jihad itu kemudian dikurangi atau dikorupsi atau dilakukan re-interpretasi, entah dengan niat baik atau niat jahat, seperti yang sering dilakukan oleh kaum orientalis yang kafir, atau kaum intelektual liberal (sekuler) pengekor kaum orientalis yang kafir. Re-interpretasi terhadap makna jihad ini ujung-ujungnya hanyalah upaya untuk menyesatkan dan membodohi umat Islam dengan memaknai jihad ke arah makna-makna lain yang kabur dan tidak jelas di luar konteks berperang (al-qitāl) di jalan Allah.
Ingatlah bahwa definisi jihad sesungguhnya sudah pernah dijelaskan sendiri oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang shahih. Dari ‘Amr bin ‘Abasah RA, bahwa seorang laki-laki pernah menanyakan beberapa pertanyaan kepada Rasulullah SAW. Salah satu pertanyaan itu, laki-laki itu bertanya tentang jihad kepada Rasulullah SAW :
وَمَا الْجِهَادُ؟ قَالَ: أَنْ تُقَاتِلَ الْكُفَّارَ إِذَا لَقِيتَهُمْ
“Apa itu jihad?” Rasulullah SAW menjawab,”Jihad itu adalah kamu memerangi kaum kafir jika kamu menjumpai mereka (dalam peperangan).” (HR. Ibnu Majah, no. 2794; Ahmad, no. 17.027. Hadits ini shahih menurut Syaikh Syu’aib Al-Arnā`ūth dalam kitabnya Takhrīj Al-Musnad, hadits no. 17.027).
Jadi, jelaslah bahwa jihad itu mempunyai makna syar’i yang khusus, yaitu berperang (al-qitāl) di jalan Allah, tidak ada makna yang lain. Jikalau pun makna ini diperluas, maka makna jihad yang diperluas itu hanyalah terbatas pada berbagai kegiatan yang masih ada hubungannya dengan perang, secara langsung, seperti perkataan Imam Taqiyuddin An-Nabhani yang sudah dijelaskan di atas. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/145).
Itulah makna jihad secara mutlak, yaitu makna jihad dalam nash-nash syariah, baik Al-Qur`an ataupun Al-Hadits, ketika disebutkan tanpa disertai qarīnah (indikasi/petunjuk) yang mengalihkan makna jihad dari makna syar’i menjadi makna lughawi (makna bahasa). Jika qarīnah (indikasi/petunjuk) ini ada, maka barulah jihad diberi makna di luar konteks perang (al-qitāl). (https://ar.islamway.net/article/48191/-2-تعريف-الجهاد-وحقيقته-وما-يتفرع-عنه).
3) Hukum Jihad
Jihad hukumnya fardhu (wajib) berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Al-Hadits. Nash-nash Al-Qur`an yang mewajibkan jihad antara lain : QS Al-Anfaal : 39; QS Al-Baqarah : 193; QS At-Taubah : 29; QS Al-Baqarah : 216; QS At-Taubah : 39; QS At-Taubah : 122. Demikianlah sejumlah nash-nash yang mewajibkan jihad, sebagaimana disebutkan oleh Syeikh Dr. Muhammad Khair Haikal, dalam kitabnya Al-Jihād wa Al-Qitāl fī As-Siyāsah Al-Syar’iyyah, pada juz yang pertama.
Firman Allah SWT dalam QS Al-Anfal : 39 :
وَقَاتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهٗ لِلّٰهِۚ فَاِنِ انْتَهَوْا فَاِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi kemusyrikan (Arab : fitnah), dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS Al-Anfal : 39).
Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah : 193 :
وَقٰتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ لِلّٰهِ ۗ فَاِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ اِلَّا عَلَى الظّٰلِمِيْنَ
“Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi kemusyrikan (Arab : fitnah), dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-orang zalim.” (QS Al-Baqarah : 193).
Kata “fitnah” dalam dua ayat tersebut, bukanlah “fitnah” dalam Bahasa Indonesia, yang berarti perkataan bohong atau perkataan tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang), dan sebagainya. (https://kbbi.web.id/fitnah). Kata “fitnah” dalam dua ayat tersebut, maksudnya adalah “kemusyrikan” (syirkun). (Jalāluddin Al-Suyuthi & Jalāluddin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalālayn, Beirut : Darul Fikr, 1991, hlm. 27 & 134).
Firman Allah SWT dalam QS At-Taubah : 29 :
قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ ࣖ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Islam), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Al-Kitab (Ahlul Kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nashrani), hingga mereka membayar jizyah (pajak atas kaum kafir dzimmi) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah : 29).
Firman Allah SWT dalam QS At-Taubah : 39 :
اِلَّا تَنْفِرُوْا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ وَّيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوْهُ شَيْـًٔاۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Jika kamu tidak berangkat (untuk berperang), niscaya Allah akan menghukum kamu dengan azab yang pedih dan menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan merugikan-Nya sedikit pun. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS At-Taubah : 39)
Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah : 216 :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah : 216).
Firman Allah SWT dalam QS At-Taubah : 122 :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya (yang berangkat berperang) apabila mereka telah kembali (dari peperangan), agar mereka dapat menjaga dirinya?” (QS At-Taubah : 122).
Itulah sebagian nash-nash Al-Quran yang mewajibkan jihad, menurut Syeikh Dr. Muhammad Khair Haikal, dalam kitabnya Al-Jihād wa Al-Qitāl fī As-Siyāsah Al-Syar’iyyah, pada juz yang pertama.
Adapun nash-nash Al-Hadits yang mewajibkan jihad, misalnya hadits shahih riwayat Imam Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ؛ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنَ النِّفَاقِ
“Barangsiapa yang mati dan belum pernah berperang dan belum pernah berniat untuk berperang, maka dia mati dengan membawa satu cabang [sifat] kemunafikan.” (HR Muslim, Kitabul Imārah, no 1910).
Hadits lainnya, sabda Rasulullah SAW :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهَمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى. رَوَاهُ اْلبُخَارِي وَمُسْلِم
”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Maka apabila mereka telah melakukan itu semua, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam dan hisabnya terserah Allah Ta’ālā.” (HR. Bukhari, no. 25; Muslim, no. 22).
Hadits lainnya, sabda Rasulullah SAW :
وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرَ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرٌ جَائِرٌ، وَلَا عَدْلٌ عَادِلٌ
“Jihad akan terus berlangsung sejak aku diutus oleh Allah hingga umatku yang terakhir berperang melawan Dajjal. Jihad tidak dapat dibatalkan oleh kezaliman orang yang zalim atau oleh keadilan orang yang adil…” (HR. Abu Dawud, no. 2532).
Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Al-Hadits di atas, jelaslah bahwa jihad itu hukumnya adalah fardhu (wajib). Hukum fardhu untuk jihad ini, ada yang fardhu kifayah, dan ada yang fardhu ‘ain.
Jihad hukumnya fardhu kifayah untuk memulainya. Dan hukumnya fardhu ‘ain jika musuh kafir menyerang kita atau menduduki tanah kita (kaum muslimin). (Muhammad Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islāmi, hlm. 28).
Yang dimaksud “fardhu kifayah memulainya” (fardhu kifāyatin ibtidā`an), adalah bahwa kita (kaum muslimin) secara fadhu kifayah wajib memulai perang meskipun musuh (kaum kafir) tidak memulai memerangi kita.
Jika tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang melakukan jihad ini dalam zaman tertentu, maka berdosalah semua kaum muslimin karena meninggalkan kewajiban jihad. (in lam yaqum bil qitāli ibtidā`an ahadun min al-muslimīna fī zamanin mā atsimal jamī’u bi-tarkihi). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/148).
Namun demikian, tidak halal kaum muslimin memulai perang kepada kaum kafir, sebelum menyampaikan dakwah Islam dan tawaran membayar jizyah terlebih dahulu. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/149).
Hal ini berdasarkan hadits shahih dalam Shahih Muslim dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya. (Lihat Shahih Muslim, Kitabul Jihad, no. 1731, juga hadits yang semakna dalam Sunan Abu Dawud, no. 2858; Sunan Tirmidzi, no. 1408). (Hisyām Al-Badrāni, Syarah Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 176).
Sabda Rasulullah SAW kepada seorang panglima pasukan perang :
وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ (أَوْ خِلَالٍ). فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ. ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ. فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ. ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ. وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ، إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ، فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ. فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ. يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ. وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ. فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ. فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ. فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ
“Jika kamu menjumpai musuhmu dari orang-orang musyrik, serulah mereka kepada 3 (tiga) pilihan. Maka mana saja dari tiga pilihan itu yang mereka penuhi, terimalah mereka dan hentikan perang kepada mereka. [Pilihan Pertama] serulah mereka kepada Islam. Jika mereka memenuhi seruanmu, terimalah mereka dan hentikan perang kepada mereka. Kemudian serulah mereka untuk berpindah dari negeri mereka ke negeri Muhajirin. Dan kabarkan kepada mereka, jika mereka melakukan itu (pindah ke negeri Muhajirin) maka mereka mendapat hak sebagaimana hak Muhajirin dan mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban Muhajirin. Jika mereka tidak mau pindah dari negeri mereka, maka kabarkan kepada mereka bahwa mereka diperlakukan seperti orang Baduwi dari kalangan kaum muslimin. (Yaitu) berlaku kepada mereka hukum Allah sebagaimana yang berlaku atas kaum mukminin. Mereka tidak mendapat hak ghanimah dan fai` sedikitpun, kecuali mereka berjihad bersama kaum muslimin. [Pilihan Kedua] jika mereka tidak mau melakukan hal itu (masuk Islam) mintalah kepada mereka jizyah. Jika mereka memenuhi seruanmu, terimalah mereka dan hentikan perang kepada mereka. [Pilihan Ketiga] jika mereka tidak mau melakukan hal itu (membayar jizyah) maka mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka…” (HR. Muslim, Shahīh Muslim, hadits no 1731, dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya).
Adapun jihad yang hukumnya fardhu a’in, adalah jika musuh yang kafir menyerang kita (kaum muslimin), maka fardhu ‘ain hukumnya umat Islam untuk berjihad. Dalilnya, firman Allah SWT :
وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
“Dan perangilah olehmu di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al-Baqarah : 191).
Wajib ditolak pembatasan jihad hanya pada jihad defensif (jihād difā’i) saja, yaitu jihad yang hanya disyariatkan dalam rangka bertahan terhadap serangan musuh kafir. Memang perang defensif ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan kaum muslimin saat itu. Misalnya, pada saat Perang Badar dan Perang Uhud.
Namun kalau dikatakan bahwa Islam hanya jihad defensif ini, maka pembatasan seperti ini jelas batil dan tidak dapat diterima, karena dalam sejarah Islam di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, mereka juga melakukan jihad ofensif (jihād hujūmi/jihād thalab), yaitu jihad yang bersifat aktif menyerang musuh kafir lebih dahulu, tanpa menunggu diserang musuh. Misalnya, Perang Hunain, Perang Tabuk, dan Perang Mu’tah. (https://ar.islamway.net/fatwa/61705/الغزوات-الإسلامية-بين-جهاد-الطلب-وجهاد-الدفع).
Jadi jihad defensif dan jihad ofensif kedua-duanya ada dan diakui dalam Islam, bukan hanya jihad defensif saja. Pembatasan jihad hanya pada jihad defensif (jihād difā’i) saja, adalah kejahatan intelektual yang sangat licik yang dilakukan kaum orientalis yang kafir, yang tujuannya adalah menghancurkan ajaran jihad dalam agama Islam, sekaligus membohongi kaum muslimin agar kaum muslimin tunduk patuh di bawah hegemoni dan dominasi kafir penjajah dari Barat, dan agar kafir penjajah dari Barat dapat leluasa mendominasi dan merampok kekayaan alam negeri-negeri kaum muslimin yang sangat kaya dan beranekaragam.
4) Jihad dan Penegakan Khilafah
Mungkin ada yang bertanya,”Apakah boleh menggunakan metode jihad (perang) dalam perjuangan untuk menegakkan Khilafah?” Jawabannya : tidak boleh. Mengapa? Karena dulu Rasulullullah SAW tidak menggunakan jihad (perang) sebagai jalan (metode) untuk menegakkan Daulah Islamiyyah di Madinah pada waktu itu. Ayat-ayat yang mensyariatkan jihad justru baru diturunkan pada saat atau setelah hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah.
Ayat yang pertama kali bicara tentang jihad dalam arti perang, turun saat Rasulullah SAW dalam perjalanan hijrah dari Makkah menuju Madinah. Ayat tersebut adalah :
اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌ ۙ
“Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka itu dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” (QS Al-Hajj : 39).
Karena itu, setelah selesai Baiat Aqabah II, sebelum hijrahnya Nabi SAW, seorang shahabat bernama Al-‘Abbās bin ‘Ubādah bin Naflah RA berkata kepada Rasulullah SAW :
وَاَللَّهِ الَّذِي بَعَثَك بِالْحَقِّ إِنْ شِئْتَ لَنَمِيلَنَّ عَلَى أَهْلِ مِنًى غَدًا بِأَسْيَافِنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ ، وَلَكِنْ ارْجِعُوا إِلَى رِحَالِكُمْ
“Demi Dzat yang mengutus Engkau dengan membawa kebenaran. Jika Engkau menghendaki, sungguh kami akan menyerang penduduk Mina besok dengan pedang-pedang kami!” Maka Rasulullah SAW kemudian bersabda,”Kita belum diperintahkan untuk itu (berperang), tetapi kembalilah kamu ke tempat-tempat tinggal kamu.” (Syaikh Muhammad bin Rizq Al-Tharhūni, Shahīh As-Sīrah An-Nabawiyyah, 2/288-289; Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi, Hayātush Shahābat, 1/293-294).
Lalu bagaimana metode perjuangan menegakkan Khilafah jika bukan dengan jalan jihad (perang)? Jawabannya, metode perjuangan kita dalam menegakkan kembali Khilafah, wajib meneladani Rasulullah SAW dalam mengemban dakwah (haml al-da’wah al-islāmiyyah) sebelum hijrah, di Makkah dan sekitarnya. Firman Allah SWT :
لَقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِىۡ رَسُوۡلِ اللّٰهِ اُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنۡ كَانَ يَرۡجُوا اللّٰهَ وَالۡيَوۡمَ الۡاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيۡرًا
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab : 21).
Kita wajib meneladani langkah dakwah Rasulullah SAW sebelum hijrah tersebut, yaitu antara lain dengan melakukan :
- Melakukan pembinaan (tatsqīf), baik pembinaan internal (pengkaderan) maupun pembinaan umum.
- Melakukan aktivitas politik (al-a‘māl as-siyāsiyah), seperti mengkritik penguasa, menggalang aksi demonstrasi damai (al-masīrah), mengirim delegasi kepada para politikus, dan sebagainya.
- Melakukan pergolakan pemikiran (ash-shirā’ al-fikri), seperti mengkritik kapitalisme, demokrasi, nasionalisme, pluralisme, dan sebagainya.
- Melakukan tabanni mashālih al-ummah (mengadopsi kepentingan umat).
- Melakukan thalabun nushrah (mencari dukungan untuk perlindungan dakwah dan penegakan Khilafah). (Lihat : kitab Manhaj Hizbut Tahrīr fī At-Taghyīr).
Bagaimanakah jika kaum kafir menyerang atau menduduki suatu negeri muslim? Jawabannya, jika suatu negeri Islam diserang oleh kaum kafir, atau diduduki oleh kaum kafir, seperti yang terjadi di Palestina sekarang, maka para pengemban dakwah yang ada di negeri itu berkewajiban secara fardhu ‘ain untuk berjihad, sebagaimana kewajiban kaum muslimin yang lain. Para pengemban dakwah dalam hal ini melaksanakan kewajiban jihad dalam kedudukan mereka sebagai individu muslim, bukan dalam kedudukan mereka sebagai pengemban dakwah. Dan tujuannya adalah untuk membela diri dari serangan kaum kafir, bukan untuk menegakkan Khilafah Islam dengan jalan jihad fi sabilillah. (Lihat kitab Hizbut Tahrīr (Ta’rīf), hlm. 44).
5) Jihad dan Khilafah
Jihad adalah suatu kewajiban yang bersifat mutlak. Artinya, baik Khilafah itu ada maupun tidak ada, jihad tetap wajib dilaksanakan. Jadi ketika dikatakan jihad bukan jalan menegakkan Khilafah, bukan berarti jihad saat ini, yakni ketika Khilafah tidak ada, hukumnya tidak wajib.
Hanya saja, ketika Khilafah telah berdiri (insyaAllah dalam waktu dekat ini), dan Khalifah telah dibaiat secara sah sebagai kepala negara dari negara Khilafah, maka urusan jihad akan diwakilkan kepada Khalifah yang sah ini.
Sabda Rasulullah SAW dalam masalah ini telah jelas :
الْجِهَادُ وَاجِبٌ عَلَيْكُمْ مَعَ كُلِّ أَمِيْرٍ بَرّاً كَانَ أَوْ فَاجِراً
“Jihad itu wajib atas kalian bersama setiap pemimpin (amir), entah dia pemimpin yang baik ataupun pemimpin yang fājir (fāsiq).” (HR Abu Dawud, no. 2533; Al-Daraquthni, 2/56; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, no 5401).
Jihad bagi negara Khilafah mempunyai posisi yang sangat strategis. Karena jihad bukan saja berfungsi sebagai sarana pertahanan dari serangan musuh, dengan jihad defensive (jihad difa’i), namun lebih dari itu, dengan jihad ofensif (jihad thalab), jihad akan menjadi metode (thariqah) bagi Khilafah untuk mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia.
Tentu cara melaksanakan jihad ofensif ini tidak boleh semena-mena dan zalim, melainkan kita wajib berpegang sesuai dengan hukum-hukum syara’, yaitu tidak halal melancarkan jihad ofensif kepada suatu kaum kafir, kecuali disampaikan dulu kepada mereka ajakan masuk Islam dan membayar jizyah, sebagai hadits Sulaiman bin Buraidah RA dari ayahnya dalam Shahih Muslim yang telah dijelaskan di atas. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 1/212; Ajhizah Daulah Al-Khilafah, hlm. 78).
6) Penutup
Demikianlah penjelasan ringkas mengenai jihad dalam Islam. Tentu banyak sekali hukum-hukum syara’ cabang mengenai jihad yang belum dapat dijelaskan dalam makalah yang sederhana dan sependek ini.
Bagi yang ingin menelaah masalah jihad secara lebih mendalam dan mendetail, kami sarankan mengkaji kitab-kitab fiqih mengenai jihad yang lebih detail dan komprehensif, misalnya kitab karya Syeikh Dr. Muhammad Khair Haikal, yang berjudul Al-Jihād wa Al-Qitāl fī As-Siyāsah Al-Syar’iyyah. Kitab ini terdiri dari 3 (tiga) jilid tebal, dan total “hanya” sekitar 1991 (seribu sembilan ratus sembilan puluh satu) halaman. Kitab ini merupakan disertasi doktor beliau, di Kulliyatul Imām Al-Awzā’i, di Beirut, Libanon, pada tahun 1992.
Kitab tentang jihad ini menjadi tak terpisahkan dengan kitab-kitab seputar Khilafah, yang kelak di kemudian hari, akan dapat saling mendukung guna tegaknya dan berlangsungnya kembali kehidupan Islam (al-hayāt al-Islāmiyyah) bagi kaum muslimin di bawahan naungan Khilafah Islam secara menyeluruh (kāffah) dalam segala aspek kehidupan, walaupun orang-orang kafir membencinya. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 12 Oktober 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi