Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya:
Ustadz, bolehkah tabungan umroh? Jadi orang yang mau umroh itu menabung dulu ke suatu biro perjalanan umroh. Setelah tabungan itu cukup, maka mereka berangkat umroh. Kemudian bagaimana jika di awal akad ikut umroh dengan bayar mencicil, bolehkah? Apakah harus ada batas waktu yang jelas cicilannya? Jika meleset apa bisa berakad lagi diperpanjang waktu cicilnya? Apakah boleh ada perubahan harga yang disesuaikan dengan harga saat berangkat? Ini karena harga komponen umroh seperti hotel dan pesawat, seringkali naik tanpa diduga. Kenaikan itu terjadi semaunya airline atau pihak hotel saja. (Maya, Bandung).
Jawab:
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, bisa disimpulkan ada 3 (tiga) pertanyaan pokok; yaitu :
Pertanyaan pertama, bolehkah tabungan umroh?
Pertanyaan kedua, bolehkah seseorang berakad umroh sejak awal, namun dia tidak membayar cash (tunai) kepada biro umroh, melainkan membayar cicilan sebelum berumroh?
Pertanyaan ketiga, bolehkah terjadi perubahan harga umroh?
Adapun pertanyaan pertama tentang hukum tabungan umroh, hukum syara’-nya ada rincian (tafshīl) sebagai berikut:
Pertama, hukumnya haram, jika setelah tabungan cukup, pihak penyelenggara umroh tidak memberi opsi (khiyār, pilihan) kepada penabung untuk memilih ambil tabungan atau ikut umroh. Mengapa hukumnya haram? Karena telah terjadi multiakad yang bersifat mengikat (mulzim/lāzim) antara akad menabung (qardh) dengan akad umroh (ijārah).
Padahal syara’ telah melarang terjadinya multiakad tersebut, yaitu penggabungan dua akad secara mengikat (mulzim) di mana satu akad menjadi syarat bagi akad lainnya. Dalilnya hadits dari Ibnu Mas’ud RA sebagai berikut :
عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ نَهىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِيْ صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata, “Bahwa Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatayni fī shafqatin wāhidah).” (HR. Ahmad, Al-Musnad, I/398).
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad dalam satu akad (wujūdul ‘adayni fī ‘aqdin wāhidin), dimana satu akad menjadi syarat bagi akad lainnya, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad jual beli, atau menggabungkan akad jual beli digabung dengan akad ijarah, atau menggabungkan akad jual beli dengan akad nikah. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, II/308).
Berikut contoh-contohnya. Misalnya, menggabungkan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli, misalnya si A menawarkan (mengucapkan ijab) kepada si B,”Aku jual rumahku kepada kamu, dengan syarat kamu jual mobil kamu kepada aku,” lalu si B menjawab (mengucapkan kabul),”Setuju.”
Menggabungkan akad jual beli dengan akad ijarah, misalnya si A menawarkan (mengucapkan ijab) kepada B,”Aku jual rumahku kepada kamu, dengan syarat kamu sewakan mobil kamu kepada aku,” lalu si B menjawab (mengucapkan kabul),”Setuju.”
Menggabungkan akad jual beli dengan akad nikah, misalnya si A menawarkan (mengucapkan ijab) kepada B,”Aku jual rumahku kepada kamu, dengan syarat kamu nikahkan aku dengan anak perempuan kamu,” lalu si B menjawab (mengucapkan kabul),”Setuju.”
Semua contoh tersebut haram hukumnya karena menggabungkan dua akad ke dalam satu akad secara mengikat (mulzim/lāzim), yakni satu akad mensyaratkan akad yang lain. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, II/308).
Kedua, hukumnya boleh, jika setelah tabungan cukup, ada opsi (khiyār, pilihan) yang diberikan oleh biro umroh kepada penabung untuk memilih ambil tabungan atau ikut umroh.
Dalil kebolehannya karena dua akad tersebut, yaitu akad menabung (qardh) dengan akad umroh (ijārah), dilakukan secara terpisah, yakni tidak digabungkan secara mengikat (mulzim). Hal ini dibuktikan dengan adanya (khiyār, pilihan) yang diberikan oleh biro umroh bagi penabung, yaitu penabung boleh memilih antara mengambil tabungan atau memilih mengikuti umroh, jika tabungannya sudah mencapai jumlah yang cukup untuk biaya umroh.
Hanya saja, jika penabung memilih untuk mengikuti umroh, maka penabung itu dan penyelenggara umroh wajib berakad ijarah untuk umroh. Jadi akad umrohnya (ijārah) betul-betul terlepas dan tidak tergabung secara mengikat dengan akad menabung (qardh) sejak awal.
Pertanyaan kedua, bolehkah seseorang berakad umroh sejak awal, namun dia tidak membayar cash (tunai) kepada biro umroh, melainkan membayar cicilan sebelum berangkat umroh?
Jawabannya, akad umroh (ijārah) boleh secara syariah biayanya dibayarkan di muka, yaitu disegerakan sebelum jasa/manfaat diterima, dan boleh juga dibayarkan di belakang (tunda), yaitu dibayar setelah jasa/manfaat diberikan. Dalam dua keadaan ini, boleh pembayaran dilakukan sekali lunas, boleh juga dibayar secara cicilan.
Dalam masalah pembayaran biaya (ujrah) dalam akad ijarah, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :
يَجُوْزُ تَعْجِيْلُ اْلأُجْرَةِ وَيَجُوْزُ تَأْجِيْلُهَا
“Boleh hukumnya pembayaran ujrah itu disegerakan (di bayar di muka), dan boleh juga hukumnya pembayarannya ditunda.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, II/322).
Dalam dua keadaan ini, yaitu baik dibayar di muka maupun dibayar tunda, boleh pembayaran dilakukan sekali lunas, boleh juga dibayar secara cicilan. Yang penting cara pembayaran ujrah ini dilakukan sesuai dengan perjanjian di antara kedua pihak, sesuai sabda Rasulullah SAW :
اَلْمُسٍلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ
“Kaum muslimin itu menurut (mengikuti) syarat-syarat yang ada di antara mereka.” (HR Abu Dawud, no. 3594).
Hanya saja besarnya biaya umrohnya ini wajib diketahui dengan jelas sejak awal, misalnya Rp 25 juta, dan jangka waktu cicilan juga jelas, misalnya 2 tahun (sebelum keberangkatan), sebagaimana hukum-hukum dalam ijarah yang wajib menghindarkan diri dari ketidakjelasan (al-jahālah).
Pertanyaan ketiga, bolehkah biaya umroh ini dinaikkan karena menyesuaikan dengan kenaikan harga tiket pesawat atau harga sewa hotel di tanah suci?
Jawabannya, menurut hukum asalnya, harga umroh tersebut tidak boleh berubah. Harga yang sudah disepakati di awal bersifat mengikat bagi bersifat mengikat (mulzim/lāzim) bagi kedua belah pihak, sesuai yang sudah disepakati pada awal akad.
Dalam kondisi yang problematis seperti ini, terdapat 3 (tiga) pilihan solusi syariah :
Pertama, jika biro umroh hendak menaikkan biaya sedangkan pihak calon jamaah umroh tidak menyetujuinya, maka pihak biro umroh tidak boleh memaksakan kehendaknya secara sepihak, dan tetap wajib hukumnya memberangkatkan mereka berumroh. Artinya, pihak biro umroh mau tidak mau harus menerima terjadinya kerugian sebagai suatu risiko yang wajar dari suatu akad komersial (al-mu’āwadhāt / al-tijārah), yaitu dalam hal ini akad ijārah dalam pemberangkatan jamaah untuk berumroh ke tanah suci.
Hadits Nabi SAW yang juga sekaligus kaidah fiqih dalam masalah ini menetapkan :
الخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
Al-Kharāj bi al-dhamān (keuntungan itu diperoleh dengan diimbangi kesediaan menerima risiko/kerugian). (Eng : no gain without risk). (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Hadits ini dinilai shahih oleh Imam Tirmidzi).
Kedua, jika biro umroh hendak menaikkan biaya sedangkan pihak calon jamaah umroh tidak menyetujuinya, dan pihak biro umroh merasa keberatan untuk memberangkatkan, misalnya kerugiannya sangat besar dan dapat membuatnya bangkrut, maka Syariah membolehkan terjadinya fasakh, yaitu pembatalan akad berdasarkan saling ridho di antara para pihak, untuk membatalkan akad ijarah yang ada. Ulama Hanafiyah telah membolehkan adanya fasakh untuk akad ijarah, khusus jika terjadi udzur tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah berikut ini :
الْحَنَفِيَّةُ، كَمَا سَبَقَ، يَرَوْنَ جَوَازَ فَسْخِ الْإِجَارَةِ لِحُدُوثِ عُذْرٍ بِأَحَدِ الْعَاقِدَيْنِ، أَوْ بِالْمُسْتَأْجِرِ (بِفَتْحِ الْجِيمِ) وَلَا يَبْقَى الْعَقْدُ لَازِمًا وَيَصِحُّ الْفَسْخُ؛ إِذْ الْحَاجَةُ تَدْعُو إِلَيْهِ عِنْدَ الْعُذْرِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ لَزِمَ الْعَقْدُ حِينَئِذٍ لَلَزِمَ صَاحِبَ الْعُذْرِ ضَرَرٌ لَمْ يَلْتَزِمْهُ بِالْعَقْدِ. فَكَانَ الْفَسْخُ فِي الْحَقِيقَةِ امْتِنَاعًا مِنْ الْتِزَامِ الضَّرَرِ
“Ulama Hanafiyah, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, berpendapat bolehnya fasakh untuk akad ijarah karena terjadinya udzur pada salah satu dari dua pihak yang berakad, atau udzur pada pihak musta`jar (dibaca fathah pada huruf jīm), yakni pihak yang memberi jasa/manfaat. Dan akad ijarah akhirnya tidak lagi bersifat mengikat (lāzim) dan boleh ada pembatalan (fasakh), karena terdapat hajat yang menuntut adanya pembatalan (fasakh) ini pada saat terjadinya udzur, sebab kalau akad ijarah ini tetap bersifat mengikat saat terjadi udzur itu, berarti pihak yang mengalami udzur diharuskan menerima dharar (bahaya) yang sebenarnya tidak mengharuskan dia mengalami dharar itu sebagaimana disepakati pada saat akad. Jadi pembatalan akad (fasakh) yang ada pada hakikatnya adalah untuk mencegah keharusan mengalami dharar (bahaya).” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz I, hlm. 271-272).
Jadi, jika terjadi udzur bagi biro umroh, berupa kenaikan biaya umroh, misalnya kenaikan harga tiket pesawat, atau kenaikan harga hotel di Makkah/Madinah, sedangkan pihak biro umroh tidak sanggup menanggung kerugian akibat terlalu besarnya kenaikan harga-harga tersebut, boleh hukumnya pihak biro umroh bersepakat dengan para jamaah calon umroh untuk membatalkan akad umroh dan para jamaah mendapat pengembalian uang (refund).
Ketiga, jika pihak biro umroh dapat meyakinkan jamaah umroh mengenai perlunya kenaikan harga (biaya) umroh, disertai penjelasan alasan-alasannya yang rasional dengan berbagai manfaatnya, lalu para jamaah umroh ridho dengan kenaikan itu tanpa ada keterpaksaan, maka dalam kondisi demikian ini boleh hukumnya pihak biro umroh menaikkan besarnya biaya umroh.
Yang demikian itu dikarenakan berbagai muamalah dalam Islam itu telah mewajibkan keridhoan di antara dua pihak yang bermuamalah (‘an tarādhin, عَنْ تَرَاضٍ), sesuai firman Allah Ta’ala :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar secara syariah), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka (saling ridho) di antara kamu.” (QS An-Nisā’ : 29)
Yogyakarta, 29 Mei 2008
Muhammad Shiddiq Al-Jawi